Maumere, Vox NTT- Rumah milik Yoseph Oni, di Pedan, Nangahale, Talibura terbakar pada Kamis (16/6/2022) lalu. Rumah tersebut berada di atas tanah eks HGU Nangahale yang saat ini sedang dalam proses penyelesaian konflik.
Konflik antara masyarakat adat yang mengklaim kembali hak atas tanah tersebut berdasarkan hak asal usul dengan pihak Keuskupan Maumere melalui PT Krisrama sampai saat ini belum ada penyelesaiannya.
“Saat kebakaran kami lagi mengikuti pembinaan untuk anak sambut baru di Paroki Watubala,” terang Oni kepada VoxNtt.com melalui telepon pada Kamis (16/6/2022) lalu.
Kebakaran diduga disebabkan oleh kelalaian karyawan pemetik kelapa di tanah eks HGU tersebut bernama Petrus Petu.
Kepada VoxNtt.com pada Kamis (16/6/2022) lalu Petu mengaku dirinya memanjat kelapa sambil memegang api yang dibakar pada ikatan daun kelapa yang dalam bahasa lokal disebut ‘urun’.
“Saya tadi ada panjat kelapa di sini. Di atas sini ada tabuan (lebah) banyak. Jadi saya bawa dengan api. Karena angin api jatuh kena atap alang-alang jadi terbakar habis. Saya panggil warga untuk datang bantu tapi api sudah bakar habis,” terangnya saat ditelepon melalui nomor salah satu saksi di lapangan.
Petu mengaku hari itu bersama 7 orang rekannya memetik kelapa di sekitar rumah untuk misi. Misi adalah sebutan orang setempat untuk perusahaan yang mengelola perkebunan kelapa tersebut.
Ia mengaku telah 3 tahun bekerja di sana.
Meskipun demikian, ada informasi lain yang diperoleh VoxNtt.com dari saksi di lapangan. Menurut sumber yang tak ingin namanya disebutkan ini, ada yang aneh dengan Petu pada hari itu.
Ia selalu memanjat kelapa sambil memegang ‘urun’ atau buntalan daun kelapa yang dibakar. Itu hanya dilakukan pada setiap pohon kelapa yang letaknya berdekatan dengan rumah-rumah.
“Alasan usir lebah tapi kami lihat di atas pelepah dan daun kering tidak ada bekas terbakar,” tegas sumber tersebut pada Selasa (21/6/2022).
Sumber VoxNtt.com juga menyebut Petu tidak pergi memanggil warga ketika melihat rumah terbakar melainkan pergi meninggalkan lokasi.
Perlu diketahui, rumah dan dapur berukuran 6×4 meter persegi tersebut beratap seng. Sementara dapur beratap alang-alang.
Menurut pengakuan pemiliknya, selain perabot rumah tangga, di dalam rumah juga terdapat padi dan perangkat ritual yang berkaitan dengan tradisi berkebun yang disebut Watu Wu’a.
Berdasarkan informasi yang diperoleh media ini dari korban, Oni, sampai dengan Selasa (21/6/2022) Petrus Petu belum menyelesaikan segala urusan berkaitan dengan terbakarnya rumah tersebut.
Padahal, pada Kamis (16/6/2022), Petu telah menyatakan kesediaannya bertanggung jawab. Pada Senin (20/6/2022), Petu sempat dua kali datang ke rumah tempat Oni dan istrinya menginap sementara waktu di Pedan.
Pada Selasa, Oni dan keluarganya mendatangi rumah Petu di Likong Gete, Nangahale untuk mempertanyakan janji Petu untuk bertanggung jawab. Akan tetapi, Petu menyatakan hanya bisa membangun kembali rumahnya, sementara hal-hal lainnya tidak bisa Ia lakukan.
Sementara itu, RD Alo Ndate yang selama ini mengelola perkebunan kelapa tersebut menjawab singkat saat dikonfirmasi VoxNtt.com melalui telepon pada Selasa (21/6/2022).
“Baik pak. Kasih tahu mereka, kalau apa, saya tidak tahu, nanti mereka lapor saja ew. Kami lagi sibuk ini,” tegasnya.
VoxNtt.com kemudian kembali menghubungi RD. Alo melalui SMS dan menyampaikan bahwa urusan proses hukum bukan ranah media. Yang ingin VoxNtt.com pastikan adalah status hubungan kerja antara Petrus Petu dengan RD. Alo Ndante atau perusahaan misi serta bagaimana jalan penyelesaiannya.
“Maaf eee sedang sibuk kami,” balas RD. Alo singkat.
Sampai dengan berita ini ditulis, belum diketahui apakah persoalan ini akan diselesaikan secara adat atau dilaporkan ke polisi.
Masyarakat Adat vs PT Krisrama
Perlu diketahui, Yoseph Oni merupakan anggota Masyarakat Adat Tana Pu’an Soge. Mereka adalah satu dari dua kelompok masyarakat adat yang sejak tahun 2000 silam berjuang merebut kembali areal eks HGU perkebunan kelapa tersebut.
Hingga saat ini, perusahaan milik Keuskupan Maumere dengan masyarakat adat Suku Soge dan Goban belum menemukan kesepakatan.
Sejak berakhirnya izin HGU pada 2013 lalu, masyarakat adat perlahan mulai menduduki lahan dengan berkebun atau membangun rumah.
Sebelumnya, izin HGU dipegang oleh PT. Dioses Agung (DIAG) Ende. Dua tahun setelah izin berkahir, PT Kristus Raja Maumere ( Krisrama) yang merupakan badan usaha milik Keuskupan Maumere mengajukan permohonan HGU.
Akan tetapi, sampai saat ini belum terbit sertifikat HGU yang dimohonkan.
Sampai dengan 2015, masing-masing pihak menempuh upayanya masing-masing. Setelah kedua masyarakat adat mengadukan hal tersebut ke Komnas HAM dan berdialog dengan Kementerian ATR, Pemda Sikka mengambil peran sesuai rekomendasi sebelumnya untuk memediasi para pihak.
Akhirnya pada 2016 lalu, Komnas HAM sempat memediasi para pihak di Aula Bapelitbang. Disepakati bahwa pegang hak sebelumnya yang telah berganti manajemen menjadi PT Krisrama tetap beraktivitas. Sementara masyarakat adat pun diperbolehkan tetap beraktivitas di atas lahan tersebut.
Pada 2019 lalu, Pemda Sikka kembali mendorong penyelesaian konflik melalui dialog. Beberapa langkah telah disepakati bersama namun sampai saat ini belum juga berakhir.
Pada Januari 2022 lalu sempat terjadi keributan di lokasi lantaran PT Krisrama melakukan penanaman pilar. Padahal sesuai tahapan yang disepakati, penanaman pilar baru akan dilakukan setelah ada kesepakatan berkaitan dengan distribusi areal.
Masyarakat adat menilai Pemda Sikka cenderung berpihak pada PT Krisrama atau Keuskupan Maumere.
Penulis: Are De Peskim
Editor: Ardy Abba