Oleh: Siprianus Edi Hardum, S.H., M.H.
DALAM beberapa hari terakhir ini, saya membaca sejumlah media massa online dan media sosial yang berisi kritikan dan sindiran kepada dua orang rekan advokat yang siap menjadi kuasa hukum mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo (Irjen Pol) dan istri Putri Candrawati.
Dua rekan advokat itu adalah Febri Diansyah dan Rasamala Simangunsong. Keduanya adalah mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Yang saya sayangkan adalah orang-orang yang ikut menyindir dan mengkritisi kedua teman advokat di atas karena menjadi advokat dua orang tersebut adalah advokat senior dan mantan penyidik senior KPK, Novel Baswedan.
Bahkan Novel meminta Febri Diansyah dan Rasamala Simangunsong untuk mundur sebagai kuasa hukum Ferdy Sambo dan istrinya. Menurut Novel Baswedan sebagai dikutip sejumlah media massa bahwa seharusnya kedua rekan advokat di atas membela korban dari tindakan Ferdy dan istrinya.
Ferdy Sambo telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pembunuhan Brigadir Yosua alias Birgadir J. Ferdy dijerat dengan Pasal 340 KUHP subsider 338 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal hukuman mati.
Istri Ferdy, Putri Candrawathi dalam kasus yang sama juga dijerat dengan Pasal 340 subsider 338 Juncto Pasal 55 Juncto pasal 56 KUHP. Ancamannya juga hukuman mati.
Konsep Penegakan Hukum
Konsep utama negara hukum dalam menegakan hukum adalah pemberlakuan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent), merupakan asas yang menyatakan bahwa setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan kemuka pengadilan karena disangka telah melakukan tindak pidana wajib dianggap tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Asas praduga tidak bersalah ini diatur dalam dua undang-undang yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman).
Penjelasan Umum KUHAP butir ke-3 huruf c berbunyi,”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Sedangkan UU Kehakiman, asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi,”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Pakar hukum M. Yahya Harahap, menjelaskan soal asas praduga bersalah, mengatakan,”tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap”.
Bertolak dari asas presumption of innocent inilah KUHAP mengatur bahwa tersangka atau terdakwa berhak dan wajib didampingi pengacara atau advokat ketika diproses hukum.
Tersangka atau terdakwa berhak artinya sekalipun diancam tindak pidana ringan kalau si terdakwa atau terdakwa mampu membayar jasa advokat tidak dilarang menurut hukum.
Sebaliknya kalau si tersangka atau terdakwa ancaman hukuman hukumannya di bawah lima tahun tidak diwajibkan oleh hukum didampingi kuasa hukum.
Hal ini sebagaimana diatur Pasal 54 dan Pasal 55 KUHAP. Pasal 54 KUHAP berbunyi,”Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam Undang-undang ini.”
Selanjutnya Pasal 55 KUHAP menyebutkan,”Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya”.
Sedangkan tersangka atau terdakwa yang ancaman hukumannya lima tahun ke atas, wajib didampingi kuasa hukum. Kalau tersangka atau terdakwa tidak mampu untuk membayar jasa pengacara maka negaralah yang menyiapkan jasa pengacara.
Karena itulah hampir semua pengadilan di Tanah Air disiapkan Pos Bantuan Hukum. Di sana tersedia advokat yang membela tersangka atau terdakwa yang tidak mempu membayar jasa pengacara. Para pengacara di Pos Bantuan Hukum ini dibayar oleh negara.
Hal ini diatur dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP berbunyi,”Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka”. Pasal 56 ayat (1) KUHAP berbunyi ayat (2) berbunyi,” Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-Cuma.”
Bertolak dari asas praduga tidak bersalah di atas maka advokat tidak boleh menolak perkara. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasal 4 ayat (2) tentang sumpah advokat yang berbunyi,”…bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberikan jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bukan merupakan bagian dari tanggung jawab profesi saya sebagai seorang advokat.”
Ferdy dan Istri Berhak
Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum di atas, maka Ferdy Sambo dan istrinya berhak didampingi kuasa hukum. Selain itu, siapa pun advokat bersedia mendampingi Ferdy Sambo dan istrinya tidak salah secara etika profesi, etika social apalagi hukum.
Karena itu, saya salute kepada Febri Diansyah dan Rasamala Simangunsong yang bersedia menjadi pengacara Ferdy Sambo dan istrinya.
Selanjutnya, saya tegaskan, orang-orang yang mengkritisi Febri Diansyah dan Rasamala Simangunsong karena bersedia menjadi pengacara Ferdy Sambo dan istrinya adalah orang-orang yang tidak paham dan lupa akan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam negara demokrasi di era digitalisasi ini, seseorang yang diproses hukum akan menghadapi dua tahap hukuman, pertama, dihukum pemberitaan baik pemberitaan media massa maupun media social. Hukuman oleh media massa dan media social ini sadis. Tersangka benar-benar dibully termasuk keluar si tersangka.
Kedua, hukuman yang dijatuhkan hakim yakni hukum kurungan, penjara atau hukuman mati. Dalam menghadapi hukuman seperti inilah, kehadiran advokat sangat penting.
Kehadiran advokat, bukan untuk membenarkan yang salah atau ssebaliknya, tetapi agar proses penegakan hukum sesuai dengan ketentuan hukum formal (KUHAP) dan hukum materiil (KUHP dan ketentuan Pidana di Luar KUHP).
[Penulis adalah advokat dari Edi Hardum and Partners].