Labuan Bajo, Vox NTT- Ada yang aneh selama polemik kenaikan tarif masuk Taman Nasional Komodo (TNK) berlangsung.
Sudah hampir dua bulan kenaikan pungutan terhadap wisatawan yang masuk ke Pulau Komodo dan Pulau Padar mengundang kontroversi.
Namun, pemegang kewenangan utama di TNK tak pernah mengeluarkan pernyataan terbuka.
“Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) adalah penanggung jawab utama pengelolaan TNK. Anehnya, KLHK terkesan apatis, cuci tangan, dan irit bicara selama masalah terjadi,” tegas Heribertus P N Baben, pemerhati lingkungan, budaya, dan pariwisata kepada awak media, Sabtu (20/08/2022).
Heribertus menjelaskan, sebagai pemegang kewenangan pengelolaan TNK, KLHK seharusnya menjadi pihak yang paling paham seluruh proses yang melatari terjadinya polemik.
Alih-alih mengeluarkan penjelasan, KLHK dinilai lebih memilih bersikap apatis dan tidak memiliki upaya sama sekali untuk menjernihkan masalah yang terjadi.
Dari sisi pemerintah, hanya Pemerintah Provinsi NTT dan Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif yang tampil untuk memberikan penjelasan ke publik.
“KLHK seperti sutradara yang sedang menonton dan menikmati drama yang dia kreasikan sendiri,” ujar Heribertus.
Untuk diketahui, pengelolaan TNK berada di bawah Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK, sebagaimana diatur dalam serangkaian peraturan perundangan bidang LHK.
Peraturan perundangan tersebut yaitu, UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Perpres No. 16 tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.18/MENLHK-II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.7/MENLHK/SETJEN/OTL.0/1/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional.
Di bawah Ditjen KSDAE, terdapat pelaksana teknis di lapangan yaitu Balai Taman Nasional Komodo.
Selain melaksanakan tugas terkait konservasi, Balai TNK juga bertugas menarik berbagai pungutan terkait jasa dan sarana wisata di kawasan TNK sesuai PP No 12 Tahun 2012 tentang Penerimaaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Heribertus menjelaskan, ada dua hal yang kemudian menjadi dasar terjadinya polemik dalam kaitan dengan KLHK. Yang pertama adalah terkait nota kesepahaman (MoU) antara KLHK dengan Pemprov NTT terkait pengelolaan TNK.
Yang kedua, berdasarkan nota kesepahaman tersebut lalu dibuat perjanjian kerja sama (PKS) antara Balai TNK dengan PT Flobamor, BUMD milik Pemprov NTT. Kerja sama ini menyangkut penarikan berbagai pungutan wisata di TNK.
“KLHK merupakan salah satu pihak dalam MoU dan PKS itu. Maka sebenarnya KLHK sangat paham seluruh proses yang terjadi. Apalagi konservasi maupun kenaikan tarif berada dalam yurisdiksi KLHK. Itu perlu dijelaskan pemangku kepentingan lain dan ke publik,” tambah Heribertus.
Dia juga meminta pihak-pihak terkait untuk memantau potensi pelanggaran administratif dan hukum hingga penyalahgunaan kewenangan terkait MoU dan PKS yang dilakukan KLHK dan pihak lain dalam pengelolaan TNK.
Selain itu, Heribertus juga mempertanyakan paket tarif yang dikeluarkan Pemprov NTT dan PT Flobamor.
Dalam paket tersebut terdapat komponen alokasi penerimaan untuk biaya konservasi.
Namun, setorannya justru diberikan ke PT Flobamor, bukan kepada Balai TNK sebagai pelaksana konservasi.
Untuk diketahui, Balai TNK selama ini bertugas menerima pungutan untuk disetor ke kas negara sebagai PNBP.
Besaran PNBP dari TNK terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari KLHK, setoran PNBP dari TNK sebanyak Rp5,4 M di tahun 2014, Rp19,20 M di tahun 2015, Rp22,80 M di tahun 2016, dan Rp29,10 M di tahun 2017.
Pada 2018 nilai setoran PNBP dari Taman Nasional Komodo telah mencapai Rp33,16 M. [*]