Labuan Bajo, Vox NTT– Mantan Camat Boleng BA ditetapkan tersangka dan ditahan di Polres Manggarai Barat, Selasa (10/1/2023). Ia ditahan karena diduga melakukan tindak pidana pemalsuan dokumen tanah.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Manggarai Barat, Bambang Dwi Murcolono melalui Kepala Seksi Tindak Pidana Umum, Vendy Trilaksono menegaskan pihaknya telah menerima pelimpahan tersangka dari Kejati NTT, sehingga berwenang untuk menahan.
“Kita juga telah menerima pelimpahan barang bukti, di mana tersangkanya berinisial BA diduga telah melakukan pemalsuan dokumen berupa pernyataan dan tanda tangan atas nama tokoh adat,” jelas Vendy.
BA dinilai telah melanggar Pasal 263 Ayat (1) atau 263 Ayat (2) KUHP dengan ancaman hukuman lebih dari 5 tahun.
“Karena ini penetapan tahap ke 2, maka kewenangan kejaksaan untuk melakukan penahan selama 20 hari ke depan, sejak hari ini,” katanya.
Penahanan tersebut, kata Vendy, untuk mempermudah penanganan perkara hingga selesai. Sehingga pelimpahan kasus tersebut akan lebih cepat ke pengadilan untuk pembuktiannya.
Untuk diketahui, sebelumnya penanganan kasus dugaan pemalsuan dokumen tanah ‘Wau Pitu Gendang Pitu Tanah Boleng’ telah lama ditangani Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Timur (NTT). Kini, dilanjutkan setelah Polda NTT menetapkan status P21 atau pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap untuk kasus tersebut.
Menurut Kabid Humas Polda NTT, Kombes Pol Ariasandy saat dikonfirmasi sebelumnya, kasus tersebut sudah ditetapkan P21 berdasarkan hasil koordinasi dengan pihak Kejaksaan.
“Iya, Alhamdulilah sudah P21. Kasus sudah P21 pada 8 desember 2022 yang lalu. Dari hasil koordinasi dengan pihak kejaksaan untuk pelaksanaan tahap 2 pelimpahan tersangka dan barang bukti akan dilaksanakan tanggal 10 januari 2023 mendatang,” ujar Ariasandy.
Sebelumnya juga, Ditreskrimum Polda NTT pernah menetapkan mantan Camat BA Abunawan sebagai tersangka, dan sudah melayangkan panggilan sebanyak dua kali.
Warga Terlaing Geram
Secara terpisah, Tu’a Gendang Terlaing, Hendrikus Jempo mengatakan, kasus ini mulai dilanjutkan oleh Polda NTT meski sebelumnya sempat terhenti.
“Sempat diproses hingga Bonaventura menyandang status tersangka tetapi terhenti tanpa alasan yang jelas,” ujar Hendrikus.
Tu’a Golo Terlaing Bone Bola sebagai pelapor, kata Hendrikus, terus berjuang agar kasus dugaan pemalsuan dokumen tanah tersebut bisa menemukan titik terang. Hal itu agar mengantisipasi terjadinya konflik horizontal.
Ia mengatakan, dokumen ‘Wau Pitu Gendang Pitu Tanah Boleng’ ini memang aneh dan meresahkan masyarakat adat Boleng.
Dikatakan Hendrikus, dalam dokumen itu ada beberapa kampung adat yang dibuat hilang yaitu Wangkung, Rai, sebagian Rareng, Tebedo, Terlaing, Lancang dan Nggorang.
Dalam dokumen itu juga Lingko Menjerite milik Lancang, Lingko Nerot milik Kampung Terlaing dan sebagian Lingko Warang milik Rareng, tiba-tiba diklaim sebagai tanah milik masyarakat adat Mbehal.
