Ruteng, Vox NTT- Upaya saling klaim terkait status kepemilikan lahan yang terletak tepat di belakang Gendang Limba, Desa Papang, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), terus bergulir.
Upaya klaim sepihak itu terjadi antara Gendang Pawu dan Gendang Limba. Diketahui, kedua gendang ini terletak di Desa Papang Kecamatan Satarmese. Keduanya masing-masing mengklaim bahwa lahan tersebut merupakan lahan milik mereka.
Pada akhir April 2022, warga masyarakat Gendang Pawu menguasai lahan tersebut. Konflik pun dimulai hingga akhirnya dilaporkan ke pihak Kecamatan Satarmese yang terletak di Iteng oleh tokoh adat Gendang Limba.
Menanggapi itu, pihak kecamatan berupaya mengumpulkan sejumlah keterangan dari kedua belah pihak terkait duduk masalah yang kini diperdebatkan.
Alhasil, masyarakat Gendang Pawu mengklaim bahwa lahan tersebut merupakan lahan milik mereka. Sebab merupakan Lingko. Sedangkan masyarakat Gendang Limba mengklaim bahwa lahan tersebut merupakan lahan milik mereka karena merupakan pekarangan (ma’ang).
Cerita saling klaim ini pun terus berlanjut hingga Kamis (11/08/2022). Saat itu, pihak kecamatan berniat untuk dilakukan mediasi dengan mempertemukan kedua belah pihak, mencari titik terang penyelesaian konflik lahan.
Camat Satarmese Dami Arjo dan Kapolsek Satarmese menjadi mediator dalam proses mediasi kala itu. Namun, proses mediasi tidak menemukan penyelesaian. Kedua belah pihak masing-masing mengklaim bahwa lahan tersebut merupakan lahan mereka.
Saran Pihak Kecamatan
Walaupun tidak menuai titik temu dalam proses mediasi, pihak kecamatan menawarkan beberapa alternatif solusi kepada kedua belah pihak.
Adapun beberapa alternatif saran yang dikemukakan pihak kecamatan Satar Mese antara lain yakni sebagai berikut, Pertama, bahwa karena pemerintah kecamatan Satar Mese tidak memiliki referensi terkait dengan sejarah gendang di Manggarai maka keberadaan Gendang Limba tetap diakui.
Kedua, bahwa berkaitan dengan persoalan tanah yang menurut gendang Limba merupakan pekarangan (ma’ang) dan menurut Gendang Pawu adalah Lingko Pawu disarankan dibagi dua secara rata antara Gendang Pawu dan Gendang Limba.
Ketiga, berkaitan dengan kuburan dari orangtua dari orang Limba yang dikuburkan di dekat gendang Pawu, diminta kepada orang Limba untuk mengakui secara tata cara adat Manggarai supaya kuburannya jangan dibongkar.
Ketiga saran tersebut tidak diindahkan oleh kedua belah pihak. Dengan demikian, pihak kecamatan pun mengharapkan agar masalah diselesaikan secara elegan melalui jalur hukum perdata di pengadilan.
Pihak kecamatan pun menyarankan agar selama proses sengketa berlangsung, kedua belah pihak disarankan agar tidak menjalankan aktivitas apapun di atas lahan tersebut demi menjaga situasi dan kondisi tetap aman dan kondusif.
Pengakuan Tokoh Limba
Agustinus Jabut (83) tokoh adat gendang Limba menerangkan bahwa pihaknya tidak muluk-muluk mengklaim lahan tersebut.
Namun, klaim itu berdasarkan historis nenek moyang dahulu yang masih dipegang sampai generasi sekarang.
Mengacu pada historis itu, masyarakat Gendang Limba juga sudah menggarap lahan tersebut dalam kurun waktu yang sangat lama. Lahan tersebut bahkan telah menghasilkan kehidupan bagi mereka karena memanen berbagai jenis tanaman seperti misalnya padi.
“Padi yang dihasilkan dari kebun itu, telah menghidupi kami di gendang Limba ini. Kami sudah lama sekali menggarap lahan itu karena merupakan lahan peninggalan nenek moyang terdahulu,” bebernya.
