Oleh: Mario Gonzaga Afeanpah
Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandira
Keterlantaran mereka yang miskin merupakan wujudnyata kehidupan saat ini. Kehadiran mereka di tengah masyarakat kadang kala dianggap sebagai “manusia kelas bawah” yang tidak berarti.
Levinas justru sebaliknya melihat mereka sebagai wajah-wajah yang patut dihargai. Ia melihat wajah-wajah yang tampil dalam kemiskinan dan ketakberdayaannya adalah dia yang mencari perlindungan dan pembelaan dari pihak kita.
Kemelaratannya adalah suatu undangan bagi kita untuk mendengarkannya. Di hadapan dia yang melarat, kita tak bisa berdiam diri.
Kita dituntut untuk memahami. Kehadirannya seakan menggugat kita untuk bertanggungjawab atas dirinya. Ia meminta pertangungjawaban etis dari kita.
Levinas tidak mengartikan “wajah” dalam pemahaman yang bersifat fisis-biologis, yang berarti air muka atau muka. Levinas menunjukkan wajah sebagai bentuk kehadiran dia yang lain.
Wajah dalam pengertian Levinas adalah dia yang tampil di hadapan saya sebagai realitas yang berdiri sendiri; suatu penampilan dia yang lain. Lebih lanjut Levinas menjelaskan bahwa penampilan wajah sebagai suatu ketelanjangan.
Ketelanjangan wajah adalah ketelanjangan yang paling telanjang. Ketelanjangan yang paling telanjang adalah juga tanda kepolosan dan kelurusan dari wajah itu sendiri.
Karena kepolosannya itu terbesitlah suatu kemiskinan yang amat hakiki. Ketelanjangan mewartakan kemiskinan dan ketakberdayaan orang lain yang tampil di hadapanku.
Orang lain yang tampil sebagai wajah adalah dia yang datang dari kepolosan dan kemiskinannya. Untuk mempertegas kemiskinan dan keberlainannya sebagai penampilan wajah yang telanjang, Levinas memberikan figur lain dari penampilan wajah yaitu dia yang tampil sebagai orang asing, janda dan yatim piatu.
Meskipun dia datang dengan ketelanjangannya, kemelaratannya, serta kemiskinannya, namun aku harus menyapa dia sebagai tuan. Dia yang miskin serentak menjadi tuan.
Di hadapan dia aku kembali mempertanyakan kebebasanku selama ini. Dengan kehadiran yang lain, kebebasanku dinomorduakan. Dalam arti ini aku harus menyambut kedatangannya sebagai yang miskin dan terlantar, sekaligus sebagai tuan.
Ketelanjangan wajah yang menampilkan kemiskinan, kemelaratan juga serentak menampilkan diri sebagai tuan, seakan menggugat diriku untuk tidak berdiam diri.
Aku harus memberikan jawaban atasnya karena merupakan sebuah tugas yang telah ditanggungkan kepadaku. ( Levinas dalam Totality and Infinity).
Tanggung dan Jawab
Dalam etika tradisional, ada tiga hal yang turut berpartisipasi dalam proses pemberian tanggung jawab, yaitu: Pertama: ada sesuatu yang telah dikatakan atau dilakukan dan ada yang bertanggungjawab.
Menurut Levinas, apa yang dilakukan itu sudah dapat dikatan kerja (praktik), sedangkan apa yang dikatakan masih dalam perkataan (teori). Kedua: kita bertanggung jawab terhadap adanya yang lain, karena yang lain itu adalah subjek sebagaimana diri kita yang juga adalah subjek.
Ketiga: tanggung jawab dalam pengertian tradisional berhubungan dengan menjawab. Namun relasi ini agak terbatas. Seseorang bertanggungjawab kepada orang lain karena ia mau menjawab respon dari yang lain.
Respons dalam bentuk jawaban yaitu jawaban atas panggilan orang lain. Ketiga proses tangung jawab ini disebut dengan tangung jawab diri yang merupakan visi terbesar dari sebuah tanggung jawab.
Tanggung jawab diri berarti tanggung jawab yang tidak berasal dari perkataan dan perbuatan itu sendiri, tetapi berasal dari persembahan diri sendiri.
