Ruteng, Vox NTT- Proses proyek perluasan panas bumi di Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, hingga kini masih menjadi diskursus hangat. Banyak warga di wilayah itu yang menolak rencana PT PLN (Persero) tersebut.
Salah satu tuntutan warga adalah segera mencabut SK yang ditandatangani Bupati Manggarai Herybertus GL Nabit. Diketahui, proyek perluasan panas bumi ini berdasarkan pada SK Nomor HK/417/2022 tentang Penetapan Lokasi Perluasan PLTP Unit 5-6 di Poco Leok yang diteken Bupati Nabit.
Anehnya, dalam proses penandatanganan SK tersebut ternyata Wakil Bupati Manggarai Heribertus Ngabut tak pernah dilibatkan. Hal itu diketahui dari pengakuan Wabup Heri saat menerima massa aksi dari Poco Leok di Kantor Bupati Manggarai, Rabu (09/08/2023).
Di hadapan massa aksi, Wakil Heri berjanji akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan Bupati Nabit terkait tuntutan warga yang menolak proyek perluasan panas bumi PLTP Ulumbu. Sebab ia mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses rencana perluasan PLTP Ulumbu.
Wabup Heri juga meminta kepada pihak PLN agar menghentikan sementara semua proses perluasan PLTP Ulumbu sebelum ada hasil koordinasi dengan Bupati Nabit.
“Sabar dulu, sambil kita mendiskusikan barang ini dengan Bupati, PLN dan juga pihak lain yang terlibat di sana. Aktivitas di lapangan itu, jangan dulu menurut saya. Karena kalau itu dipaksakan maka tidak ada gunanya diskusi. Karena luka akan bertambah hebat,” ungkapnya.
Terkait tuntutan warga, Wabup Heri mengaku menunggu koordinasi dengan Bupati Nabit, karena SK itu dikeluarkan oleh Bupati.
“Pemerintah melalui Bupati membuat SK itu tentu ada dasarnya, maka telusuri lagi berita acara kesepakatan. Jujur, memang saya belum dilibatkan, tapi tidak apa-apalah. Bagi saya tentu ada prosedur dari aspek pemerintahan,” katanya.
Hal serupa juga diakui oleh Wakil Ketua DPRD Manggarai Simprosa Rianasari Gandut. Ia mengatakan, sejak adanya rencana perluasan PLTP Ulumbu sampai adanya SK Penetapan Lokasi oleh Bupati Nabit, lembaga DPRD Manggarai tidak pernah dilibatkan.
“Tolong kami diberi waktu, untuk berkomunikasi dan mengalokasikan waktu untuk Rapat Dengar Pendapat (RDP). Sama sekali tidak dilibatkan dalam proses perluasan PLTP Ulumbu, kami tidak pernah dilibatkan pada saat bupati mengambil keputusan,” kata politisi Partai Golkar itu.
Watak Kekuasaan yang Tamak
Diketahui, tak hanya menggelar aksi unjuk rasa di Ruteng ibu kota Kabupaten Manggarai pada Rabu (09/08/2023). Perwakilan Diaspora Poco Leok Jabodetabek dan Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur (SP-NTT) Jakarta juga menggelar aksi unjuk rasa Jilid III di Jakarta pada hari yang sama.
Aksi menolak pengembangan PLTP Ulumbu di wilayah Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, itu menyasar di Kedubes Jerman dan PLN Pusat.
Kordinator aksi Jilid III Jakarta, Kristian Jaret, dalam rilis yang diterima VoxNtt.com menegaskan, penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi oleh pemerintah pusat pada Juni 2017 lalu, telah mengabaikan sepenuhnya keselamatan manusia dan alam.
Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 itu, tampak mencerminkan watak dan lakon kekuasaan yang tamak dan otoriter: menjadikan ruang hidup warga sebagai komoditas, berikut mengabaikan risiko-risiko yang ditimbulkan dalam seluruh rangkaian proses penambangan panas bumi.
Menurut Kristian, klaim pemerintah bahwa panas bumi (geothermal) sebagai sumber energi yang “ramah lingkungan” dan “rendah karbon” tak sepenuhnya benar.
Pemerintah, kata dia, mencoba membesar-besarkan panas bumi sebagai mitigasi rendah karbon atas sumber utama pemanasan bumi penyebab perubahan iklim yaitu pembakaran bahan-bakar fosil.
Dalam praktiknya, penambangan panas bumi untuk membangkitkan listrik juga membangkitkan sumber-sumber bencana baru dan berkelanjutan.
Bahkan, rendahnya emisi karbon dari industri tambang panas bumi juga disertai dengan mengorbankan bukan saja manusia, tetapi juga hutan, bentang air, dan kelengkapan infrastruktur ekologis dari kehidupan pulau, yang kesemuanya jauh lebih berbahaya daripada besaran emisi-karbonnya. [VoN]