(Sentilan untuk Bupati TTU)
Oleh: Avent Saur, SVD
Warga NTT, Pendiri Relawan Kelompok Kasih Insanis Peduli Sehat Jiwa NTT
Dua hari jalan-jalan di wilayah Timor Tengah Utara, relawan menjumpai tujuh penderita gangguan jiwa. Satu di antaranya terpasung; pasung dua tangan dan dua kaki, pakai rantai sepeda motor.
Dua ujung rantai itu disatukan dengan beberapa gembok. Semuanya sudah berkarat. Karatan itu memakan kulit kaki dan tangannya.
Dua kakinya baru dilepaskan dari pasungan sekitar tiga bulan lalu dengan meninggalkan luka-luka, sedangkan dua tangan masih terpasung.
Dalam beberapa tahun terakhir, ia berjalan dari kampung ke kampung dalam keadaan terpasung. Ke mana pun ia pergi dengan pakaian lusuhnya, ketika lapar dan haus, ia mengemis pada warga.
Ia sering kali diolok-olok. Ia juga dipermainkan oleh sekian banyak orang. Sering kali, ia menjadi objek tertawaan seakan-akan ia bukan manusia seperti orang-orang pada umumnya. Betapa pelik hidupnya.
Padahal kan ia manusia, memiliki martabat ciptaan Tuhan. Oleh sakitnya, semestinya ia sama sekali tidak kehilangan martabatnya sebagai manusia.
Martabatnya sama dengan kita semua, ya sama dengan martabat para pejabat siapa pun di Republik ini, termasuk martabat Presiden Jokowi, martabat Gubernur Laiskodat, dan tentu juga martabat Bupati TTU.
Selama menjalani sakitnya sejak tahun 2014, ia sama sekali belum menerima pelayanan politik kesehatan dari tenaga kesehatan fasilitas dasar seperti puskesmas. Ia betul-betul sepi dari layanan kesehatan jiwa.
Keluarga pemilik rumah yang di dalamnya ia tinggal menetap lantaran sejak kecil ia telah kehilangan ibu dan ayah sudah menempuh aneka langkah pemulihan kesehatannya.
Langkah-langkah itu tentu masih sangat tradisional, penuh stigma sosial dan diskriminasi sosial. Ke dukun dan pendoa, misalnya. Keluarga telah menggelontorkan sekian banyak biaya untuk membayar jasa perdukunan dan pendoaan. Ia tak kunjung pulih tentunya.
Dan dalam tahun-tahun terakhir, keluarga sudah lelah, lantas membiarkannya menggelandang di jalanan kampung dan sekitarnya, serta dengan hati bercabik-cabik dan dengan napas sesak di dada, mereka terpaksa memasungnya. Entah hingga kapan!
***
Tujuh orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang dijumpai dalam dua hari, 3 dan 5 September 2022 (belum termasuk yang dijumpai dalam beberapa hari ke depan), mereka semua belum mendapat layanan medis kesehatan jiwa.
Sama seperti dia yang terpasung, mereka mengakses praktik perdukunan dan pendoaan yang mudah dijumpai di masyarakat.
Bagai sang peziarah yang tak kunjung merengkuh apa yang dicarinya, malah menjumpai jalan buntu dan telah kehabisan bekal, demikianlah juga para penderita gangguan jiwa dan keluarganya itu; mereka telah menjumpai sekian banyak dukun dan pendoa serta telah kehabisan cara dan biaya, mereka toh tak kunjung memeluk kepulihan atas anggotanya yang sakit.
Kini tak banyak kata yang mereka ucapkan sebab sudah lelah lidahnya untuk berkeluh kesah. Mereka kehabisan pikiran untuk mencari solusi sebab lelah otaknya untuk berpikir kreatif. Ekonomi mereka juga terkapar sebab lelah tenaganya untuk mencari sumber daya dan menabung.
Dan hingga kini pun mereka tetap tinggal dalam lingkaran stigma yang mungkin tak kunjung usai. Misalnya, orang menderita gangguan jiwa karena mendapat kutukan dari Tuhan, karena karma dosa dan kesalahan nenek moyang, karena kemarahan leluhur.
Stigma lainnya, orang menderita gangguan jiwa dan tak bisa sembuh lantaran setan sudah menguasai dirinya, karena kesalahan adat yang fatal, karena dibuat orang yang irihati, atau juga karena dosa berat yang tak terampuni.
Lingkaran stigma sosial ini diikuti oleh diskriminasi sosial. Misalnya, pemasungan, objek tertawaan dan permainan, membiarkan menggelandang, kekerasan fisik dan nonfisik, mengganggu sekadar untuk memancing ulah ODGJ, dan aneka diskriminasi lainnya, dan boleh jadi mereka sudah dijadikan objek untuk konten media-media sosial.
