Oleh: Yosefa Maria Dilva
Mahasiswi Pendidikan Biologi Universitas Sanata Darma Yogyakarta
Manusia kerdil Flores atau Homo Floresiensis yang ditemukan di Liang Bua, Manggarai, Pulau Flores,telah menjadi fokus misteri yang melibatkan jejak kehidupan kuno.
Penemuan fosil-fosil Homo Floresiensis membuka pintu menuju pemahaman baru tentang evolusi manusia.
Penelitian yang dilakukan oleh Th. Verhoeven sejak tahun 1965, yang kemudian
diteruskan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) pada tahun 1978–1989 dan kembali pada tahun 2001 hingga sekarang di situs Liang Bua, memberikan informasi yang signifikan mengenai okupasi manusia pada masa prasejarah.
Data yang diperoleh melalui penelitian ini menggambarkan jejak-jejak kehidupan masa
lalu secara kronologi, memperlihatkan fase-fase penghunian masa prasejarah yang memberikan wawasan mendalam tentang sejarah manusia.
Ekspedisi dilakukan pada tahun 1965 di Liang Bua, kabupaten Manggarai, yang menghasilkan temuan tengkorak dan tulang belulang manusia hingga kedalaman 4 meter.
Penelitian menyimpulkan bahwa tengkorak tersebut berasal dari ras Proto-Negrito, yaitu anggota manusia modern atau homo sapiens.
Penelitian lanjutan pada tahun 2003 oleh Pusat Arkeologi Nasional (ARKERNAS)
bersama universitas-universitas mancanegara memperkuat temuan tersebut.
Tengkorak dan kerangka manusia yang ditemukan menunjukkan ciri-ciri fisik tubuh kerdil, dengan tinggi 106 sentimeter dan kapasitas otak setara dengan simpanse, sebesar 417 sentimeter kubik.
Hal ini terlihat dari fosil yang ditemukan berupa tengkorak manusia purba yang memiliki bentuk sangat mungil.
Pemanfaatan sisa-sisa fosil ini memberikan pemahaman mendalam tentang evolusi dan persebaran kehidupan manusia purba di pulau Flores.
Manusia purba jenis Homo floresiensis juga dikenal sebagai Hobbit di Liang Bua yang
hidup di gua Liang Bua merupakan manusia pendukung kebudayaan neolitikum dengan ukuran tubuhnya yang kerdil.
Kerangka manusia purba Flores ditemukan oleh Pastor Theodorus Verhoeven pada tahun 1958 saat melaksanakan misi kristenisasi (zending mission) diperkirakan hidup sekitar 30.000-18.000 tahun silam.
Mereka hidup bersama dengan fauna lokal, termasuk gajah-gajah dan kadal raksasa Komodo. Penemuan tulang manusia Homo floresiensis oleh para arkeolog menjadi bukti penting dalam pemahaman kita tentang keberadaan manusia kerdil di wilayah Liang Bua.
Selain ditemukan kerangka manusia purba, ditemukan peralatan atau artefak
di sekitar area situs penemuan kerangka manusia purba Flores.
Artefak yang ditemukan seperti mata panah, kapak persegi, kapak lonjong, perhiasan, dan tembikar. Meski masih banyak misteri,
pola kehidupan Homo floresiensis dapat diperkirakan dari bukti arkeologis, mereka
kemungkinan hidup sebagai pemburu-pengumpul di Pulau Flores.
Penelitian terus dilakukan untuk memahami apakah Homo floresiensis merupakan
spesies yang terpisah atau mungkin merupakan varietas terkecil dari Homo erectus.
Beberapa ahli berpendapat bahwa ukuran tubuh kecil mungkin merupakan hasil dari fenomena evolusioner di mana proses organisme yang hidup di pulau-pulau kecil mengalami pengecilan ukuran tubuh dalam rentang waktu yang panjang karena faktor yang mempengaruhinya yaitu lingkungan dan seleksi alam yang unik di pulau tersebut.
Pola kehidupan Homo Floresiensis memberikan wawasan tentang cara mereka berinteraksi dengan lingkungan dan saling bergantung dalam kelompok sosial kecil, menambah
pemahaman kita tentang evolusi manusia.
Penemuan Homo Floresiensis menghadirkan tantangan besar bagi para ilmuwan yang
memerlukan waktu yang begitu panjang, terlalu sulit untuk dapat diuraikan secara singkat dan sederhana dalam memahami asal-usul dan evolusi manusia.
Analisis lebih lanjut atas fosil-fosil
ini telah melibatkan berbagai disiplin ilmu, termasuk paleontologi, antropologi, dan genetika.
Penemuan ini memiliki penting dan membantu dalam menggambarkan kehidupan Homo
floresiensis, memberikan wawasan yang mendalam tentang kemampuan adaptasi dan bertahan hidup spesies ini di lingkungan Pulau Flores selama periode Pleistosen.
Hasil penelitian menyoroti kompleksitas evolusi manusia dan variasi adaptasi terhadap lingkungan geografis yang berbeda.
Melalui analisis fosil-fosil ini, para peneliti dapat merangkai naratif yang lebih lengkap tentang sejarah evolusi manusia di wilayah ini.
Penemuan ini tidak hanya membuka pintu untuk pemahaman lebih baik tentang Homo Floresiensis tetapi juga memberikan
pemahaman global tentang keragaman manusia dan peran adaptasi dalam perjalanan evolusi manusia.