Kupang, Vox NTT-Rumah ibadah Agama Kristen, Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan Masjid Al-Mutaqqin berdiri kokoh terpisah pagar tembok sebagai pembatasnya.
Dua bangunan rumah ibadah terletak di Jalan KB Mandiri Nomor 2 dan 3 di RT 9, RW 30, Kelurahan Kelapa Lima, Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang.
Letaknya, di tengah pemukiman warga kedua rumah ibadah ini sudah terlihat dari jauh begitu memasuki kawasan Wali Kota Baru.
Puluhan tahun, kedua rumah ibadah ini menjadi saksi betapa kerukunan dan toleransi antarumat beragama sudah terpelihara baik.
Malahan hidup berdampingan selama puluhan tahun di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) membuat umat Kristen dan Islam hidup rukun tanpa membedakan-bedakan sebagai mayoritas atau minoritas.
Berbagi Lahan Parkir
Ada cerita menyentuh dari dua rumah ibadah yang berdekatan ini yakni saat umatnya saling mendukung dengan berbagi parkir.
“Lahan parkir yang terbatas membuat Jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Kupang menggunakan halaman masjid untuk memarkir mobil mereka selama beribadah di hari Minggu,” kata Sekretaris Pengurus Yayasan Al-Mutaqqin, Bahudin Syuan Lang beberapa waktu lalu.
Menurutnya, begitu pula sebaliknya, Bahudin Syuan Lang mengatakan bahwa pemuda gereja juga seringkali membantu dan menyediakan lahan parkir untuk umat Muslim yang akan salat Jumat di Masjid Al-Mutaqqin.
Kata dia, kerukunan antarumat beragama yang memiliki tempat ibadah berdampingan ini, harus tetap dijaga karena merupakan bagian dari ajaran Islam.
“Jadi kalau bicara tentang toleransi, Islam itu datang sebagairahmatan lil alamin . Allah mengasihi seluruh mahluknya, begitu pula kita harus melakukan itu,” jelasnya.
Menurut Bahudin Syuan Lang, letak Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Kupang dan Masjid Al-Muttaqin yang hanya dibatasi pagar membuat mereka harus bisa menjadi contoh, khususnya soal toleransi, bukan saja bagi saudara-saudara yang di NTT namun juga di Indonesia.
“Selama ini toleransi antar umat Kristen dan Islam tidak pernah ada masalah dan malah saling membantu. Saling mengerti saja, kami memberitahu saudara-saudara kami yang beragama Kristen tentang kegiatan yang akan kami lakukan seperti tarawih yang rutin,” ungkap Bahudin Syuan Lang.
Ia memberi contoh seperti saat bulan Ramadan, kedua umat saling menghormati selama kegiatan keagamaan berlangsung.
“Saling mengerti saja, kami memberitahu saudara-saudara kami yang beragama Kristen tentang kegiatan yang akan kami lakukan seperti tarawih yang rutin, lomba untuk anak-anak, dan kami pun tak memasang volume speaker yang keras,” jelas Syuan, demikian dia biasa di sapa.
Menurut Syuan, selama bulan Ramadan, masjid baru mengadakan acara setelah kebaktian selesai dilakukan.
“Untuk jam-nya, kami menyesuaikan jika itu sudah hari Minggu. Tetapi untuk sehari-hari, acara di gereja biasanya sudah selesai pada siang hari sebelum waktu salat dzuhur, karena mereka paham waktu salat kan tidak bisa ditunda,” jelasnya.
Kota Kupang, Kota Toleran di Indonesia
Sebagai informasi, sebelumnya, pada tanggal 30 Maret 2022 lalu, Setara Institute mengumumkan sepuluh kota toleran di Indonesia dan Kota Kupang berada di urutan keempat dengan meraih skor 6,337.
Kota Singkawang dinobatkan sebagai kota paling toleran dengan skor 6,483.
Sedangkan kota Salatiga berada di posisi ketiga dengan meraih skor 6,367 yang pada tahun 2021 meraih urutan 1.
Kondisi ini menggambarkan adanya peningkatan dalam hal toleransi di Kota Kupang yang dapat dikatakan menjadi semakin baik.
Riset yang dilakukan Setara Institute sendiri mempertimbangkan empat variabel dengan delapan indikator sebagai tolak ukur berbasis paradigma hak konstitusional warga sesuai Hak Asasi Manusia (HAM).
Variabel pertama adalah regulasi pemerintah dengan indikator RPJMD dan kebijakan diskriminatif.
Selanjutnya adalah tindakan nyata dengan indikator pernyataan dan tindakan nyata pemerintah kota.
Kemudian, variabel ketiga regulasi sosial mencakup indikator peristiwa intoleransi dan dinamika masyarakat sipil. Variabel keempat Demografi Sosial- Agama meliputi indikator heterogenitas dan inklusi sosial.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba