Labuan Bajo, Vox NTT- Polemik sengketa kepemilikan sebuah lahan yang terletak di Keranga, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat kembali ramai dibahas publik.
Sebelumnya pada lokasi yang sama telah terjadi sengketa kepemilikan lahan seluas 30 hektare (Ha) yang melibatkan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dan seorang warga di Labuan Bajo. Kali ini, sengketa kepemilikan lahan terjadi di antara sesama warga masyarakat.
Adalah Ibrahim Suwandi, warga Labuan Bajo yang tengah bersengketa dengan Niko Naput beserta dengan ahli warisnya.
Dalam beberapa kali pernyataan yang dimuat dalam sejumlah media, Ibrahim Suwandi menyebutkan bahwa lahan seluas 11 hektare yang terletak persis di samping tanah milik Pemkab Manggarai Barat yang berlokasi di Keranga, merupakan tanah miliknya yang diwariskan oleh ayahnya, Alm. Ibrahim Hanta.
Kini tanah itu diduga telah diklaim oleh Alm. Niko Naput hingga melahirkan sejumlah sertifikat kepemilikan.
Menanggapi polemik tersebut, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai Barat, Budi Hartanto menjelaskan, pihaknya menghargai dan menghormati masyarakat yang memperjuangkan hak-haknya, termasuk melalui aksi demonstrasi.
Namun Budi membantah tuduhan keterlibatan BPN Mabar dalam jaringan mafia tanah yang disebutkan oleh Ibrahim Suwandi dan keluarga saat menggelar aksi demo damai.
“Terkait dengan adanya pemberitaan media yang menyebutkan bahwa BPN bagian dari mafia tanah itu saya kira berita yang tidak benar karena kami bekerja secara profesional,” ujar Budi.
Budi menjelaskan bahwa proses penerbitan 5 sertifikat hak milik atas nama Alm. Niko Naput dan ahli warisnya sudah dilakukan pada tahun 2017, tidak terjadi di tahun 2020 seperti yang disebutkan oleh Ibrahim Suwandi dan keluarga dalam sejumlah pemberitaan media.
Adapun 5 sertifikat tanah ini, sebut Budi, berlokasi pada sisi pinggir laut.
“Dalam beberapa media disebutkan bahwa pada tahun 2020, BPN mengeluarkan produk sertifikat, dan ada juga disampaikan juga ada produk beberapa peta bidang, bahwa saya pastikan tahun 2020 tidak ada produk apapun yang dikeluarkan dilokasi yang dimohonkan Ibrahim Suwandi, bahwa ada sertifikat yang terbit atas tanah yang berlokasi di sisi pinggir laut itu terbit pada tahun 2017, sebelum permohonan Ibrahim itu masuk,” ungkap Budi.
Adapun permohonan proses pensertifikatan yang dilakukan oleh Ibrahim Suwandi berdasarkan data yang ada di Kantor BPN didaftarkan pada tahun 2020.
Lebih jauh dijelaskan bahwa 5 sertifikat yang diterbitkan BPN Mabar pada tahun 2017 tersebut merupakan bagian dari permohonan atas 9 bidang tanah yang diajukan oleh Alm. Niko Naput dan keluarga sejak tahun 2014 untuk disertifikatkan.
Namun dalam proses penerbitannya, 4 bidang tanah belum diterbitkan sertifikatnya. Alasannya karena pada saat itu ada sanggahan dari seorang warga. Sanggahan ini, terang Budi, dilakukan jauh sebelum permohonan dilakukan oleh Ibrahim Suwandi.
“Sesuai data yang ada di BPN, di tahun 2014, Niko Naput dan keluarga mengajukan sertifikat terhadap 9 obyek bidang tanah yang terletak di Keranga Labuan Bajo. Dari 9 bidang itu, dalam perjalanan terbit 5 sertifikat di tahun 2017 yang posisinya di sebelah pinggir laut, sementara yang 4 lainnya yang di pinggir jalan raya itu belum terbit karena saat itu ada sanggahan dari salah seorang warga. Itu terjadi sebelum permohonan Pak Ibrahim Suwandi masuk,” ujar Budi.