Ini berarti bahwa jawaban tidak secara primordial menunjuk pada sesuatu yang “telah” dikatakan dan dilakukan, tetapi lebih kepada yang “harus” dikatakan dan dilakukan.
Menurut Levinas proses tangung jawab akan yang lain dalam etika tradisional (tanggung jawab diri) berbeda dengan proses menjawab. Levinas menjelaskan hal ini dengan memberikan perbedan antara term “dativus” dan “nominativus”.
Term dativus berarti saya menjawab orang lain, tetapi “setelah” saya memberikan jawaban, saya tidak mempunyai hubungannya lagi dengan dia. Sedangkan nominativus berarti seseorang memberikan jawaban “untuk” orang lain. Dengan sendirinya dia berhubungan langsung dengan subjek itu.
Tanggung Jawab “untuk” dan Tanggung Jawab “bagi”
Levinas menjelaskan tanggung jawab dalam arti yang heteronom. Ia membedakan tanggungjawab dalam dua term, yaitu tanggungjawab untuk dan bagi orang lain.
Secara sepintas kedua jenis tanggung jawab ini merupakan sesuatu yang ambigu, karena hampir memiliki makna yang sama, untuk menjelaskan hal ini, ia membandingkannya dengan term “menghakimi dan menghukum”.
Menghakimi berarti kita berada di luar konflik sedangkan menghukum berarti kita secara langsung berada di tengah-tengah konflik itu. Tanggung jawab “untuk” lebih radikal jika dibandingkan dengan tanggung jawab “bagi”.
Tanggung jawab “untuk” orang lain berarti ketika saya melihat dia yang telanjang di depanku (yang miskin), muncul inisiatif bebas dalam diriku “untuk” bertanggung jawab kepadanya, tanpa merasa diri terdakwa oleh kehadirannnya.
Sedangkan tanggung jawab bagi orang lain berarti kehadiran orang lain membuat saya seakan-akan tertuduh atau disandra olehnya, sehingga saya bertanggungjawab baginya. Kehadiran orang lain menuntut tanggung jawab dari pihakku.
Begitu saya secara fisik “dekat” dengan orang lain, saya bertanggung jawab atasnya dan saya tidak dapat lari dari tanggung jawab itu. Saya seakan-akan disandera olehnya. Tanggung jawab itu sudah mengikat saya jauh sebelum saya dapat mau bertanggung jawab atau tidak.
Maka tanggung jawab primordial itu harus dapat dibedakan dengan tanggung jawab dalam pengertian sehari-hari.
Dalam tanggung jawab primordial terdapat pasivitas total, yakni bahwa sebelum segala sikap atau aksi yang bisa saya ambil, saya sudah tersandera.
Dalam penyanderaan tanggung jawab itu, saya mengambil tempatnya (substitusi), tetapi substitusi itu tidak berarti bahwa saya terasing dari diri saya sendiri melainkan saya justru menjadi diriku. Karena saya sadar bahwa saya berada di bawah tanggung jawab, maka saya sadar bahwa saya adalah saya.
Apabila sebelum segala sikap atau aksi yang bisa saya ambil, saya sudah tersandera, maka seolah-olah yang lain mendominasi kebebasan saya.
Dalam hubungan dengan ini Levinas menjelaskan bahwa, pertama: keadaan itu menjadi syarat kemungkinan munculnya segala sikap manusiawi yang dapat kita ambil;
Kedua: bahwa meskipun keadaan itu kita tidak pilih dengan bebas, namun keadaan itu justru mendasarkan kemungkinan kita untuk bersikap bebas. Kita dapat mengambil sikap dengan bebas karena kita selalu sudah terarah kepada yang baik.
Entakah dia bertanggungjawab terhadap saya, itu bukan urusanku. Tanggung jawab yang berasal dari diriku mempunyai tujuan “untuk orang lain”, tanpa suatu gerak balik. Tanggung jawab semacam ini bersifat asimetris.
