Ruteng, Vox NTT- Pemerintah Kabupaten Mangarai, Nusa Tenggara Timur, diadukan ke Komnas HAM setelah melakukan pembongkaran pagar milik warga di Nanga Banda di Kecamatan Reok pada 29 Juni 2022 lalu.
Warga yang kini mengadukan Pemda Manggarai adalah Zainal Arifin Manasa.
Dalam pengaduannya ke Komnas HAM, Arifin Manasa menyebut Pemerintah Kabupaten Manggarai bertindak melampaui kewenangannya dengan sengaja membongkar dan merusak pagar di atas tanah miliknya berlokasi di Nanga Banda, Kelurahan Reo, Kecamatan Reok.
Dalam surat pengaduan tersebut, Arifin mengulas kronologi aksi pembongkaran yang dilakukan oleh Pemda Manggarai pada 29 Juni 2022 lalu.
Dia juga mencantumkan sejarah dan bukti-bukti kepemilikan tanah seluas 3 hektare yang merupakan warisan dari kakeknya yang merupakan seorang Rato atau pengawal sultan di Reo.
Aksi pembongkaran, tulis Arifin, diawali dengan terbitnya surat yang dikeluarkan oleh Camat Reok Ahmad Pahu yang ditujukan kepada Zainal Arifin Manasa dan delapan warga lainnya tertanggal 21 Februari 2022.
Surat tersebut bernomor: Pem.181.1/KCR/40/II.2022, yang berisi peringatan terhadap pihak yang melakukan okupasi di atas tanah milik Pemda Manggarai.
Disusul dengan surat kedua yang dikeluarkan Camat Reok Ahmad Pahu yang juga ditujukan kepadanya tertanggal 10 Maret 2022. Surat itu bernomor: Pem. 181. 1/KCR/58/III/ 2022, perihal peringatan kedua terhadap pihak yang melakukan okupasi di atas tanah milik Pemda Manggarai.
Kemudian berlanjut lagi dengan surat yang diterbitkan Sekretaris Daerah Jahang Fansi Aldus atas nama Bupati Manggarai tanggal 24 Mei 2022. Surat bernomor: Pem.130 /81/V/2022 itu berisi undangan yang ditujukan kepada pihak yang dituduh sebagai okupan termasuk Zainal Arifin Manasa.
Lalu, surat kedua yang kembali diterbitkan oleh Sekretaris Daerah Jahang Fansi Aldus, atas nama Bupati Manggarai, tanggal 24 Juni 2022. Surat dengan nomor: Pem.130/101/ VI/2022 itu berisi perihal pemberitahuan yang juga ditujukan kepada Zainal Arifin Manasa, dkk.
Terakhir adalah terbitnya surat yang diberikan kepada Arifin Manasa kurang dari 24 jam sebelum eksekusi dilakukan. Tepatnya pada Selasa, 28 Juni 2022 pukul 17.00 Wita.
Surat tersebut mencantumkan 9 nama warga masyarakat Kecamatan Reok yang dianggap sebagai pihak yang telah mengklaim aset milik Pemkab Manggarai di Nanga Banda.
“Bagi kami, tindakan seperti dilakukan Pemkab Manggarai tidak lazim. Instruksi pembongkaran semestinya dilakukan berdasarkan putusan peradilan, atau setidaknya disertai dengan lampiran bukti kepemilikan oleh Pemkab yang turut disertakan dalam surat pemberitahuan sebagai landasan kepemilikan aset sekaligus dasar dilakukannya tindak pengamanan dan penertiban. Namun, hal itu tidak kami temukan dalam surat pemberitahuan,” tulis Zainal Arifin Manasa dalam surat pengaduannya yang diterima media ini, Minggu (17/7/2022).
Merujuk pada alasan Pemkab Manggarai yang menyatakan hendak melakukan pengamanan aset milik daerah, maka keterlibatan institusi hukum dalam hal ini Kejaksaan Negeri juga sangat penting.
Namun faktanya tak satu pun aparat keamanan yang ada di lokasi, sehingga terjadilah keributan antara keluarga Manasa, Herdin dengan Satpol PP.
Akibat tindakan represif yang dilakukan oleh Satpol PP tersebut, empat orang warga masyarakat menderita luka akibat pemukulan, ditambah dengan penggusuran pilar di lahan seluas 30.000 M2 milik milik Arifin Manasa yang tentunya juga mengakibatkan kerugian di pihak Arifin.
Terkait penelurusan, pengamanan, pemeliharaan, perampasan dan pengembalian asset, terang Arifin, sejatinya diatur dalam Pasal 7 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia, Nomor: Per- 013/A/JA/06/ 2014, mengenai pemeliharaan aset.
“Namun, lagi-lagi, hal itu sama sekali tidak kami temukan selama pelaksanaan pembongkaran. Represivitas dan arogansi Pemkab Manggarai terlihat melalui penolakan upaya dialog dan diskusi yang diharapkan oleh masyarakat setempat. Hal ini didasarkan pada ucapan Wakil Bupati Manggarai pada pertemuan Jumat, 27 Mei 2022, yang berjanji akan kembali mengadakan pertemuan guna mendiskusikan persoalan tersebut,” beber Arifin dalam poin pengaduan yang ditulisnya.
