Oleh: Alvino Latu
Sekretaris GMNI-Kupang
Dinamika kehidupan Bangsa dan Negara Republik Indonesia terus diperhadapkan dengan berbagai tantangan dan ancaman.
Tantangan dan ancaman tersebut hampir merambah seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, baik sektor ekonomi, sosial, politik, budaya maupun dalam bidang ideologi.
Dalam konteks kekinian kita diperhadapkan dengan situasi tripel disrupsion, yakni pandemi Covid- 19, revolusi teknologi dan perubahan iklim.
Di tengah gejolak yang maha dahsyat ini, penting sekali untuk kita mendefenisikan ulang cara kita bernegara, memahami kembali semangat nasionalisme dalam rangka meningkatkan imun kebangsaan kita.
Oleh karena itu, untuk menjawab tantangan yang amat besar ini, kedaulatan dan keutuhan bangsa sangatlah penting dengan mewujudkan jalananya tri sakti Bung Karno yakni Berdaulat secara politik, Berdikari secara ekonomi, dan Berkepribadian dalam budaya.
Kemandirian Ekonomi Pascapandemi
Bung Karno menegaskan bahwa berjalannya demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi akan dapat menjerumuskan kaum marhaen ke dalam alam sama ratap dan sama tangis.
Dalam risalah mencapai Indonesia merdeka, Bung Karno menegaskan bahwa, dengan demokrasi politik dan ekonomi itu, maka rakyat Indonesia bisa diatur oleh rakyat sendiri sampai selamat, menjadi satu masyarakat yang tidak terjajah kapitalisme dan imperialisme.
Dengan demokrasi politik dan ekonomi itu, nantinya rakyat bisa mendirikan negara Indonesia yang segala urusan politik dan ekonominya adalah oleh rakyat, dengan rakyat, bagi rakyat.
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia dua tahun belakangan serentak melahirkan disrupsi secara massal dalam tatanan dunia yang lama menuju tatanan dunia yang baru (new world).
Dampak pandemi yang berkepanjangan tentu mengganggu stabilitas nasional dan ketahanan bangsa, misalkan pelambatan pertumbuhan ekonomi, hilangnya lapangan pekerjaan dikarenakan pemutusan hubungan kerja (PHK), angka kemiskinan yang kian meningkat di daerah-daerah.
Untuk itu, upaya pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang saat ini sedang diprakarsai oleh Pemerintah harus terus dijalankan dan tidak hanya upaya jangka pendek akan tetapi mendorong upaya jangka panjang dengan menjalankan industri nasional dengan melibatkan para pelaku dunia usaha terkhususnya usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), serta mengajak masyarakat Indonesia agar menggunakan produk-produk lokal.
Dengan demikian kemandirian ekonomi bangsa, seperti yang dicita-citakan dalam tri sakti Bung Karno dapat terwujud.
Kedaulatan Politik dalam Isu Perubahan Iklim
Persolan lain yang kita hadapi adalah tantangan perubahan iklim yang disebabkan deforestasi hutan, penggunaan energi fosil yang berlebihan dan memicu terjadinya pemansan global (global warming).
Dari berbagai perspektif , perubahan iklim memiliki dampak jauh lebih dahsyat ketimbanh perang nuklir, kelaparan, bencana dan lainnya.
Dalam kontestasi dunia, posisi Indonesia sangat sentral ketika diperhadapkan pada isu perubahan iklim ini.
Julukan sebagai zamrud khatulistiwa dan paru-paru dunia tentu bukan tanpa dasar, kekayaan dan keanekaragaman hayati baik udara, laut maupun darat merupakan karya agung yang luar biasa.
Potensi yang luar biasa ini, bisa menjadikan Indonesia problem solver dunia jika segala potensi dimanfaatkan secara baik dan bijaksana dengan tetap memperhatikan keberlanjutan ekologis.
Akan tetapi data yang dilansir dari katadata.co.id; kementerian lingkungan hidup dan kehutanan (KemenLHK) melaporkan daratan Indonesia terbagi atas lahan berhutan seluas 94,1 juta ha atau 50% dari total luas daratan dan lahan tidak berhutan dengan luas 93,6 juta ha pada 2019.
Selama 2014-2019, luas lahan berhutan tanah air mengalami penurunan seluas 1,6 juta ha dari 95,7 ha pada 2014 menjadi 94,1 pada 2019.
Kerusakan hutan akibat perubahan fungsi atau peruntukan menjadi faktor utama penurunan luas lahan berhutan.
Pada tahun 2019, penutupan lahan berhutan terluas terjadi di wilayah Papua, yakni 32,5 juta ha atau 34,5% dari total luas lahan berhutan nasional (94,1 juta ha). Diikuti oleh wilayah Kalimantan seluas 24,7 juta ha atau 26,25%.
