Labuan Bajo, Vox NTT- Perang pengakuan sengketa tanah di Loho Binongko, Kelurahan Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, hingga kini terus mewarnai pemberitaan sejumlah media massa.
Sengketa tanah tersebut antara Ir. Henry Chandra dan Abdullah Bin Ibrahim Aburaera (ABIA). Keduanya saling klaim atas tanah tersebut.
Selain menjelaskan sejarah perolehan tanah, kepada awak media sebelumnya Ir. Henry Chandra menunjukan bukti kepemilikan tanah berupa kwitansi pembelian, tiga buah Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Gambar Situasi (GS) yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai.
Sedangkan ABIA hingga kini belum mengantongi sertifikat, sebab sedang dalam perkara dengan BPN Manggarai Barat di PTUN Kupang.
ABIA sendiri mengaku tanah tersebut merupakan warisan dari ayahnya Ibrahim Aburaera. Ibrahim, kata dia, sudah menguasai dan berkebun di tanah Loho Binongko sejak tahun 1942.
“Tanah yang saya tempati ini adalah tanah warisan orangtua saya yang bernama Ibrahim Aburaera yang menguasai dan berkebun sejak tahun 1942,” ungkap ABIA saat konferensi pers di Binongko, Sabtu (21/05/2022) sore.
Setelah ayahnya Abdullah Ibrahim meninggal dunia, penguasaan tanah tersebut atas nama ibunya Salma Ibrahim.
Sebagai ahli waris, ABIA pun melakukan permohonan penerbitan sertifikat ke BPN Manggarai Barat pada Mei 2021.
ABIA menyerahkan semua berkas kepada BPN Manggarai Barat, yang ia klaim sudah lengkap. Selanjutnya, oleh BPN ia diperintahkan untuk melakukan pembayaran administrasi melalui bank.
“Kemudian tanggal 11 Mei 2021 dilakukan pengukuran kadastral oleh BPN Manggarai Barat,” ungkapnya.
ABIA mengungkapkan, setelah menemukan perbedaan pengukuran, BPN Manggarai Barat kemudian mengeluarkan lagi surat undangan penetapan titik batas pada tanggal 17 Juni 2021. Selanjutnya dilakukan pengukuran.
Menurut dia, setelah penetapan 17 Juni 2021 itu tidak ada permasalahan, termasuk HC (Ir. Henry Chandra-red) sendiri diundang, namun tidak hadir.
Yang diundang juga, kata ABIA, adalah para pemilik batas. Hadir juga pada saat itu para staf kelurahan, para ahli waris, saksi-saksi lain, bahkan para penjual asal, termasuk istri dari Ir. Henry Chandra.
“Jadi setelah penetapan titik batas itu tidak ada persoalan,” pungkas dia.
ABIA mengatakan, setelah penetapan titik batas pada tanahnya, HC melalui kuasa hukumnya mengirimkan surat keberatan kepada BPN Manggarai Barat pada 17 Juni 2021.
“Yang mana dalam isi surat yang saya simak, pertama, HC meminta kepada BPN supaya menghentikan semua permohonan sertifikat di atas tanah di Loho Binongko seluas kurang lebih 27.500 M². Kedua, dia ( HC ) menggugat cara kerja BPN Manggarai Barat,” jelas ABIA.
BPN Manggarai Barat kemudian menanggapi surat keberatan dari kuasa hukum HC untuk menghentikan semua proses sertifikat di atas tanah miliknya dan juga surat gugatan cara kerja BPN Manggarai Barat pada tanggal 10 Desember 2021.
“Sehingga waktu itu keluar surat dari BPN, tetapi sebelum keluar surat dari BPN, saya datangin BPN dulu minta ketemu pak Kakan dan sampai di BPN saya hanya bisa pertemukan dengan Kasi pengukuran dengan ibu T dan waktu saya menanyakan tentang proses pengukuran tanah saya tetapi beliau bilang waktu itu, proses pengukuran belum bisa dilanjutkan karena ada keberatan dan kami sudah mengkonsep surat untuk dihentikan sehingga surat itu ditunjukan kepada saya dan setelah saya baca isi surat itu, saya sempat menyarankan bahwa tolong tidak perlu dikeluarkan surat begini, dipanggilah para pihak untuk mediasi,” jelas ABIA.
“Jadi isi surat itu, pertama, BPN minta kepada saya selaku pemohon melakukan mediasi kepada orang yang melakukan keberatan si HC. Kedua, saya dipersilakan melakukan upaya hukum baik perdata maupun pidana yang hasilnya nanti dilaporkan kepada mereka (BPN), padahal posisinya saya ini sebagai pemohon bukan yang melakukan keberatan,” lanjutnya.
ABIA pun keberatan dengan isi surat yang dibuat BPN Manggarai Barat. Itu sebabnya, ia membuat surat bantahan.
