Jakarta, Vox NTT- Saat ini bukan hanya Nusa Tenggara Timur (NTT) yang darurat perdagangan orang atau human trafficking.
Provinsi Sulawesi Utara juga merupakan daerah kantung kasus human trafficking di Indonesia.
Kasus dua gadis asal Sulawesi Utara berinisial IM (17) dan RD (13) yang menjadi korban human trafficking di Barito Utara, Kalimantan Tengah (Kalteng) menjadi contohnya.
“Saat ini bukan hanya NTT alias Nusa Tertinggi Trafficking, ternyata Sulawesi Utara juga darurat human trafficking untuk tujuan eksploitasi seksual dan ABK Niaga maupun ikan,” ujar anggota Zero Human Trafficking Networking dan Jaringan Nasional AntiTPPO, Gabriel Goa, dalam keterangan tertulis yang diterima VoxNtt.com, Sabtu (10/12/2022).
Di balik kasus tersebut, Gabriel pun mengharapkan segera melakukan konsolidasi pembentukan Zero Human Trafficking Networking Kawanua, Sulawesi Utara.
Agenda utamanya, kata dia, melakukan lobi dan advokasi kebijakan publik yakni, pertama, merevisi Peraturan Gubernur Sulawesi Utara tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sebagai implementasi Perpres Nomor 22 Tahun 2021 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganana TPPO.
Kedua, melobi dan mengadvokasi kebijakan publik Peraturan Bupati Minahasa Selatan tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO serta Perbup dan Perwalkot di Sulawesi Utara.
Ketiga, melakukan kolaborasi pentahelix (pemerintah, akademisi, rakyat,CSO dan pers).
Kolaborasi bertujuan untuk melakukan kegiatan sosialisasi pencegahan human trafficking dan penanganan TPPO di semua wilayah Sulawesi Utara dengan sasaran lembaga pendidikan mulai dari SMP hingga Perguruan Tinggi, Lembaga Agama/Aliran Kepercayaan/Lembaga Adat dan semua level pemerintah.
Keempat, bekerja sama dengan Rumah Aman Yayasan Kasih Yang Utama (YKYU), Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulawesi Utara dan aparat penegak hukum, serta jaringan nasional dan internasional untuk penyelamatan, pendampingan psikologis, pendampingan kesehatan, pendampingan hukum dan restitusi, program integrasi dan reintegrasi korban TPPO.
Kelima, berkolaborasi bersama pemberdayaan SDM dan ekonomi masyarakat agar tidak terjebak bujuk rayu jaringan mafia human trafficking.
Dilansir Detiksulsel, Dua gadis asal Sulawesi Utara berinisial IM (17) dan RD (13) menjadi korban human trafficking alias perdagangan orang di Barito Utara, Kalimantan Tengah (Kalteng). Pengungkapan kasus ini bermula saat polisi menelusuri laporan orang hilang di Sulut.
Kabid Humas Polda Sulut Kombes Jules Abraham Abast mengatakan laporan orang hilang tersebut diterima oleh pihaknya pada awal Juni 2022. Selanjutnya polisi mulai melakukan pendalaman terhadap laporan tersebut.
“Jadi mereka sejak 2 Juni menghilang dari rumah artinya salah satu orang tua korban melaporkan bahwa anaknya menghilang. Jadi orang tuanya melapor setelah sekian lama,” ungkap Kombes Jules kepada detikcom, Kamis (28/7/2022) malam.
“Mungkin awalnya dia pikir biasa, tapi setelah tanggal 12 Juni itu kok anaknya nggak pulang-pulang, orang tuanya khawatir juga, bukan sekadar pergi dari rumah, bahasa kita mungkin minggat lah, sehingga kedua orang tuanya melapor ke polisi,” sambung Jules.
Polisi yang menerima laporan itu lantas mulai menelusuri jejak kedua korban. Subdit Renakta Ditreskrimum Polda Sulut akhirnya menemukan informasi bahwa korban dibawa ke Barito Utara, Kalteng.
Polda Sulut akhirnya mengerahkan personel untuk menyusul ke Barito Utara sehingga kedua korban ditemukan. Dua orang pelaku yakni wanita inisial DT dan SK juga ikut diamankan di lokasi.
“Kita mencari informasi sampai kita tahu ternyata kedua korban ini berada di Kalimantan Tengah. Tim akhirnya berangkat ke sana dan kebetulan dapat semua, yang merekrut ada, pemilik kafe ada, korbannya dua-dua ada semua,” tutur Kombes Jules.
Kedua Korban Dipekerjakan sebagai PSK
Kombes Jules Abraham Abast mengatakan dari hasil penyelidikan pihaknya diketahui bahwa salah satu pelaku merupakan wanita asli Sulut. Dia berperan sebagai orang yang merekrut kedua korban agar mau dibawa ke Kalimantan Tengah.
“Jadi terduga pelaku yang satu itu orang Sulut. Jadi dialah yang merekrut yang membawa tentunya dari permintaan dari pemilik kafe di Kalimantan, sehingga dia membawa kedua korban yang masih di bawah umur,” katanya.
Menurut Jules, kedua korban awalnya diimingi pekerjaan yang layak. Akibatnya kedua korban tergiur dan pergi bersama pelaku tanpa meminta izin orang tuanya.
“Ditawari pekerjaan yang layak ternyata dibawa ke kafe dan ternyata dipekerjakan di sana tidak dibayar, tidak digaji, makan juga dipotong, bahkan biaya laundry, biaya internet semua dibebankan mereka sebagai utang,” katanya.
Sebagai gantinya, kedua korban harus bekerja kepada DT dan SK dengan cara menjadi pekerja seks komersial alias PSK. Kedua korban dipaksa untuk melayani pria hidung belang di kafe milik pelaku.
“Mereka juga disuruh melayani, jadi selain bekerja sebagai pelayan di kafe, juga mereka dipekerjakan untuk melayani pelanggan,” kata Jules.
“Jadi ada semacam kamar-kamarnya, melayani pelanggan jadi mereka dipekerjakan sebagai pekerja seks komersil lah,” sambungnya.
Jules tak merinci lebih lanjut tarif atas jasa korban sebagai PSK. Namun dia menyebut korban dibebani target dalam melayani pria hidung belang.
“Ada kisarannya, tergantung karena ada target, misalnya sekian ratus ribu,” katanya.
Kini kedua pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya dijerat polisi dengan Pasal 2 Ayat 1 UU RI Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
“Kita lebih cenderung (menjerat tersangka dengan) UU Perdagangan Orang, di situ ada perekrutan, ada penempatan, bahkan kalau ada penyiksaan kena semua di situ Pasal 2 Ayat 1,” kata Jules. (VoN)