Oleh: Frater Yohanes Rudin, SVD
Sedang menjalani OTP di Chad, Afrika
Pagi itu, tepat sebelum matahari bersinar dan embun pagi mengering, seorang anak remaja, masih saja duduk termenung di atas kursi kayu.
Dari semalam hingga pagi, ia duduk tanpa berkomunikasi dengan siapapun.
Sebab ia adalah seorang pria yang ecapkali menggunakan waktunya untuk berkomunikasi dengan waktu dan situasi hening.
Karena baginya, berkomunikasi dengan waktu dan keheningan adalah sala satu cara untuk mengobati segala luka yang mengahantam mental.
Gelas aluminium yang masih ada sisa ampas kopi minumannya semalam, tergeletak begitu saja di atas meja kerja dan asbak rokok yang juga merupakan temannya untuk menuangkan segala asap dan sisa keburukkan hidup, masih saja berantakkan di atas meja.
Sedangkan beberapa buku dan laptop kerjannya, masih terbuka begitu saja tanpa disentuh.
Hal itu, disebabkan bukan karena semalam ia sedang mabuk, melainkan karena ia sementara berada di dalam suatu situasi yang bisa meyebabkan goresan mendalam di hatinya.
Lantaran semalam saat ia sedang asik duduk menonton sebuah film yang menghibur hatinya, tiba-tiba telefonnya berdering menandakan ada pesan singkat yang masuk di WA-nya.
Dan ketika ia membuka pesan itu, ia mengharapkan bahwa itu adalah pesan yang datang dari seorang wanita idamannya, ternyata itu adalah pesan yang mucul dari seseorang yang cukup peduli dengan keadaan lingkungan hidup.
Pesan itu berbunyi demikian, “rahim yang biasanya melahirkan kita kehidupan baru dan menjanjikan kebahagian, telah digarap oleh beberapa oknum untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka (oknum) datang dengan dilengkapi oleh penjagaan keamanan yang ketat dan disertai beberapa senjata. Layaknya mereka datang seakan sudah siap berperang dengan masyarakat yang adalah pemilik rahim kehidupan itu. Mereka (oknum) datang dengan berlandasaran bahwa mereka datang untuk menciptakan sesuatu yang bisa menguntungkan semua warga. Dan yang membuat mereka semakin berani untuk melakukan itu, karena mereka telah didukung oleh beberapa oknum penting di daearah itu. Tentu mereka saling mendukung, karena mereka memiliki kepentingan yang sama, yaitu mengahancurkan kehidupan masyarakat demi menghidupkan mereka (oknum). Mereka (oknum) tidak pernah memikirkan masa depan masyarakat yang adalah sang pemilik rahim itu sendiri. Yang mereka pikirkan hanya tentang kehidupan mereka sendiri.
Dan beberapa hari yang lalu, masyarakat sudah mencoba menghalangi mereka. Namun, karena merkea memiliki penjagaan yang ketat dan dikawali oleh beberapa orang bersenjata, sehingga masyarakat hanya berpasrah pada keadaan yang seperti itu.
Masyarakat menolak, bukan karena mereka tidak setuju dengan kebijakkan yang dibuat, melainkan karena masyarakat mempertimbangkan kehidupan mereka sendiri juga kehidupan di masa yang akan datang.
Masyarakat berpikir bahwa, proyek itu memang memiliki keuntungan tetapi keuntungan itu hanya berlaku untuk jangka waktu yang pendek.
Sedangkan kehidupan mereka yang tergantung pada hasil dari rahim itu berlaku untuk selamanya. Kalaupun untuk saat ini, mereka (oknum) menjanjikan untuk mengganti rugi atau memberikan kehidupan masyarakat yang adalah pemilik lahan.
Namun bagaimana dengan kehidupan masyarakat di masa yang akan datang, tentu masyarakat yang akan datang merasakan dampaknya. Karena itu, masyarakat dengan berani untuk menolak proyek yang direncakan”.
Setelah anak remaja itu membaca pesan yang diterima, dia tidak langsung membalasnya, tetapi dia berusaha untuk mencari tahu lebih teliti tentang peristiwa itu.
Karena itu, dari semalam hingga pagi ia belum juga tidur.
Dan setelah ia menemukan beberapa video dan berita yang menunjukkan bahwa peristiwa itu ternyata benar, ia merasa frustasi lantaran ternyata di balik semua peristiwa itu ada pemerintah yang memiliki kedudukan tertinggi di daerah itu mendukung adanya proyek.
Sedangkan masyarakat sudah berusaha menolaknya. Namun pemerintah tetap tidak ingin mendengarkan suara masyarakat yang adalah sang pemilik lahan. Apakah ini yang menandakan bahwa pemerintah lebih memperhatikan kehidupannya sendiri daripada kehidupan masyarakat yang harus dilayaninya?
Bukankah itu adalah lahan masyarakat yang biasa digunankan sebagai tempat untuk mencari kehidupan (makanan)?
Kenapa harus pemerintah yang selalu ingin agar masyarakat mati karena kelaparan? Tidakkah pemerintah berpikir bahwa lahan itu merupakan masa depan bagi masyarakatnya?
Atau mungkin karena pemerintah sudah merasa jaya dengan kehidupannya dan masa depannya, sehingga ia tidak lagi peduli dengan keadaan masyarakat dan masa depan masyarakat?