“Ini kan aneh dan tidak masuk akal. Bone Bola terpanggil untuk meluruskan persoalan ini dan lakukan antisipasi untuk hindari konflik horizontal. Ia melaporkan kasus ini ke Polda NTT di Kupang,” jelas Hendrikus.
Setelah kasus tersebut terhenti di meja penyidik Polda NTT, BA seenaknya membagi-bagi tanah milik orang, meski tanah tersebut telah bersertifikasi.
BACA JUGA: Kasus Dugaan Pemalsuan Dokumen Tanah di Mabar Kembali Dibuka, Polda NTT Lanjutkan Proses Hukum
“Bahkan lokasi itu telah dibersihkan dan ditanami pisang juga dirikan pondok. Anehnya, setiap orang yang mendapat tanah itu tidak diberikan dokumen tanda bukti. Ini cara licik beliau,” kesal Hendrikus.
Menurut dia, aksi BA membuat kalangan masyarakat adat geram. Aksi ini juga dinilai berbahaya dalam kehidupan masyarakat.
“Para tokoh adat di Boleng, terutama Terlaing dan Lancang menahan diri dan berupaya jangan terulang lagi tragedi berdarah 2017 di Menjerite,” jelasnya.
Sementara itu, Tu’a Golo Terlaing Bone Bola mengatakan, tragedi Menjerite diduga sama seperti yang dilakukan BA tersebut.
“Tragedi Menjerite mirip seperti ini, ada aktor intelektual yang memprovokasi masyarakat. Tampaknya dokumen ini diduga bertujuan saudara BA bersama sindikatnya, mau mengendalikan tanah adat masyarakat Boleng,” kata dia.
“Taktiknya, dengan menggunakan peta zaman Belanda dulu yang disebut “Hamente” atau Kedaluan. Jika dibandingkan sekarang kira-kira sama seperti kecamatan. Kebetulan pusat Kedaluan Boleng terakhir di Mbehal, yang sebelumnya di Rareng. Mbehal adalah kampung saudara BA,” imbuh Bone.
Bone jelaskan, BA menjadikan peta itu di bawah kendalinya bersama ayahnya. Ia menduga BA membuat peta itu untuk mengendalikan tanah adat Boleng di bawah koordinasinya bersama ayahnya.
Padahal Kampung Mbehal itu berada di balik gunung dan posisi Lingko Menjerite dan Nerot melewati kampung adat Wangkung, Rareng, Rai dan Tebedo.
“Ini benar-benar aneh dan orang ini tidak memahami adat Manggarai,” tegas Bone Bola.
Ia menjelaskan, kampung dan lingko dalam kehidupan orang Manggarai sangat dekat. Dalam wilayah “Hamente” dihuni sejumlah kampung adat yang memiliki gendang (rumah adat) dan lingko (tanah adat).
Dokumen yang diduga hasil penipuan ini jelas-jelas merusak tatanan adat dan menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
Bone mengatakan, ada dua dokumen yang dipersoalkan yaitu satu dokumen yang ada tanda tangan mantan Bupati Mabar Agustinus Ch. Dula dan satu lagi tanpa tanda tangannya.
Dokumen yang ada tanda tangan Mantan Bupati Mabar Agustinus Ch. Dula diduga untuk memuluskan penerbitan sertifikat di BPN untuk lokasi PLN di Rangko.
Para tokoh adat yang tanda tangan di dokumen Mantan Bupati Mabar Agustinus Ch. Dula terjebak karena penjelasan yang disampaikan BA kala itu, apa lagi dirinya saat itu selaku Camat Boleng.
Sedangkan dokumen kedua adalah tanpa tanda tangan Mantan Bupati Mabar Agustinus Ch. Dula diduga untuk memuluskan proses pengadilan PLN Rangko.
“Dokumen yang kedua ini diduga jelas-jelas penipuan, karena para tokoh adat menyatakan bahwa mereka hanya menandatangani yang ada tanda tangan Bupati, yang lain tidak,” pungkas Bone. [VoN]