“Setelah saya melakukan bantahan kemudian keluarlah di media online yang mana dinyatakan bahwa saya bersama BPN itu merampas, menyerobot tanah si HC ini yang sudah bersertifikat di situ nama saya tertera bahkan saya diduga sebagai mafia padahal saya hadir di Binongko ini tidak pernah membeli, kalau HC ini hadir itu pernah membeli dari saudara H. Judje pada tahun 1996,” jelasnya.
Tidak terima dengan pemberitaan di media online tersebut, dirinya mendatangi Polres Manggarai Barat pada 6 Desember 2021 untuk membuat laporan pencermatan nama baik yang dilakukan oleh L, istri dari HC.
Kemudian, ABIA menggugat Kepala BPN Manggarai Barat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang.
Namun, dalam perjalan perkara di PTUN sampai pada tahap pembuktian, HC memberikan kuasa kepada tiga orang untuk mengajukan permohonan intervensi di PTUN.
Namun sampai pada putusan tanggal 10 Mei 2022, permohonan intervensi tersebut ditolak oleh PTUN. Sebab, permohonan intervensi ini tidak punya kaitan terhadap obyek sengketa sehingga dilanjutkan ke tingkat pemeriksaan setempat (PS).
Pada PS tanggal 20 Mei 2022, sebut ABIA, BPN Mabar menjelaskan kepada Majelis Hakim batas yang ditunjuk pertama pada bagian timur. Pada batas dengan jalan dan sebelah timur dari jalan dengan SHM 00587 atas nama Ir. HC adalah sudah sesuai dan benar, serta tidak ada masalah.
Sebab itu, kata dia, Majelis Hakim melanjutkan PS. Dikatakan, terhadap 3 SHM atas nama Ir. HC yaitu SHM 00587, SHM 01365, dan SHM 01364, tidak ada masalah terhadap penetapan titik pilar tanah yang dimohon ABIA yaitu penetapan tanggal 17 Juni 2021.
“BPN sudah mengatakan dalam pengadilan bahwa batas yang sudah ditetapkan itu adalah benar, makanya Majelis Hakim dalam sidang Pemeriksan setempat kemarin itu mengatakan tidak ada persoalan, kalau di atas tanahnya dia, pasti Majelis Hakim mengatakan itu bermasalah, ada sengketa perdata karena bukan di atas tanahnya dia makanya BPN bilang itu tidak ada persoalan, pilar yang kami tetapkan itu sudah benar dan sesuai,” tegas ABIA.
Laporan Pencabutan Pilar
ABIA mengatakan, pada tanggal 17 Mei 2022 pilar yang sudah ditetapkan BPN Manggarai Barat di atas tanah miliknya dicabut oleh L yang merupakan istri dari HC
“Pada saat terjadi pencabutan pilar-pilar saya dan waktu itu saya ada di Kupang dan saya minta kepada adik saya saudara Abdurahman dan saudara Saharuddin untuk naik ke TKP untuk memeriksa pilar kembali,” ungkapnya.
Terkait kejadian pencabutan pilar tersebut, ABIA melaporkannya ke Polres Manggarai Barat yaitu pada 18 Mei 2022.
“Kemudian setelah saya melaporkan ke Polres Manggarai Barat pada pukul 14.00 Wita, kemudian pada pukul 15.30 itu dikirim lagi orang oleh saudara L sebanyak 2 orang tujuannya menanam kembali pilar yang sudah dicabut,” ungkapnya.
Terkait dengan kejadian itu, ABIA menganggap bahwa L mengakui perlakuannya karena sudah mengembalikan pilar tersebut. Namun, proses hukum tetap berlanjut.
Ia pun meminta Polres Manggarai Barat untuk mencegah tindakan-tindakan yang melakukan perusakan terhadap pilar-pilar yang sudah ditetapkan dan menghormati proses yang sedang dijalankan di PTUN.
Dikabarkan sebelumnya, polemik tanah seluas 17.350 meter persegi di Loho Binongko, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat hingga kini terus berlanjut.
Tanah tersebut sudah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) masing-masing bernomor: 587 tahun 1996, nomor: 1364 tahun 2003 dan nomor 1365 tahun 2003, milik Ir. Henry Chandra.
Ketiganya merupakan satu kesatuan, di mana SHM bernomor: 1364 tahun 2003 salah satu sisinya berbatasan dengan tanah milik Salma Ibrahim. Dia adalah ibunda dari Abdullah Bin Ibrahim Aburaera (ABIA).
Saat ini kasus tersebut sedang digugat oleh ABIA di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang. Dia menggugat pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat.
Terpantau di lokasi, Jumat (20/05/2022),di ujung selatan tanah tersebut sudah dipasang pagar kawat duri yang diduga dilakukan oleh ABIA. Pagar tersebut terletak di dalam pagar tembok atau berada di tanah Ir. Henry Chandra yang sudah memiliki sertifikat. Diduga tanah tersebut diklaim oleh ABIA.