“Yang lainnya (4 bidang) tidak terbit karena pada tahun 2017 itu ada gugatan perdata oleh Muhamad Thasyrif Daeng Mabatu. Dan dalam perjalanan perkaranya, itu baru inkracht sampai putusan Mahkamah Agung (MA) pada bulan Februari 2023 ini. Di mana perkara itu yang dalam amar putusannya menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Muhamad Thasyrif Daeng Mabatu,” lanjutnya.
Meski perkara tersebut telah dimenangkan oleh Alm. Niko Naput, BPN Mabar, sebut Budi, juga belum melanjutkan proses sertifikat atas 4 bidang tanah tersebut.
Alasannya karena di saat proses perkara antara Alm. Niko Naput dan Muhamad Tasrib Daeng berjalan, terdapat pula permohonan dari Ibrahim Suwandi atas tanah tersebut di tahun 2020.
Dalam data yang dimiliki oleh BPN juga, selain permohonan Suwandi Ibrahim pada tahun 2020 juga terdapat permohonan sertifikat atas nama Kusyani seluas 10.000 M2. Setelah dilakukan pengukuran oleh BPN Mabar diketahui berada di bidang yang sama dimohonkan haknya oleh Nikolaus Naput, dkk.
Dalam berkas permohonannya, Ibrahim Suwandi diketahui mengajukan sertifikasi atas tanah yang terletak di bagian pinggir jalan raya. Tanah ini diketahui berbatasan dengan bidang tanah milik Alm. Niko Naput yang telah disertifikatkan.
“Pada tahun 2020, Suwandi Ibrahim mengajukan permohonan proses sertifikat pada lokasi yang di pinggir jalan raya itu, setelah dilakukan pengukuran ternyata obyek ini berada di atas bidang tanah yang sedang diperkarakan Niko Naput dan Muhamad Tasrib Daeng. Maka dari BPN saat itu terhadap permohonan Ibrahim Suwandi atas lokasi pinggir jalan raya itu sementara dihentikan semua,” ungkapnya.
Kemudian dilanjutkan, pada tahun yang sama, Ibrahim Suwandi mengajukan keberatan terhadap permohonan Niko Naput tersebut. Pada prosesnya, baik pihak Niko Naput maupun Ibrahim Suwandi pernah dilakukan mediasi, namun tidak menemui kata sepakat.
“Di tahun yang sama dilakukan mediasi yang ada kesimpulannya para pihak tidak menemukan kata sepakat, maka permohonan kedua belah pihak ini dihentikan,” tutur Budi.
Di tahun 2021, lanjut Budi, BPN Mabar mendapatkan surat perdamaian dari kedua belah pihak di mana isinya memuat pernyataan untuk melanjutkan proses pensertifikatan.
Namun proses pensertifikatan urung dilakukan oleh BPN Mabar karena dalam isi pernyataan tersebut tidak dijelaskan secara jelas dan pasti siapa yang berhak melanjutkan proses sertifikat dan bidang tanah yang mana yang menjadi obyek pernyataan kesepakatan tersebut.
“Namun isi perdamaian itu masih multitafsir, yang menurut BPN bahwa masing-masing itu, masih punya hak untuk mengajukan sertifikat,” jelasnya.
Budi menambahkan bahwa di tahun 2021, BPN Mabar memperoleh surat dari Camat Komodo saat itu.
Dalam surat tersebut Camat Komodo mencabut tanda tangan miliknya dalam berkas permohonan yang diajukan oleh Ibrahim Suwandi, Mikael Mensen dan Stefanus Herson.