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul begitu saja dari dalam kepala anak remaja itu. Dan ia mencoba mendiskusikan atas pertanyaan-pertanyaan itu dengan sang waktu.
Namun sang waktu hanya bisa menjawab bahwa suatu waktu masyarakat pasti akan semakin tertindas, jika mereka tidak teliti dalam memilih pemerintah.
Sebab untuk saat ini, banyak pemerintah yang hanya ingin memperkaya diri sendiri daripada memperhatikan keadaan rakyat.
Hal itu dikatakan demikian karena nyatanya bahwa pemerintah saat ini, semakin jaya dan kaya, sedangkan masyarakat semakin sengsara dan tertindas.
****
Hingga suatu hari saat matahari pamit pada mata untuk beristirahat di balik ufuk barat, anak remaja itu melangkah menuju ke suatu tempat di mana suasana kebahagian itu ada dan juga untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanya tentang pemerintah saat ini.
Dalam setiap derap langkah kakinya itu, ia selalu menghitung jarak yang telah ditempuhnya.
Jauhnya jarak yang telah ditempuh, tidak membuat kakinya merasa lelah, walaupun terkadang ia terantuk di batu dan juga tanah yang sedikit menumpuk di tengah jalan.
Dalam angan-angannya tercipta sebuah kata kebahagian, juga pertanyaan-pertanyaan yang terus mengetok isi kepalanya, karena belum menemukan jawaban.
Karena itu, ia tidak pernah menyerah yang walaupun terkadang mengeluh karena jalan yang menantang.
Pertanyaan-pertanyaan itu seakan merangsang keinginannya untuk terus melangkah di tengah kejamnya dunia.
Matanya selalu bersinar untuk menatap ke depan dan untuk mencari jawaban yang tepat atas pertanyaannya sendiri.
Dan sekali-kali matanya menoleh ke kiri dan kanan untuk melihat keindahan alam yang ada di sekitar.
Keindahan alam itu juga telah membuatnya semakin semangat untuk melangkah, namun terkadang juga ia melihat keindahan alam yang telah diperkosa oleh kaum-kaum tertentu demi kepentingan pribadi.
Dan hal itu membuat suasana hatinya marah. Ia marah namun kemarahan itu tidak dapat diluapkan karena ia berpikir bahwa sekalipun ia marah dan berteriak dengan keras, pastinya hal itu hanyalah sebuah kesia-siaan belaka, karena tidak ada satupun yang akan mendengar dan mempedulikannya.
Orang tidak mempedulikannya bukan karena kemarahn dan teriakannya tidak masuk akal, melainkan karena orang berpikir bahwa teriakan itu hanyalah sebuah bunyi serakan sampah yang terbuang begitu saja di atas tanah.
Bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan, keadilan itu lahir hanya untuk orang yang memiliki kekuasaan, sedangkan bagi yang tidak memiliki kekuasaan jangan pernah berharap keadilaan itu ada.
Beradasarkan hal itu, ia mulai berpikir bahwa ternyata kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para pahlawan, tidak pernah dihargai oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan.
Darah para pahlawan yang bertumpah di atas tanah air, telah diinjak oleh kekuasaan tanpa mereka memikirkan bahwa setetes darah itu tidaklah sebanding dengan kekuasaan yang mereka miliki.
Dan ketika ia tiba di suatu tempat yang menurutnya bisa duduk untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantui pikirannya, tiba-tiba seorang nenek muncul dan menyapa anak remaja itu.
“Nak, sedang apa kau di sini? Apakah kau juga datang untuk menghancur rumah dan kehidupan kami?” Tanya nenek itu pada anak remaja yang masih berdiri bingung di samping sang nenek.
Anak remaja itu bingung, karena nenek itu muncul secara tiba- tiba. Dan ketika mendengar sapaan dan pertanyaan yang dilontarkan oleh sang nenek, seketika anak remaja itu diam dan sambil merenung bahwa ternyata ada banyak korban dari tindakkan oleh beberapa oknum yang merusaki lingkungan hanya karena demi keuntunangan pribadi.
“Nek, saya bukan orang yang sepeti nenek pikirkan. Saya datang ke sini hanya untuk mencari jawaban atas pertanyaanku tentang pemerintah saat ini”.
Jawab anak remaja itu. “syukurlah kalau begitu nak. Karena saya takut, kalau nak juga bagian dari orang-orang yang datang hanya untuk merusaki rumah dan kehidupan kami, lalu pergi sambil tertawa karena sudah mendapat banyak uang.
Dan untuk saat ini, kami cukup sulit untuk mencari sumber kehidupan dan rumah, karena sumber kehidupan dan rumah kami telah dirampas oleh orang-orang yang ingin memiliki kekayaan.
Pemerintah saat ini, tidak lagi berpihak pada rakyat nak, tetapi mereka lebih berpihak pada yang memiliki uang banyak.
Sebab pemerintah saat ini bukan lagi memimpin untuk mensejahterakan rakyat, tetapi lebih untuk mensejahterakan diri sendiri dan keluarganya.
Sekarang pemerintah semakin jaya dan rakyat semakin ditindas”. Kata sang nenek.
Perkataan sang nenek ini, membuat anak remaja itu sadar bahwa ternyata ini adalah jawabaan atas pertanyaannya. Karena itu, ia mengucapkan terima kasih kepada sang nenek.