Kupang, Vox NTT- Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur (SP-NTT) Jakarta mendesak Kejaksaan Agung RI melalui komisi kejaksaan untuk memeriksa dan mencopot Kepala Kejaksaan Negeri Manggarai Bayu Sugiri dan para penyidiknya.
Ketua Umum SP-NTT Saverius Jena menilai Kajari Manggarai telah melakukan rekayasa kasus, kriminalisasi atau peradilan sesat terhadap Gregroius Jeramu dan Benediktus Aristo Moa.
Dia juga menduga kuat Kajari Manggarai menerima suap dari pihak elite yang mestinya bertanggung jawab penuh atas kerugian negara pada kasus korupsi pengadaan tanah Terminal Kembur di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
“Mahkamah Agung RI harus membatalkan putusan Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi Kupang, kemudian Bebaskan Bapak Gregroius Jeramu dan Benediktus Aristo Moa. Mahkamah Agung RI, melalui Komisi Yudisial harus mencopot Hakim PN Tipikor Kupang, dan Hakim Pengadilan Tinggi Kupang karena diduga kuat terlibat dalam mafia hukum yang menjerat rakyat kecil tidak bersalah Bapak Gregroius dan Benediktus Aristo Moa,” ujar Saverius dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Kamis (06/07/2023).
Ia menjelaskan, kasus pembangunan terminal perhubungan darat Kabupaten Manggarai Timur yang telah mengakibatkan kerugian terhadap keuangan negara begitu menyita perhatian dari masyarakat Manggarai Timur, begitupun masyarakat perantau asal Manggarai di Jakarta sejak awal ditetapkannya Gregorius Jeramu dan Benediktus Aristo Moa sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri Manggarai pada 28 Oktober 2022.
Berbagai respons yang datang dari berbagai pihak atas penetapan tersebut datang dari berbagai kalangan. Salah satunya Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur (SP-NTT) Jakarta.
Saverius mengatakan, proses penanganan tindak pidana korupsi pembangunan Terminal Kembur, Kelurahan Satar Peot, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur berawal dari tidak berfungsinya gedung terminal setelah selesai dibangun pada 2015 yang telah menghabiskan anggaran senilai Rp3,6 miliar.
Kata dia, itulah yang mendasari Kejaksaan Negeri Manggarai melakukan penyelidikan terhadap pembangunan terminal tersebut.
Ia menyebut Gregorius Jeramu didakwa telah menguntungkan diri sendiri karena menjual tanah seluas total 7.000 m2 (tujuh ribu meter persegi) dengan nilai total Rp402.245.455 (empat ratus dua juta dua ratus empat puluh lima empat ratus lima puluh lima rupiah) dalam pengadaan tanah untuk Terminal Kembur tanpa alas hak atau Sertifikat Hak Milik.
Penjualan tanah dilakukan atas permintaan Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur kepada Gregorius Jeramu untuk menjual tanah yang telah ia miliki secara turun temurun di Kelurahan Satar Peot, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur.
“Gregorius Jeramu awalnya menolak, tetapi karena alasan untuk kepentingan publik yakni pembangunan terminal, ia akhirnya setuju untuk menjual tanah tersebut. Proses jual beli dilakukan dengan tata cara adat Manggarai, yakni kepok dan dengan menyertakan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) tanah sebagai bukti pembayaran pajak,” kata Saverius.
Dasar penguasaan turun-temurun dengan itikad baik yang diakui oleh masyarakat dan aparat pemerintah sekitar dan tanpa adanya sengketa dengan pihak lain patut dilihat sebagai dasar kepemilikan tanah oleh Gregorius Jeramu dan keluarga dan bukti SPT PBB NOP 53.20.020.003 021-0082.0 tanggal 20 Februari 2012 hendaknya dilihat sebagai sebuah bukti penguat atas kepemilikan dan sejarah penguasaan yang telah ada oleh Gregorius Jeramu.
Gregorius Jeramu, sebut dia, melakukan pelepasan hak atas tanahnya kepada pihak Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur atas dasar permintaan dari pihak pemerintah daerah yang akan melakukan pembangunan terminal.
Proses administrasi pemerintahan dilakukan yang menjadi tanggung jawab negara antara lain dengan pengukuran tanah, melakukan musyawarah terkait ganti rugi, dan prosesi adat yakni “kepok” yang ditandai dengan tuak dan ayam.
Negara yang memiliki kapasitas, alat, dan fungsi dalam menyelenggarakan administrasi pertanahan bertanggung jawab dalam pengukuran luasan fisik sebenarnya atas proses tersebut.
Hingga dalam dokumen surat Pernyataan Jual Beli turut mengetahui adalah Camat Borong dan Kepala Desa/Lurah Satar Peot termasuk saksi yang juga telah turun-temurun tinggal disekitar lokasi tersebut.
Pelepasan dimaksud dilakukan dengan ganti rugi sejumlah uang yang telah disepakati dan dalam rangka penghargaan atas hak milik atas tanah Gregorius Jeramu yang dilepaskan untuk kepentingan umum.
