Kupang, Vox NTT – Organisasi Masyarakat (Ormas) Perkumpulan Alumni Marga Siswa Republik Indonesia atau PATRIA, PMKRI menawarkan solusi terkait polemik kenaikan harga tiket masuk ke Taman Nasional Komodo (TNK), Kabupaten Manggarai Barat.
Diketahui, Pemerintah Provinsi NTT telah resmi menetapkan tarif kunjungan wisatawan ke Taman Nasional Komodo (TNK) Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) sebesar Rp3,75 juta pada Senin (01/08/2022).
Tawaran solusi tersebut mengemuka saat diskusi virtual yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PATRIA, Rabu (03/08/2022).
“Bila pemerintah berkepentingan untuk konservasi TNK, maka solusi yang tepatnya dengan sistem kuota setiap tahunnya, artinya wisatawan bisa mengisi kuota tersebut sesuai kepentingan konservasi,” kata Ketua Umum DPP PATRIA, Agustinus Tamo Mbapa.
Menurut Gustaf, pemerintah tidak perlu menaikan harga tiket hingga 3,75 juta yang justru berdampak buruk terhadap pelaku pariwisata di Manggarai Barat (Mabar).
Lebih lanjut, mantan Ketua Umum Pemuda Katolik ini mengatakan, pemerintah harus mencabut keputusan tersebut dan tidak memaksakan keinginannya sehingga mengabaikan reaksi protes masyarakat khususnya para pelaku pariwisata.
“Pemerintah harus mencabut keputusan kenaikan harga tiket tersebut dan harus mendengar berbagai masukan publik khususnya para pelaku pariwisata,” tegas Gustaf.
Diskusi Virtual yang dipandu moderator Paula Landowero ini juga dihadiri sejumlah narasumber, yakni Kadis Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi NTT Dr. Sony Libing, tokoh masyarakat Mabar Dr. Bernardus Barat Daya, dan Ketua Dewan Pembina DPP PATRIA Robertus Lamanepa.
Dalam kesempatan tersebut, Dr. Zony Libing menjelaskan, alasan menaikkan harga tiket di TNK berdasarkan kajian dan masukan dari Pemerintah Provinsi NTT, dikarenakan mulai berkurangnya nilai ekosistem konservasi di Taman Nasional Komodo.
Pegiat konservasi merasa perlu mengambil tindakan agar Komodo sebagai satwa yang dilindungi tidak punah, dan terjaga populasinya serta habitatnya dilindungi.
“Hasil kajian yang dilakukan IPB, Udayana perlu dibatasi kunjungan menjadi 219 ribu di Pulau Komodo dan 319 ribu di Pulau Padar. Perlu kontribusi dari wisatawan untuk mendapatkan sumber pendanaan yang setelah dihitung dengan nilai 2.5-5 juta akhirnya disepakati jalan tengah 3,75 juta diperuntukkan untuk biaya konservasi, biaya pembangunan infrastruktur kesehatan,” jelas Zony.
Sejumlah aktivis dan pelaku pariwisata Mabar juga turut hadir dalam duskusi virtual ini, seperti Stanislaus stan, Agustinus Tereng dan beberapa pelaku pariwisata lainnya.
Selain itu, hadir pula jajaran pengurus DPP PATRIA, seperti Sekretaris Jenderal PATRIA Septyarini, Wakil Ketua Umum PATRIA Maksimus Ramses Lalongkoe dan Ketua DPD PATRIA NTT, Barthol Badar.
Dalam kesempatan tersebut Stanislaus Stan mengatakan, solusi yang ditawarkan pemerintah untuk berwisata terjangkau ke Pulau Rinca blunder, karena belum dibukanya Pulau Rinca bagi destinasi wisata.
“Turis saya bawa ke mana?”. Stanislaus juga mengatakan bahwa kesepakatan yang telah dibuat pemerintah tidak bisa dianggap mewakili semua pelaku wisata. Faktanya, masih banyak yang tidak setuju dengan kebijakan ini.
Menurut Stanis, pelaku pariwisata pada dasarnya menolak kebijakan kenaikan tarif ke Komodo, Padar dan Pink Beach.
Kesepakatan 24 orang yang mewakili asosiasi masing-masing tentang aksi mogok itu tidak merepresentasi seluruh para pelaku pariwisata.
Sebab itu, pernyataan para perwakilan 24 asosiasi yang mengatakan setuju dan mendukung kebijakan ini sama sekali tidak merepresentasi seluruh suara-suara dan sikap semua anggota di masing-masing asosiasi.
“Masalah kenaikan tarif ini bukan masalah milik para pelaku pariwisata yang diterjemahkan seperti 24 asosiasi itu, tetapi ada stakeholder lain yang turut berkepentingan dan menolak ini kebijakan, seperti para petani sayur dan buah, nelayan, pengusaha kuliner dan lain-lain,” ujar Stanis.
Hal senada juga disampaikan Bernadus Barat Daya selaku tokoh masyarakat Mabar.
Menurut Bernadus, penunjukkan PT. Flobamora sebagai BUMD yang ditunjuk mengelola kawasan wisata ini perlu dipertanyakan.
Hal ini karena tidak diketahui apakah manajemen ini punya kemampuan dan pengalaman dalam hal mengelola atau tidak.
“Hendaknya pemerintah juga mendengarkan masyarakat terutama yang benar terdampak dengan keputusan ini,” tegas Mantan Ketua PMKRI Cabang Ende itu. (VoN)