“Di tahun 2021, Camat Komodo mengirimkan sebuah surat ke BPN Mabar, di mana surat itu berisikan pembatalan tanda tangan Camat Komodo dalam dokumen permohonan Ibrahim Suwandi, Mikael Mensen dan Stef Herson. Sehubungan dengan hal tersebut, kemudian BPN memberitahukan hal itu secara tertulis kepada Ibrahim bahwa permohonan yang diajukan belum dapat ditindaklanjuti dan disarankan kepada para pihak untuk menyelesaikan melalui musyawarah mufakat atau upaya hukum. Mungkin sampai di situ berhenti prosesnya sampai adanya demo kemarin,” tuturnya.
Untuk itu, terhadap tuntutan Ibrahim Suwandi untuk membatalkan sejumlah sertifikat Alm. Niko Naput dan ahli warisnya pada lokasi tersebut, Budi menyebutkan bahwa BPN Mabar tidak memiliki kewenangan untuk melakukan uji materil atas keabsahan 2 dokumen yang diajukan oleh kedua belah pihak.
“Yang berhak itu kan aparat penegak hukum baik itu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan,” ungkapnya.
“Sementara ini informasinya keluarga Ibrahim Suwandi itu kan mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Labuan Bajo, dengan itu nanti akan membuka terang benderang sebenarnya siapa yang berhak secara hukum terhadap obyek tersebut, kita tunggu saja hasilnya, nantinya BPN sifatnya tentu akan tunduk dan patuh terhadap apapun putusan pengadilan,” lanjutnya.
Untuk diketahui, dalam gugatan perdata tersebut Kantor BPN Manggarai Barat juga turut tergugat.
Budi enggan berkomentar ketika disinggung terkait adanya dugaan keterlibatan BPN Mabar dalam persekongkolan bersama Alm. Niko Naput dan PT. Mahanaim Group untuk memuluskan pembangunan Hotel St. Regis di atas lokasi yang diklaim milik Ibrahim Suwandi tersebut.
“Saya tidak punya kewenangan berkomentar terhadap sesuatu yang saya tidak tahu. Karena saya hanya berdasarkan data yang ada di kantor Pertanahan saja bahwa di situ yang berperkara itu antara Suwandi Ibrahim dan Niko Naput, di luar itu saya tidak tahu,” katanya.
Selain itu, Budi juga menyampaikan guna membantu mencari solusi terhadap sengketa tersebut pihak BPN akan mengundang para pihak untuk klarifikasi terhadap isi kesepakatan tertanggal 24 Maret 2021 antara pihak Nikolaus Naput dan pihak Suwandi Ibrahim.
Sebelumnya, pada Selasa (28/02/2023) lalu, keluarga Alm. Ibrahim Suwandi melakukan aksi demonstrasi damai di depan Kantor BPN Manggarai Barat.
Dalam aksi ini, mereka mendesak agar BPN Mabar membatalkan 6 sertifikat hak milik yang telah terbit atas nama Alm. Niko Naput beserta keluarganya.
“Kami minta BPN Manggarai Barat untuk membatalkan semua 6 sertifikat hal milik atas nama Niko Naput, dan BPN Manggarai barat memanggil ahli waris Niko Naput dan PT. Mahanaim Group sekarang guna bersama-sama gelar fakta dan dokumen kepemilikan di kantor BPN,” ujar Mikael Mansen selaku Koordinator Aksi.
BPN Manggarai Barat didesak untuk segera membatalkan 6 sertifikat hak milik yang masing-masing terdaftar atas nama Paulus Granat Naput, Maria Fatima Naput dan Johanis Van Naput. Serta gambar ukur peta bidang tanah atas nama Rosyana Yulti Jatuh, Elisabet Eni dan Karolus Sikone.
“Enam sertifikat hak milik itu diterbitkan atas dasar dokumen palsu surat kesepakatan antara Niko Naput dan almarhum Ibrahim Hanta pada 11 Maret 2019, di mana Ibrahim Hanta meninggal dunia pada tahun 1986,” ujar Mikael Mensen.
Sementara itu, penanggung jawab aksi demonstrasi damai ini, Stefanus Herson dalam orasinya menyebutkan bahwa penerbitan 6 sertifikat atas tanah yang dimohonkan oleh Alm. Niko Naput bersama ahli warisnya merupakan bagian dari upaya persekongkolan dengan para mafia tanah yang disebut tengah merajalela di Kabupaten Manggarai Barat. Ia juga menduga BPN Mabar terlibat dalam jaringan mafia tanah yang dimaksud.