Wilayah Maluku, Sulawesi, dan Jawa memiliki lahan berhutan kurang dari 15%. Sementara wilayah Bali dan Nusa Tenggara memiliki luas lahan berhutan terkecil yaitu 1,7 juta ha atau 1,81%.
Artinya priveledge Indonesia sebagai paru-paru dunia yang selama ini terbaptis lambat laun akan menjadi kebanggan masa lampau suatu saat di masa depan.
Atas persoalan itulah, upaya pendekatan pembangunan berkelanjutan dan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan didorong sebagai upaya mindsteam dalam menjawab tantangan perubahan iklim ini.
Dan tentu semua yang dipaparkan di atas akan bisa terlaksana jika bangsa kita benar-benar berdaulat secara politik, artinya secara nasional kita butuh kepemimpinan (leadership) yang kuat, tidak mau didikte oleh sekelompok kepentingan, berwatak nasionalis, pluralis dan menghargai demokrasi.
Kebudayaan Nusantara sebagai Kepribadian Nasional
Hegemoni teknologi dan cepatnya akselerasi informasi melahap sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat.
Fenomena infiltirasi teknologi dalam berbagai bidang kehidupan menandakan realitas masyarakat era postmodern.
Di era ini kita diperhadapkan dengan sesuatu yang semu dan hiperrealitas seperti yang diungkapkan Jean Baudrillard.
Ibarat dua sisi mata uang, kemajuan teknologi selalu mememiliki sifat binnary bisa menjadi berkah tapi bisa menjadi kutukan sekaligus.
Indonesia sebagai salah satu negara yang menerapkan sistem demokrasi tentu sangat rentan dengan berbagai propaganda yang mengancam disintegrasi bangsa.
Apalagi posisi dan kemajemukan masyarakat Indonesia yang amat beragam dan sebagai episentrum peradaban di asia pasifik tentu sangat riskan dicekoki oleh pengaruh luar bahkan ancaman ideologi transnasional.
Menguatnya gerakan fundamentalis agama yang memanfatkan ruang demokrasi dan propaganda melalui kanal media sosial serta ancaman separtisme yang muncul belakangan ini menjadi ancaman serius dan menciptakan jarak sosial di tengah masyarakat.
Di sisi lain, konflik horizontal yang berujung polarisasi massa yang disebabkan eksploitasi sentimen primordial dibeberapa episode pemilu yang berlalu masih menyimpan dahaga persatuan bangsa.
Sikap prasangka, kebencian, saling curiga menghiasi jagat percakapan rakyat di lorong-lorong kehidupan mereka sehari-hari.
Suasana ini tentu tidak elok, tidaklah baik sebagai sesama anak bangsa. Realitas ini tentu berhaluan lain dengan apa yang telah diletakan oleh para founding father dan founding mother bangsa yakni Pancasila sebagai rumah besar persatuan (meja statis) dan sebagai bintang penuntun (leitstar dinamis) yang membawa ke arah mana bangsa Indonesia menuju.
Kesamar-samaran efek kemajuan IPTEK akan sangat ditentukan seberapa mampu manusia mengendalikan dirinya.
Sikap kontrol diri yang dimaksudkan agar ambiguitas kemajuan teknologi ini tidak serta merta menghegemoni secara total kesadaran normal kita sebagai manusia yang merdeka.
Oleh karena itulah, penguatan nasional dan charakter building sangat penting dalam mendidik masyarakat kita saat ini.
Kebudayaan nusantara yang menjadi kepribadian bangsa telah terbukti ampuh sebagai semen sosial dalam merekatkan simpul-simpul keberagam dan menjadi way of life masyarakat Indonesia harus terus dirawat dan dijaga selama-lamanya.
Oleh karena itu, bahwasanya jalan menuju Indonesia maju dan cita-cita menuju sisialisme Indonesia seperti yang disampaikan Bung Karno, hanya bisa terwujud apabila seluruh elemen bangsa mengepak kembali sayap persatuan, menyulam kembali simpul-simpul yang telah putus dan merekatkan kembali tali persaudaraan yang telah retak dimakan arus egoisme dan fanatisme yang berlebihan.
Penting untuk kita menghidupkan terus spirit nasionalisme agar menerangi mata batin kita dan tindakan keseharian kita tetap berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila.
Dengan demikian Indonesia sebagai rumah besar persatuan multikulturalisme dan kebhinekaan akan tetap kokok bersama Pancasila yang memayungi berbagai kepentingan bangsa ini.
Dengan demikian keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia baik dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai Pulau Rote, akan terwujud nyata. Semoga!