Oleh: Ano Parman
Ketua PPK Lembor Selatan-Mabar dalam Pemilu 2019
Pemilu anggota DPD tahun 2019 meraih surat suara tidak sah terbanyak. Surat suara dinyatakan tidak sah karena tidak terdapat tanda coblos pada nomor urut, gambar atau nama salah satu calon.
Terhitung, ada 29.710.175 surat suara tidak sah atau setara 19,02 persen dari total pemilih yang menggunakan surat suara pemilu DPD. Menurut Anggota KPU periode 2017-2022, Evi Novida Ginting Manik, sebagian besar surat suara itu tidak dicoblos sehingga dinyatakan tidak sah.
Fenomena itu aneh, sebab secara teknis pemilu anggota DPD lebih gampang dibandingkan pemilu DPR, DPRD provinsi dab DPRD kabupaten/kota. Disebut gampang karena dalam surat suara
DPD, terpampang foto, nomor urut dan nama calon. Berbeda dengan DPR yang hanya menampilkan nama dan nomor urut calon.
Surat suara pemilu DPD persis sama dengan surat suara pemilu presiden dan wakil presiden. Bedanya terletak pada jumlah calon dan ukuran surat suara. Tapi, jumlah surat suara tidak sah pemilu presiden tercatat paling sedikit dibandingkan jenis pemilu lainnya.
Ketua KPU, Hasyim Ansy’ari dalam sebuah wawancara di Kompas TV mengakui bahwa sampai saat ini belum ada kajian ilmiah yang bisa menjelaskan akar masalah tersebut.
Namun, menurutnya masalah puluhan juta surat suara tidak sah itu disebabkan karena DPD kalah pamor dengan DPR terutama terkait kewenangan anggaran dan pengawasan.
Sedangkan, Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini berpendapat bahwa, masalah itu disebabkan karena pemilih menganggap DPD tak penting sehingga diabaikan saat pencoblosan di TPS. Hal lainnya, lanjut Titi, karena kompleksitas penyelenggaraan pemilu, di mana pada saat bersamaan pemilih menerima dan mencoblos 5 surat suara dan DPD bukan prioritas (Kompas.com, 1/10/2021).
Dari kamar pengawasan, Fridz Edward Siregar, Anggota Bawaslu periode 2017-2022, melihat bahwa masalah itu disebabkan karena pemilih tak mengenal calon. Padahal, faktor itu menjadi salah satu kunci partisipasi pemilih. Selain itu, dia juga mengakui adanya faktor lain yang menyebabkan persoalan ini muncul (Tribunnews, 23/09/2021).
Apapun penyebabnya, kejadian itu jelas mengurangi derajat legitimasi DPD dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga perwakilan. Padahal, legitimasi sangat penting bagi lembaga negara seperti DPD agar bisa tampil berwibawa, baik di hadapan pemerintah maupun saat berhadapan dengan rakyat yang memilihnya.
Fenomena itu mesti menjadi refleksi bagi DPD selama 18 tahun mengabdi untuk negeri ini. Melalui refleksi itu, DPD bisa melihat secara jernih kiprahnya dalam mewakili kepentingan daerah. Tentu akan ada banyak catatan, terutama kelemahan dan kekurangan selama melaksanakan tugas perwakilan. Kelemahan itulah yang perlu diperbaiki ke depan agar lembaga ini dianggap rakyat.
Sedangkan bagi KPU, skandal jutaan surat suara tidak sah itu menjadi peringatan sekaligus dorongan agar lembaga ini lebih kreatif membangkitkan minat pemilih berpartisipasi dalam pemilu.
Karena itu, perlu ada terobosan kontekstual yang memungkinkan persoalan semacam ini tidak terulang lagi pada pemilu 2024.
Namun, untuk jangka panjang, KPU perlu membuat kajian ilmiah dengan melibatkan ahli terkait. Kajian itu bertujuan memetakan masalah dan respons kebijakan untuk perbaikan pemilu ke depan. Jika ide kajian itu tak bisa terlaksana tahun 2023 karena KPU sibuk mengurus tahapan pemilu, maka setidaknya harus diprioritaskan setelah pemilu 2024 selesai.
Selain terkait dengan kedua lembaga tersebut, masalah ini juga berhubungan dengan MPR selaku lembaga yang berwenang mengubah UUD 1945. Melalui perubahan ketiga UUD 1945, MPR membentuk DPD sebagai organ konstitusi baru. Namun, kelihatanya MPR canggung memberi kewenangan kepada DPD sehingga sampai sekarang lembaga ini tumpul dan tak bertaji.
Dalam Pasal 22D UUD 1945, DPD hanya berwenang mengajukan, membahas dan memberi pertimbangan atas RUU tertentu, tapi tak berwenang menetapkan RUU itu menjadi UU. Yang berwenang untuk itu adalah DPR dan Pemerintah. Jadi, jelas sekali ada gap kewenangan cukup lebar antara kedua lembaga ini sehingga tak seimbang dalam memainkan fungsi perwakilan.
Karena itu, aspirasi penguatan kewenangan DPD melalui perubahan kelima harus terus disuarakan agar lembaga ini lebih bertaji dalam memainkan fungsi perwakilan.
Rakyat sangat rugi kalau lembaga ini dibiarkan tumpul, sementara biaya yang dikeluarkan negara untuk DPD cukup besar. Mungkin dengan cara ini, DPD bisa berbuat lebih banyak sehingga berakar di tengah masyarakat*