Dalam hubungan dengan tanggung jawab akan yang lain, Levinas cenderung menekankan tanggung jawab “untuk”. Adapun alasan yang diberikan oleh Levinas, antara lain adalah:
Pertama: tanggung jawab untuk orang lain bertujuan demi suatu hubungan atau relasi. Bentuk dari hubungan relasi ini adalah relasi intersubjektif, di mana saya sebagai subjek berelasi dengan yang lain yang juga adalah subjek.
Saya tidak menggantikan tempatnya secara total karena saya bukanlah yang lain itu. Apabila saya menggantikan tempatnya berarti saya membuat dia teralienasi.
Kedua: substitusi adalah proses menjadi. Saya melihat dia, berarti juga saya melihat diri saya sendiri. Ketika saya melihat dia yang sama dengan diriku, maka muncul inisiatif bebas dari diriku untuk bertanggungjawab terhadapnya.
Karena tanggung jawab saya kepada yang lain muncul dari suatu inisiatif bebas dalam diriku maka saya menikmatinya. Menjadi dirinya sendiri dalam keadaan sebagai sandera, selalu berarti memikul satu tingkat tanggung jawab lebih besar, tanggung jawab atas tangung jawab orang lain.
Namun saya memikulnya dengan tidak merasa beban, karena saya apa yang saya lakukan muncul dari kebebasanku sendiri. Bukan karena saya tertuduh.
Ketiga: proses perluasan tanggung jawab menjadi substitusi. Ketika kita menggantikan tempat orang lain, bukan berarti kita meninggalkan diri kita untuk orang lain kecuali kita merasa diri disandera oleh orang lain.
Menurut Levinas tanggung jawab itu muncul secara tiba-tiba. Ketika tanggung jawab itu muncul dalam diriku maka, tanggung jawab itu berubah menjadi utang budi.
Dengan demikian ada suatu hubungan antara saya yang bebas untuk membantu dia dengan saya yang merasa tertuduh. Yang dimaksudkan Levinas mengapa ada hubungan antara saya yang bebas dengan saya yang tertuduh adalah karena saya bertanggung jawab bukan karena dia menderita tetapi penderitaannya yang menyapa saya. Berarti penderitaannya memunculkan inisiatif saya.
Keempat: Levinas menjelaskan tanggung jawab ”untuk” dengan memberikan sebuah contoh upacara silih dosa.
Dalam tradisi itu mereka menaruh dosa-dosa pada lembu jantan, kemudian lembu itu dilepaskan ke padang gurun. Dalam hal ini Levinas ingin menjelaskan tentang tema kebaikan yang ternyata menjadi kondisi paling dasar dari eksistensi manusia.
Substitusi sekaligus menjadi sebuah penebusan untuk orang lain; saya menebus orang lain itu karena saya menanggung dia dengan segala apa yang ada padanya, termasuk dosa-dosanya. Di sini Levinas mengangkat kembali apa yang telah digagasan oleh Plato tentang kebaikan.
Dengan ini Levinas berharap bahwa semua orang harus melakukan tindakan tanggungjawab ini demi sebuah kebaikan.
Yang lain yang hadir dalam penampakkan wajah adalah janda, yatim piatu dan orang asing. Inilah ketelanjangan yang lain. Dalam ketelanjangannya yang lain terus mengganggu aku dengan teriakannya; “engkau tidak boleh membunuh aku, engkau harus memberi aku tumpangan”.
Karena teriakannya ini, yang lain mengganggu sekaligus menggugat aku. Aku ada sebagai pihak yang tergugat. Kekuatan wajah itu justru dalam ketelanjangannya. Ketelanjangannya membawa pesan damai dan bukan kekerasan.
Ketelanjangannya adalah penderitaannya. Dengan menggugat saya, namun dia tidak mengurangi kebebasan saya, dan tetap terbukalah jalan buat kebaikan hati dari pihak saya sendiri yang muncul dari kebebasan dan inisiatif saya sendiri untuk menjawab. Dalam ketergugatan itu aku dituntut untuk membuka hatiku kepadanya.
Di sini aku hadir sebagai “aku yang tergugat.” Aku tergugat karena dia yang lain itu hadir dalam ketelanjangannya.