Kepada sejumlah awak media, Ir. Henry Chandra kemudian menunjukkan sejumlah bukti pembelian atas tanah tersebut dari Haji Adam Djudje, Ismila Djudje, dan Stefanus Efendi.
Di dalam Gambar Situasi (GS) pada 17 Maret 1992 yang dikeluarkan oleh BPN Manggarai menerangkan bahwa tanah seluas 17.350 M² batas-batasnya ditunjuk langsung oleh Haji Adam Djudje. Saat pengukuran pun disaksikan langsung oleh Salma Ibrahim yang adalah ibu dari ABIA.
“Tanah ini saya beli dari haji Adam Judje, saya beli sekitar pada tahun 1991 akhir. Dengan perjanjian beliau semua yang urus proses sertifikasinya, jadi beli tanah ini saya sama sekali tidak tahu batas-batasnya, jadi semua batas-batasnya ditunjuk oleh Haji Adam Judje itu sendiri,” terang Henry.
Sesuai perjanjian dengan Haji Adam Djudje kala itu, kata dia, setelah tanah dijual langsung menerima sertifikat. Sertifikat itu diurus oleh Haji Adam Djudje.
“Lalu bidang yang kedua saya beli dari adiknya Haji Adam Judje, Bapak Ismila Judje, itu pun berselang sesudah tanah yang pertama ini saya sudah beli,” kisah Henry.
Kemudian tanah yang ketiga dibeli dari Stefanus Efendi (Almarhum) pada akhir tahun 1992. Gambar Situasi (GS) tanah sudah diurus dan menjadi bukti pihak Henry Chandra.
“Kemudian proses sertifikasinya itu pada tahun 1996 semua baik dari Haji Adam Judje, dari Bapak Ismila Judje, dan dari Bapak Stefanus Efendi,” ungkap dia.
“Jadi, perolehan tempat ini kami sudah sejak lama, tapi kemudian pada tahun 2019 pada saat kami rekon itu ada klaim sepihak dari saudara ABIA, dan saudara-saudaranya yang mengaku bahwa sebagian tanah ini milik mereka,” tambah Henry.
Henry sendiri mengaku sudah memperlihatkan bukti-bukti pembelian tanah tersebut dari Salma Ibrahim. Namun anehnya, kata dia, ABIA justru tidak mengakuinya.
Padahal dalam kenyataannya, ia menyebut, Salma Ibrahim sudah menandatangani proses sertifikasi tanahnya.
“Tidak mungkin sertifikat terbit pada waktu itu kalau ada yang klaim bahwa mamanya tidak mau tanda tangan,” terang Henry.
“Beliau (ABIA) tahu bahwa mamanya yang tanda tangan ini sertifikat tanah, tapi dia hanya beralasan bahwa mamanya tidak berhak untuk jual ini tanah. Itu kan aneh. Sedangkan di pengadilan dia akui sejak tahun 1978 sampai dengan tahun 2004, itu dikuasai oleh mamanya sesudah bapaknya meninggal,” tambah Henry.
Selanjutnya pada tahun 2021, lanjut dia, ABIA membuat satu permohonan sertifikasi yang ‘memakan’ sebagian tanah milik Henry Chandra.
“Itulah yang membuat kami tentang sehingga kami juga mengajukan keberatan ke pihak BPN Mabar kenapa hal ini bisa terjadi. Petugas yang melakukan rekon dengan petugas yang mengurus permohonan dari ABIA, adalah orang yang sama. Ini satu hal yang ironi dan kontradiktif, kok orang yang sama tetapi omongannya berbeda,” tegas Henry.
BACA JUGA: Tanahnya di Binongko Sudah Bersertifikat, Henry Chandra: Kami Butuh Penegakan Hukum yang Konsisten
Ia mengatakan, saat melakukan rekon tanahnya tahun 2019, ABIA sendiri justru menyaksikan batas-batasnya. Sayangnya, dua tahun kemudian tepatnya pada tahun 2021, ABIA justru mengklaim bahwa letak pilar yang dibuat pihak Henry Chandra salah, sesuai peta satelit atau ploting yang dia dapatkan.
“Sedangkan di pihak kami masih ada saksi hidup pada tahun 1992, petugas ukur pada zaman itu beliaukan bisa jadi saksi. Masa pada saat beliau ukur pada tahun 1992 tidak ada klaim dari siapa-siapa, sedangkan mamanya sebagai penguasa tanah waktu itu kok bersedia untuk tanda tangan atas gambar ukur yang dibuat oleh BPN Manggarai pada saat itu,” jelas Henry.
Ia pun berharap ada satu tindakan hukum yang pasti dan konsisten agar ak-haknya bisa terlindungi. Apalagi pihak Henry Chandra sudah mengantongi sertifikat.
“Kami tidak punya niat sama sekali untuk memakan, dan menerkam hak orang lain,” katanya. [VoN]