“BPN Manggarai Barat sekarang bersekongkol dengan para mafia tanah untuk merampas tanah milik rakyat. BPN telah menerbitkan sertifikat di tanah milik almarhum Ibrahim Hanta dengan nama Niko Naput. Padahal tanah tersebut merupakan penyerahan dari Fungsionaris Ulayat Kedaluan Nggorang,” tegasnya.
“Lalu tanah tersebut saat ini sedang dibangun hotel, pihak hotel telah membeli tanah dari para mafia tanah di Labuan Bajo. Para mafia tanah diduga bekerja sama dengan BPN Manggarai Barat untuk menerbitkan sertifikat di atas lahan milik Almarhum Ibrahim Hanta,” sebut Stefanus.
Sengketa ini bermula ketika pada lokasi tersebut saat ini tengah dibangun hotel St. Regis Labuan Bajo yang disebut milik PT. Mahanaim Group.
Awal mula pembangunan hotel ini dilakukan pada tanggal 21 April 2022 lalu.
Dalam proses groundbreaking- nya (peletakan batu pertama) dihadiri oleh Gubernur NTT Viktor Laiksodat, Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi dan Founder dan Executive Chairman PT. Mahanaim Group, Erwin Kadiman Santoso.
Belakangan ini diketahui ternyata lahan pembangunan hotel tersebut dalam status sengketa klaim kepemilikan antara Ahli Waris Alm. Niko Naput dan Ahli Waris Alm. Ibrahim Hanta.
Fransiskus Dohos Dor, S.H selaku pengacara keluarga Alm. Ibrahim Hanta menyebutkan bahwa 11 hektare tanah yang menjadi bagian dari pembangunan hotel St. Regis tersebut merupakan milik kliennya dan telah digarap sejak tahun 1973 hingga saat ini.
“Lahan pembangunan Hotel The St. Regis yang terletak di Karangan, Kelurahan Labuan Bajo tersebut dijual oleh Niko Naput dan anak-anaknya kepada PT. Mahanaim Group. Lahan pembangunan hotel itu, 11 ha-nya adalah milik Klien saya sejak tahun 1973,” ujar Fransiskus.
Fransiskus menjelaskan adapun klaim kepemilikan oleh Alm. Niko Naput atas tanah tersebut berdasarkan pada surat penyerahan Fungsionaris Adat Nggorang pada tahun 1991. Namun surat tersebut, kata Fransiskus, telah dibatalkan oleh Fungsionaris Adat Nggorang pada tahun 1998.
“Kami mengantongi surat pembatalan tersebut. Adapun batas tanah Niko Naput di surat yang telah dibatalkan itu tidak berbatasan dengan pantai. Niko Naput sekeluarga tidak pernah mengerjakan lokasi tanah tersebut sejak 1991 hingga sekarang,” demikian pernyataan tertulis Fransiskus yang diterima media ini, Kamis (02/03).
Selain mengantongi dokumen surat pembatalan Fungsionaris Adat Nggorang tahun 1998, Fransiskus juga menyebutkan, pihaknya juga mengantongi surat kesepakatan tahun 2019, dan berita acara perdamaian tahun 2021.
Lebih jauh Fransiskus menjelaskan bahwa pada tahun 2014, kliennya pernah mengajukan permohonan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah tersebut.
Di tahun yang sama, Alm. Niko Naput bersama anak-anaknya juga diketahui mengajukan permohonan SHM atas tanah tersebut.
Namun dalam proses pengajuannya, Alm. Niko Naput diketahui turut memasukan surat kesepakatan tahun 2019.
Dalam isi surat tersebut menyebutkan bahwa Ibrahim Hanta menyetujui Niko Naput mensertifikatkan tanah tersebut. Sedangkan, Ibrahim Hanta telah meninggal dunia pada tahun 1986.