Cerita yang sama juga dikemukakan pada pihak kecamatan yang disampaikan secara lisan dan diketik oleh pihak kecamatan pada kesempatan sebelumnya. Berikut sejarah dari pihak Gendang Limba yang didokumentasikan pihak kecamatan Satarmese.
“Pada akhir bulan April 2022 kami kaget, plihak dari Gendang Pawu masuk ke pekarangannya kami. Yang kami tahu kami tidak ada masalah. Bahwa kampung Limba bukan kampung baru, tetapi sudah lama,” katanya.
“Kami sudah turunan yang ke-12 (dua belas). Nenek kami datang dari Minangkabau tinggal di Todo Koe dengan nama Rewung. Dari Todo Koe pindah ke Banga Dari di bagian selatan Limba. Silsilah keturunan kami Rewung-Nenggut-Tunang Kula, Nggaok, Rumpak dan ca ata peko (lumpuh),” sambung Agustinus
Karena terjadi sesuatu, akhirnya Empo Kula ke Lelak, Nggaok ke Gara dan Rumpak ke Sita Torok Golo.
Di Lelak Empo Kula, oleh Dalu Lelak memberikan tempat tinggal di Polor. Anaknya Empo Kula adalah Raping dan Nggaluk. Anaknya Raping adalah Katu, anaknya Katu adalah Jok, anaknya Jok adalah Daduk dan Gantu.
“Pada saat di Lelak le Dalu Lelak taki mendi ami ata Limba yang tinggal di Polor, denge le Gelarang Papang akhirnya ngo ise jemput kole ce’e le mai. Empo Jok yang kembali dari Lelak sementara tinggal di Papang kemudian ke Limba,” jelas Agustinus.
“Pada masanya Daduk dan Gantu terjadi Keboti, sehingga hia Daduk dan Gantu pindah ke Lajar. Pada saat pengambilan keterangan Camat Satarmese bertanya berkaitan dengan Gendang Limba, apakah gendang Limba merupakan Gendang Cahir dan kalau cahir (bagi) cahir dari gendang mana”
“Pihak Gendang Limba menyampaikan melalui juru bicaranya bahwa Gendang Limba sudah ada sejak dulu sejak masa Empo Tunang dan bukan cahir dari gendang manapun”.
Versi Gendang Pawu
Berbeda dengan pandangan pihak Gendang Limba, pihak gendang Pawu tidak membeberkan sejarah kepemilikan lahan tersebut secara detail. Mereka bersedia membongkar itu saat di meja persidangan di pengadilan manakala diproses lanjut ke ranah hukum.
Namun demikian, pihak Gendang Pawu juga menghendaki agar sebelum mengurai sejarah lahan, maka hal yang tidak kalah penting adalah uraian sejarah hingga adanya gendang Limba.
Berikut catatan pengakuan pihak Gendang Pawu yang disampaikan kepada pihak Kecamatan Satarmese pada saat proses mediasi di kecamatan.
“Sebenarnya kami tidak ada masalah. Hanya karena kami diganggu makanya kami merasa terganggu. Intinya orang yang menggugat ingin menguasai gendang dami. Menurut tu’a Pawu, toe manga genda agu Lingko orang yang menggugat. Orang tersebut harus keluar dari gendang dami. Kami di gendang Pawu ada suku Pongkor, Pacar, Polor, Ndueng dan Cumbi. Dari Lajar dulu mereka (orang Limba) diminta oleh tu’a Pawu tinggal di Lingko Purang Ru’a. Kuburan neneknya di dekat gendang Pawu. Karena sudah dirikan gendang maka kami ambil semua tanah yang sudah dibagi. Manga gendang wajib manga Lingko. Gendang Limba bukan dikasi oleh Gendang Pawu tetapi tanah atau Lingko Gendang Pawu yang berikan. Tidak ada tu’a teno khusus dari Limba, mereka hanya pendamping. Kalau mereka tidak mendirikan gendang, kami tidak ganggu tanah, tetapi kalau gendang tetap adamakaa semua tanah diambil kembali ataupun mereka tunjukan Lingko-nya di mana”.
Penulis: Igen Padur