Historis
Adapun poin-poin pengaduan Arifin Manasa ke Komnas HAM memuat kronologi pembongkaran oleh Pemda Manggarai. Arifin Manasa juga membeberkan riwayat tanah miliknya di Nanga Banda yang merupakan warisan dari sang kakek.
“Kakek saya, Alm. Abdurrahman ketika masih hidup memiliki tanah kering seluas kurang lebih 3 hektare yang berlokasi di Persawahan Due dengan batas-batas sebagai berikut: Utara: Pali/sawah garam, Timur: Naga Banda, Selatan: Tanah SVD Keuskupan Ruteng di Reo, Barat: Pali/sawah garam,” terang Arifin.
Diriwayatkan Arifin, perkawinan Abdurrahman dan Bariah melahirkan anak tunggal perempuan bernama Hajijah.
Ketika Abdurrahman meninggal dunia tahun 1940 disusul Bariah yang meninggal tahun 1942, maka sebagai anak tunggal, Hajijah dengan sendirinya menjadi satu-satunya ahli waris.
Setelah dewasa, Hajijah kawin dengan Muhammad Saleh Daeng Manasa. Dari perkawinan Muhammad Saleh Daeng Manasa dengan Hajijah, mereka memiliki keturunan atau anak kandung sejumlah 4 orang, masing-masing : Marwiah Manasa (perempuan), Syarifudin Manasa (laki-laki), Marlia Manasa (perempuan) dan Zainal Arifin Manasa (laki-laki).
Semasa hidupnya, Muhammad Saleh Daeng Manasa dan Hajijah mengerjakan tanah warisan dari orangtua mereka dengan aman tanpa ada gangguan dari pihak mana pun.
Dasar Klaim Kepemilikan
Setelah Muhammad Saleh Daeng Manasa meninggal dunia pada tahun 1972, disusul Hajijah yang wafat pada tahun 1975, pengerjaan dan penjagaan atas tanah Daeng Manasa kemudian dilanjutkan oleh Zainal Arifin Manasa sampai dengan sekarang.
“Tidak hanya mengerjakan dan menjaga tanah tersebut namun sejak tahun 1991 saya juga membayar pajak secara terus menerus hingga sekarang,” ungkap Arifin.
Selain memegang bukti setoran pajak Nomor SPPT. Nop: 53.12.100.009.002-0024.0, Arifin juga dibekali dengan surat keterangan kepemilikan tanah seluas 3 hektare di Nanga Banda yang diterbitkan oleh Kelurahan Reo Pada tahun 2011.
Surat keterangan kepemilikan atas tanah tersebut bernomor: Pem.041/842/VIII/2011, tanggal 08 Agustus 2011, atas nama Lurah Reo, yaitu Julkarnain Badarudin.
Pada tahun 2011 itu pula, batas-batas tanah mengalami perubahan yakni, Utara: sebelumnya pali/sawah garam, sekarang tanah milik A. Kadir Usman. Bagian Timur: sebelumnya Nanga Banda, sekarang pacuan kuda. Selatan: Tanah SVD Keuskupan Ruteng di Reo. Bagian Barat: sebelumnya pali/sawah garam, sekarang tanah milik Hamida H. Sulaiman/Hj. Hamida Samsudin Har.
Arifin juga menyimpan bukti kepemilikan lain berupa Putusan Pengadilan Negeri Ruteng Nomor 57/PDT.B/2015/PN.RTG tanggal 17 September 2015 yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pada halaman 27 alinea pertama putusan itu menerangkan: Menimbang, berdasarkan gambar situasi yang berada di dalam Sertifikat Hak Milik Nomor 137, tanah atas nama Hamidah Haji Sulaiman berbatasan sebelah Utara dengan rencana gang, sebelah Timur dengan H. Zainal Arifin Daeng Manasa dan SVD Ruteng, sebelah Selatan dengan tanah Wily Rotinsulu, dan sebelah Barat dengan H. Syamsudin Haji Abdul Rajak, dengan luas keseluruhan 8.676 m2 dan terdapat pilar I, II, III, IV dan V.
Arifin sendiri mengakui kepemilikan tanah milik Pemkab Manggarai di Nanga Banda yang terletak di bagian Timur dari tanah miliknya.
“Yaitu, tanah yang dulu diserahkan pada zaman kolonial Belanda untuk digunakan atau dijadikan pangkalan udara dan sekarang menjadi tempat pacuan kuda yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai,” tutupnya.
Di atas tanah miliknya, Arifin Manasa sebelumnya telah membuat pagar keliling dengan menggunakan kayu gamal dan bambu. Akan tetapi bangunan pagar itu tidak tahan lama dan selalu dirusak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
“Sejak tahun 2021, saya kemudian membuat pagar berupa tiang tembok, lalu ditambah dengan menggunakan kawat berduri,” tulis dia.
Tembusan surat pengaduan tersebut disampaikan kepada: Presiden Republik Indonesia, Ketua DPR RI, Ketua Komisi III DPR RI, Kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia serta Gubernur Nusa Tenggara Timur.
Penulis: Igen Padur
Editor: Ardy Abba