Pada 2019, ketika pada akhirnya diterbitkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 00005 tanggal 23 September 2019 kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur, patut dilihat sebagai pembuktian telah diakuinya pelepasan hak secara administratif pertanahan.
Bahkan dalam gambar tanah pada Surat Ukur Sertifikat Hak Pakai tersebut, tertera batas-batas tanah yang mencakup eksistensi tanah milik Gregorius Jeramu.
Saverius menilai, tidak berfungsinya Terminal Kembur yang telah menghabiskan anggaran senilai Rp3,6 miliar lebih pasca pelepasan tanah dimaksud haruslah menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dengan mengacu pada tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Dakwaan jaksa terkesan bias, sengaja mengaburkan kasus dan menumbalkan Gregorius Jeramu demi menyelamatkan pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kerugian negara sejumlah 3,6 miliar dalam pembangunan fisik Terminal Kembur.
Diduga Mafia
Saverius menegaskan, kondisi yang terjadi sekarang ini dalam penegakan hukum di lembaga kejaksaan dan peradilan, seolah-olah tidak ada bedanya dengan kondisi sebelum mantra reformasi ditakbirkan.
Fungsi ideal kejaksaan dan pengadilan sebagai institusi penegak hukum yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan, serta menjamin perlindungan hak asasi manusia, pada saat ini mengalami keterpurukan.
Hal ini menurut dia, disebabkan karena adanya rekayasa, diskriminatif dan ketidakadilan sebagai hasil korupsi pengadilan (judial corruption), yang populer disebut mafia kejaksaan dan mafia peradilan, yang melibatkan oknum-oknum kejaksaan, hakim dan lain-kain.
“Sehingga tugas utama kejaksaan dan pengadilan untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian ditengah masyarakat masih jauh dari harapan,” jelasnya.
Dikatakan, dugaan mafia kejaksaan dan peradilan merupakan refleksitas dari suatu realitas yang unsur-unsur keberadaannya bersifat melawan hukum formal dan materiil.
Dugaan mafia kejaksaan dan peradilan merupakan bentuk kegagalan kejaksaan dan peradilan sebagai sarana mencari keadilan, telah menjadi pola tindakan menyimpang dalam proses penegakan hukum.
Dugaan mafia kejaksaan dan peradilan merupakan masalah bangsa yang semakin menjadikan citra hukum rendah dalam pandangan masyarakat.
Praktik dugaan mafia kejaksaan dan peradilan merupakan perbuatan melawan hukum yang merusak sendi-sendi independensi dan impasialitas pengadilan.
Sebab, lanjut dia, dugaan rekayasa hukum yang dilakukan sindikat mafia kejaksaan dan peradilan melanggar prinsip-prinsip due process of law dalam proses peradilan pidana.
Akibat langsung dari praktik dugaan mafia peradilan menimbulkan diskriminasi perlakuan terhadap pencari keadilan berdasarkan pertimbangan rasionalitas-pragmatisme, bertumpu pada kekuatan “uang dan kekuasaan”, mengabaikan prinsip penegakan hukum yang adil.
Dugaan mafia kejaksaan dan peradilan dapat terjadi karena sistem dan budaya penegakan hukum yang dijalankan oleh para penegak hukum memberikan peluang untuk diselewengkan.
“Berdasarkan karakteristik yang sedemikian, maka bisa dipahami secara konseptual, mengapa praktik dugaan mafia kejaksaan dan peradilan bisa lolos dari penilaian sebagai perbuatan melanggar hukum. Para penegak hukum berlindung dalam aras positivisme hukum, bertolak dari logika rasional, membangun argumentasi rasional dalam struktur logis-sistematis,” tegasnya.
Saverius menilai terdapat kecenderungan umum (mainstream) para jaksa dan hakim mengikuti pola pikir legal postivism berupa pola pikir legal formal mengesampingkan nilai etis-substansial hukum.
Proses penegakan hukum yang diduga melibatkan para mafia ini menunjukkan kaburnya orientasi para penegak hukum antara usaha menegakkan hukum dan menegakkan keadilan. Tujuan utama mereka dalam berperkara bukan untuk menegakkan hukum dan keadilan, tetapi untuk memenangkan uang dan tuan.
“Kita semua tentu menginginkan dalam kasus Terminal Kembur bahwa praktik-praktik kotor, praktik mafia hukum, jual beli kasus di Kejaksaan dan pengadilan tidak terjadi, sehingga the principle of judicial independence (independensi peradilan) dan the principle of judicial impartiality (ketidakberpihakan peradilan) dapat diimplementasikan dalam setiap penyelesaian perkara,” kata Saverius.
“Independensi kejaksaan dan peradilan adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Selain itu, ketidakberpihakan kejaksaan dan peradilan menghendaki terwujudnya peradilan yang bebas dari segala sikap dan tindakan maupun bentuk multiintervensi merupakan nilai gagasan yang bersifat “universal”,” tutup dia. [VoN]