Dan diskriminasi yang paling kental dan telak adalah alpanya negara atas keadaan mereka.
Mereka ditelantarkan dari layanan kesehatan jiwa. Mereka diperlakukan tidak adil oleh negara.
Toh mereka mengelandang di jalanan dekat fasilitas kesehatan Puskesmas, tetapi para tenaga medis tidak melihatnya sebagai sebuah persoalan yang mesti segera ada solusinya.
***
Nah kenapa sentilan kecil ini ditujukan khusus buat Bupati? Ya untuk kali ini, buat Bupati Timor Tengah Utara. Sebab kunci utama pembangunan di sebuah daerah lokal kabupaten adalah Bupati, dibantu oleh wakilnya, dibantu lagi oleh para kepala dinas, khususnya kepada dinas kesehatan dan kepala dinas sosial.
Pihak-pihak lain juga bisa menjadi kunci, semisal dinas-dinas lain, kepolisian, desa, masyarakat dan relawan peduli kesehatan jiwa, tetapi mereka semua bukan kunci utama, melainkan kunci pendukung.
Apa yang Bupati bisa laku untuk tersedianya layanan politik kesehatan jiwa? Di Indonesia, perbandingan jumlah penderitaan gangguan jiwa jauh lebih banyak dari jumlah tenaga kesehatan baik dokter, perawat jiwa, maupun psikolog klinis.
Di NTT, misalnya, penderita gangguan jiwa berjumlah 8000-an orang, sementara dokter ahli jiwa hanya lima orang. Rumah Sakit Umum daerah yang memiliki poli jiwa hanya dua.
Maka apa yang mesti dilakukan? Sudah sekian tahun, Kementerian Kesehatan menyediakan kesempatan kepada pemerintah kabupaten dan kota untuk memberikan pelatihan kesehatan jiwa buat para dokter umum dan para perawat di puskesmas dan rumah sakit.
Tinggal Pemerintah daerah menyediakan anggaran untuk penyelenggaraan pelatihan itu.
Melalui pelatihan itu, para dokter dan perawat di puskesmas memiliki kompetensi untuk mengobservasi dan menegakkan diagnosis, serta memberikan terapi medik kepada para penderita gangguan jiwa.
Melalui pelatihan itu juga, para dokter dan perawat memiliki kemampuan untuk memberikan edukasi kesehatan jiwa kepada masyarakat, serta membangun sistem layanan kesehatan jiwa yang merangkul pelbagai kalangan untuk bersama-sama membongkar stigma sosial dan diskriminasi sosial terkait gangguan jiwa dan penderitanya. Salah satunya, di situlah dinas sosial berperan bersama-sama.
Aneka regulasi sudah tersedia untuk melakukan semuanya itu. Selain Undang-undang tentang Kesehatan Jiwa dan Undang-undang tentang Penyandang Disabilitas, serta pelbagai regulasi lainnya, regulasi yang paling mendasar adalah bahwa secara nasional layanan untuk penderita gangguan jiwa sudah masuk dalam lingkaran Standar Pelayanan Minimal (SPM) baik bidang kesehatan maupun bidang sosial.
Ketika sebuah layanan masuk SPM, maka pihak-pihak terkait mau tak mau harus melakukan layanan itu; Puskesmas harus memberikan layanan kesehatan jiwa, persis seperti Puskesmas memberikan layanan untuk orang yang menderita batuk, pilek, dan aneka sakit lainnya.
***
Jumlah penderita gangguan jiwa di sebuah daerah kabupaten tentu bukan hanya tujuh, bukan juga hanya belasan, bahkan bukan hanya ratusan, melainkan bisa mencapai angka 1000.
Di Kabupaten Ende dan Kabupaten Sikka, misalnya, pendataan dan layanan medis terhadap orang dengan gangguan jiwa dimulai sejak 2014 dan 2017, kini datanya sudah mencapai angkat 1000 lebih.
Di kabupaten lain yang pendataannya sudah dilakukan sejak 2018 hingga kini, angkat sudah menyentuh 700 hingga 800.
Angka itu tergolong baik. Sebab makin tinggi angkanya, makin bagus penjangkauan layanan kesehatan jiwa. Sebab angka tinggi menunjukkan akumulasi, bukan menunjukkan kejadian luar biasa.
Dan TTU, jika sudah memulai, dan saya yakin sudah dimulai (cuma belum maksimal), maka penjangkauan layanan kesehatan jiwa akan makin bagus dalam hari-hari dan bulan-bulan serta tahun-tahun mendatang.
Nah ketika pembangunan layanan kesehatan jiwa berjalan dan makin maju, maka barulah kita semua akan tahu bahwa kesehatan jiwa itu sangat penting untuk mengelola hidup kita secara keseluruhan.
Kiranya sentilan ini berfaedah buat pembangunan politik kesehatan jiwa di Kabupaten Timor Tengah Utara.*