Borong, Vox NTT- Gerakan Masyarakat Peduli Adat (Gempa) mendesak Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur segera memberikan jaminan kepastian hukum atas hak ulayat dan wilayah adat Gendang Colol. Hal ini sesuai dengan ketentuan hak ulayat masyarakat dan hukum adat yang telah diwariskan secara turun temurun.
“Kami juga mendesak Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur untuk memberikan pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan hak atas tanah ulayat, wilayah adat, dan sumber daya alam untuk masyarakat adat Gendang Colol,” ujar Koordinator lapangan Gempa Colol, Fedrianus Kole, dalam keterangan tertulis yang diterima awak media, Kamis (21/09/2023).
Ia menegaskan, pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat Colol seharusnya dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, kemajemukan, keseimbangan, partisipasi, dan kesetaraan.
Dengan begitu, impian warga Colol untuk memperoleh kepastian hukum terkait keberadaan dan keberlangsungan masyarakat adat dapat segera terwujud. Dengan begitu pula, ada jaminan pemenuhan hak-hak masyarakat adat Colol.
Ia menilai sikap Bupati Manggarai Timur Agas Andreas sangat lamban dalam mengatasi persoalan masyarakat adat. Hal ini terbukti dari sejak dibentuknya panitia masyarakat hukum adat yang bertugas untuk melakukan verifikasi, validasi dan identifikasi masyarakat adat, di Colol belum ada kejelasan.
Tidak hanya itu, Fedrianus meminta Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur segera menetapkan kebijakan untuk menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat.
Hal tersebut penting agar masyarakat adat yang berkedudukan sebagai subjek hukum bisa mendapatkan jaminan kepastian hukum, mengingat konflik sengketa tanah masyarakat adat Colol masih belum memberikan angin segar dan masa depan yang baik.
“Maka kami Gerakan Masyarakat Peduli Adat menyakini bahwa dengan memperjuangkan urusan keadilan dan politik, kami lebih memahami dunia dan tidak akan memilih untuk diam karena hal itu belum selesai,” ujar Fedrianus.
Masih dalam rilis yang sama, Koordinator lapangan Gempa Colol Febrianus Kollins mengungkapkan kasus pembabatan kopi masyarakat adat Colol terjadi pada 16 Oktober 2012 lalu.
Setelah itu, kata dia, Kepala BKSDA NTT Ir. Wiratno bersama Staf Kabid KSDA Wilayah II Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng mengadakan pertemuan dengan masyarakat adat Colol di Pastoran Paroki St. Petrus Colol .
Pertemuan yang dihadiri pemerintah kecamatan dan LSM tersebut bermaksud untuk membangun komunikasi kembali antara BKSDA NTT dan masyarakat adat Colol. Itu terutama dalam konteks mewujudkan upaya pelestarian hutan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan TWA Ruteng.
“Terjadi kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat untuk mengakomodasi tujuan bersama itu,” terang Febrianus.
Dikatakan, masyarakat adat Colol kemudian mengadakan Lonto Leok (sidang adat) yang dihadiri wakil dari tiga pihak (Telu Siri) yaitu para tokoh adat, pemerintah, dan gereja yang diadakan di Gendang Colol pada 12 Desember 2012.
Menurut dia, Lonto Leok Telu Siri itu menghasilkan kesepakatan yang intisarinya antara lain;
Pertama, pengamanan kawasan hutan di TWA Ruteng yang menjamin pada konservasi lingkungan dan penghidupan masyarakat yang saling percaya, menghormati, dan menguntungkan.
Kedua, usulan penyelesaian sengketa atas tumpang tindih status Lingko secara adat dan kawasan hutan Negara.
Ketiga, pemetaan partisipatif oleh pihak dalam tiga pilar. “Butir isi dari “Kesepakatan Bersama Tiga Pilar” itu terasa seperti nafas segar bagi masyarakat adat Colol,” tambah Febrianus.
Ia mengatakan, perjuangan lanjutan masyarakat adat Colol dalam proses legislasi berhasil memperoleh Peraturan Daerah No.1 Tahun 2018 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Manggarai Timur.
“Namun, perjuangan belumlah berakhir, kelegaan untuk menjamin kehidupan dan adat itu haruslah menjadi masa depan masyarakat adat Colol,” ujar Febrianus.
Perjuangan yang ditempuh adalah untuk memperoleh pengakuan hukum berbentuk Peraturan Bupati yang mengatur keberadaan masyarakat hukum adat Colol dan hak adat di empat Gendang yang memiliki Pong dan Lingko sebagai sebuah kesatuan dari gagasan luhur “Gendang One Lingko Peang”.
Perda Nomor 1 Tahun 2018 Pasal 1 butir ke-6 dan ke-10, jelas dia, menyatakan bahwa pengakuan masyarakat hukum adat adalah pernyataan tertulis atas keberadaan mereka, beserta hak- haknya yang diberikan oleh Negara.
Pasal 1 butir ke-10 menyebut, tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu yang pengelolaan dan pemanfaatannya dapat bersifat komunal, kolektif maupun perorangan serta masih didasarkan pada pranata adat dan pemerintahan adat. [VoN]