“Tahun 2014, pihak kami mengusulkan pembuatan SHM atas Tanah Karangan itu, sedangkan anak – anak Niko Naput mengusulkan pula pembuatan SHM atas tanah tersebut. Tahun 2019, Niko Naput menghadap BPN Mabar dan membawa surat kesepakatan tahun 2019 yang mana isinya Ibrahim Hanta menyetujui Niko Naput mensertifikatkan tanah tersebut, sementara Ibrahim Hanta sudah meninggal tahun 1986. Atas dasar surat kesepakatan 2019 itu, BPN terbitkan 3 sertifikat dan 3 masih berupa peta bidang atas lahan tersebut,” ucap Fransiskus.
Mengetahui adanya surat tersebut, keluarga Alm. Ibrahim Hanta pun melaporkan Niko Naput ke Polda NTT pada tahun 2021 terkait pemalsuan dokumen.
Fransiskus menyebutkan, mengetahui bahwa dirinya dipolisikan, Niko Naput kemudian mengajak kliennya untuk berdamai dan bersedia mencabut surat kesepakatan tahun 2019 tersebut.
“Mereka takut dan mau berdamai, lalu tahun 2021, mereka buat berita acara perdamaian mencabut kembali kesepakatan tahun 2019 yang mereka palsukan kesepakatan Ibrahim Hanta itu, dan mereka menyerahkan tanah itu ke pihak kami untuk disertifikatkan,” tutur Fransiskus.
Lanjut Fransiskus, keanehan kembali terjadi ketika BPN Mabar malah melanjutkan penerbitan 3 peta bidang baru atas tanah tersebut yang dimohonkan oleh anak-anak Niko Naput dengan dasar alas hak yang digunakan adalah penyerahan Fungsionaris Adat Nggorang tahun 1991 yang telah dibatalkan tahun 1998.
Keluarga Ibrahim Hanta pun menduga adanya persekongkolan yang dilakukan oleh Niko Naput, bersama BPN Mabar dan PT. Mahanaim Group untuk memiliki lahan tersebut.
“Ini kami duga BPN Mabar-Niko Naput-PT. Mahanaim Group itu telah bersekongkol secara melawan hukum hendak memiliki lahan klien saya itu,” sebutnya.
BPN malahan melanjutkan penerbitan 3 peta bidang baru atas tanah tersebut dengan pemohon anak-anak Niko Naput masih menggunakan alas hak penyerahan Fungsionaris Adat Nggorang tahun 1991 yang telah dibatalkan tahun 1998.
Fransiskus menambahkan bahwa pihaknya menduga ada intervensi dari Gubernur NTT, Viktor B. Laiskodat dalam proses pidana yang dilaporkan kliennya Suwandi Ibrahim Ahli Waris Alm. Ibrahim Hanta di Polres Mabar terhadap anak-anak Niko Naput dan PT. Mahanaim Group.
“Pihak kami dulunya berpikir bahwa kehadiran Gubernur NTT dalam groundbreaking Hotel The St. Regis di lahan Kerangan itu adalah tugas-tugas pemerintahan, namun belakangan pihak kami menemukan fakta seorang berinisial L, orang yang sangat dekat dengan Gubernur Viktor Laiskodat terlihat aktif sekali dalam proses pidana sengketa ini di Polres Mabar terutama terlihat hadir pada proses pengambilan keterangan pihak PT. Mahanaim Group,”jelasnya.
“Bila memang PT. Mahanaim Group adalah korban penjualan Niko Naput, mengapa harus dikawal oleh orang terdekat Gubernur Viktor Laiskodat dalam proses pengambilan keterangan di Polres Mabar?” ujarnya.
Untuk diketahui, kasus sengketa lahan pembangunan Hotel St. Regis PT. Mahanaim Group tersebut kini sedang bergulir secara pidana di Polres Manggarai Barat dan secara perdata di Pengadilan Negeri Labuan Bajo.
Penulis: Sello Jome