Oleh: Ano Parman
Warga Lembor Selatan-Mabar
Ada yang salah dalam demokrasi kita. Salah satu kesalahannya: Anggota DPR/DPRD dibikin menjadi wakil partai. Padahal, mereka itu murni pilihan rakyat untuk memperjuangkan kepentingan politik konstituenya. Fenomena ini berlangsung lama dan terbukti merusak demokrasi.
Namun, tak ada kemauan, terutama dari elit politik untuk merubahnya. Bahkan, mereka nyaman dan menikmati praktek menyimpang ini. Hal itu masuk akal sebab partai kita justru mendapat banyak keuntungan dari situasi itu.
Anehnya, parpol kita terus saja mengelabui rakyat seolah-olah apa yang mereka lakukan demokratis padahal sebaliknya.
Dalam kondisi demikian, anggota dewan betul-betul menjadi pesuruh partai politik. Mereka disuruh untuk melakukan apa saja kehendak penguasa parpol. Jika tak menurut sudah pasti mendapat sanksi bahkan sampai diberhentikan.
Akibat, anggota DPR/DPRD tak merdeka dan makin jauh dari rakyat. Benar kata Fahri Hamzah, anggota dewan itu berhenti jadi wakil rakyat sejak dilantik menjadi anggota DPR/DPRD. Sebab, setelah dilantik mereka murni wakil partai yang mencalonkannya.
Tak salah anggota DPR/DPRD disebut petugas partai. Bahkan penyebutan itu merambat sampai elected officials di lembaga eksekutif. Sampai Presiden pun tak luput dari penyebutan itu.
Padahal, dalam negara demokrasi praktek itu salah besar. Gejala itu merupakan sisa-sisa feodalisme masa lalu yang diselundupkan ke dalam demokrasi kita.
Feodalisme itu kemudian dipertahankan dengan kekuatan politik sehingga menjadi kebiasaan dan dianggap benar. Tak heran jika sampai hari ini parpol semena-mena terhadap wakil terpilih dan rakyat berdaulat sekaligus.
Sikap parpol yang tak mau melepaskan genggamannya itu ada kaitanya dengan pembiayaan partai. Sebab di tengah biaya politik mahal seperti hari ini, mau tak mau parpol harus mengumpulkan dana cukup agar dapur terus mengepul.
Biaya besar juga disiapkan untuk memenangkan pertarungan dan meraih dominasi di parlemen. Pada titik ini, isi tas parpol dan caleg-calegnya sangat menentukan hasil akhir pertarungan.
Memang pemerintah siapkan bantuan keuangan dari APBN/APBD untuk parpol. Bahkan, besaranya selalu meningkat dari waktu ke waktu.
Namun, bantuan itu tak mampu memenuhi kebutuhan parpol. Parpol kita memang sudah menjadi semacam mesin pemakan uang paling buas.
Karena itu, logis kalau parpol mencari dana dari sumber lain, termasuk memanfaatkan kader parpol yang bertugas di lembaga perwakilan.
Itulah awal dari korupsi politik yang menggurita sampai hari ini. Ini soal lama yang cukup berbahaya bagi demokrasi, tapi tak kunjung diselesaikan oleh negara.
Wakil Rakyat
Sebenarnya, anggota DPR/DPRD itu wakil rakyat, bukan wakil partai. Mereka diberi mandat untuk mewakili kepentingan politik konstituennya. Logis kalau mereka itu bertanggung jawab kepada rakyat sebab rakyatlah yang memberinya mandat berkuasa.
Konsekuensinya, rakyat pula yang berhak mengambil kembali mandat itu, jika tak sejalan dengan kehendak rakyat. Memberi dan mengambil kembali mandat itu hanya boleh terjadi melalui pemilu.
Tidak dibenarkan ada otoritas tertentu, termasuk parpol mengambil paksa mandat itu tanpa melalui pemilu.
Lantas, di mana posisi parpol? Dalam negara demokrasi, parpol itu perkakas rakyat untuk berdemokrasi. Untuk itu, parpol dilengkapi fasilitas menghasilkan demokrasi. Hal itu terlihat pada 4 fungsi parpol, yakni rekrutmen, pendidikan politik, agregasi, dan artikulasi kepentingan rakyat.
Keempat fungsi tersebut kemudian berakar di atas ideologi parpol sebagai pijakan sekaligus roh berpolitik.
Ideologi itu mengandung nilai-nilai luhur yang menjiwai sikap dan pikiran seluruh kader, baik yang sedang dididik di dalam parpol maupun yang berkiprah di lembaga perwakilan.
Dapat dikatakan, parpol itu rumah ideologis bagi kader-kadernya. Jadi, hubungan parpol dan wakil rakyat di lembaga perwakilan adalah hubungan ideologis, bukan hubungan atasan dan bawahan.
Karena itu, tidak ada garis komando dari parpol kepada kadernya di lembaga perwakilan. Dengan demikian, kader yang tak sejalan dengan kehendak elit parpol tidak bisa diberhentikan sepihak oleh elit partai seperti yang dipraktekan selama ini.
Mestinya yang ideal adalah kader semacam itu tak boleh dicalonkan kembali oleh partai politik bersangkutan pada pemilu berikutnya. Begitulah seharusnya parpol menghukum kadernya yang menyimpang dari ideologi partai.
Tata Ulang
Penyakit ini harus dihilangkan dari otak parpol kita. Sebab, dalam demokrasi, parpol tak boleh memiliki pejabat politik terpilih, bahkan itu diharamkan. Jika penyakit ini tak hilang, demokrasi kita pasti sakit terus.
Harapan itu bisa dicapai kalau ada komitmen kuat semua pihak, terutama elit parpol untuk berubah. Hanya dengan itu, Indonesia bisa menjadi negara demokrasi sesungguhnya.
Agenda itu ditempuh melalui tata ulang posisi dan relasi antara parpol dan wakil rakyat dalam sistem demokrasi kita.
Desainnya, ke depan parpol itu hanya berfungsi menjaring dan menyiapkan kader bermutu untuk mengabdi bagi rakyat. Urusan parpol mestinya selesai di situ.
Tak boleh lagi parpol ikut campur apalagi mengatur-ngatur kemerdekaan anggota lembaga perwakilan. Biarkan kadernya bergerak bebas memainkan peran sesuai kehendak pemberi mandat yakni rakyat berdaulat.
Untuk itu, parpol harus menjadi sekolah politik inklusif dan organisasi yang menghargai pikiran dan imajinasi kebangsaan, di mana tradisi berdebat menjadi bagian dari denyut nadi parpol.
Dengan demikian akan lahir intelektual politik yang mengerti kebutuhan rakyat dan mau mengabdi bagi kebaikan bersama.