Kupang, Vox NTT- Kasus sengketa tanah di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur begitu menarik. Para pihak saling mengklaim hingga pelaporan ke penegak hukum.
Misalnya di Kecamatan Boleng, ada pelaporan
kasus tanah di pesisir utara Boleng, yang diketahui salah satu saksi berhalangan hadir memenuhi panggilan Polda NTT.
Saksi yang diketahui berinisial WS juga tercatat sebagai terlapor dalam laporan polisi bernomor: LP/B/154/V/2023/SPKT/Polda NTT.
Laporan itu dibuat pada 16 Mei 2023 dengan pelapor yakni Geradus Silvin, dkk melalui kuasa hukumnya Yance Thobias Mesah.
Yance menyebut bahwa laporan polisi itu buntut dari adanya dugaan pemalsuan dokumen.
Adapun terlapor yakni L, A, panitia A Kantor BPN Kabupaten Manggarai Barat dan WS.
WS, dalam laporan polisi itu, kata Yance, berstatus sebagai saksi.
Dia menjelaskan, objek tanah yang bermasalah berada di Desa Tanjung Boleng.
“Modusnya yakni para terlapor merekayasa Warka atau alas hak untuk penerbitan sertifikat seolah tanah yang berada di Desa Tanjung Boleng itu berada di Desa Batu Tiga,” papar Yance kata Yance kepada VoxNtt.com di Kupang, Selasa (30/1/2024) siang.
Dia mengatakan, laporan polisi itu sudah cukup dokumen dan sudah ditingkatkan ke penyidikan.
Saksi sendiri sudah diperiksa. Sedangkan, WS dua kali berhalangan hadir memenuhi panggilan polisi. Pada pemanggilan kedua ada perintah untuk membawa WS ke Polda NTT dari Polres Mabar.
Yance merinci bahwa setelah saksi-saksi diperiksa laporan polisi tersebut telah ditingkatkan ke penyidikan pada 20 November 2023 berdasarkan surat perintah penyidikan nomor: SP_Sidik/721/XI/2023 Ditreskrimum Polda NTT.
Adapun pasal yang digunakan yakni pasal 266 dengan 263 tentang pemalsuan dokumen.
“Saya sebagai kuasa hukum konfirmasi ke penyidik tapi sampai hari ini dia tidak hadir. Dari awal kami meyakini sudah ada unsur pidana dalam laporan ini,” kata dia.
Ada informasi yang diperoleh Yance bahwa WS sekarang di Jakarta dan mengirim surat sakit dari Jakarta.
Menurutnya, berdasarkan keterangan Kepala Desa Batu Tiga dan Ketua BPD objek tanah tersebut berada di Desa Tanjung Boleng.
“Saksi juga mengaku bahwa objek tanah itu adalah milik klien saya dan masuk dalam wilayah Desa Tanjung Boleng,” katanya.
Ia mengatakan, WS merupakan pembeli tanah. Pihaknya melaporkan WS karena sertifikat atas namanya dan sebagai pembeli.
“Kalau tidak salah sertifikatnya tahun 2019. Bagaimana mungkin dia sebagai pembeli sudah mengeluarkan uang sejak tahun 2015 tapi sertifikat diterbitkan tahun 2019,” bebernya.
Kata Yance, sejumlah uang sudah disalurkan kepada para terlapor dengan total 954 juta. Uang tersebut digunakan dalam rangka membuat sertifikat. Uang sudah dialirkan sebelum penerbitan sertifikat.
“Panitia A juga sebagai terlapor karena mereka juga ikut andil di dalamnya,” tukasnya.
Terpisah, WS mengaku pada Senin lalu dirinya menyampaikan izin tidak hadir memenuhi undangan penyidik dan minta untuk dijadwalkan ulang.
WS beralasan dirinya sedang menjalani pemeriksaan jantung di Jakarta.
“Hari Senin saya sudah sampaikan izin tidak hadir karena sedang menjalani pemeriksaan jantung di Jakarta,” kata WS dihubungi pada Rabu (31/1/2024).
Lapor Balik
Sementara itu, A salah satu terlapor menegaskan akan melapor balik Geradus Silvin sebagai pelapor kasus ini.
“Kami ini harus mau lapor balik pak, karena kami tidak nyaman ini. Apalagi saya punya nama ini sudah rusak pak. Dia seenaknya lapor bahwa kami ini memalsukan dokumen, dari mana palsukan dokumen, kami mau tahu juga. Mungkin dia punya dokumen yang palsu,” tegas A kepada wartawan.
Terlapor A menyanyangkan logika pernyataan pengacara bahwa soal WS mengeluarkan uang sebelum terbit sertifikat dan soal nilai uang 954 juta untuk mengurus sertifikat. Bagi dia, “itu pernyataan sangat keliru dan sangat tidak benar”.
“Apa yang salah pembeli mengeluarkan uang sebelum sertifikat terbit? Itukan bagian dari proses pembayaran dan itu biaya panjar. Soal uang 954 juta itu bukan untuk mengurus sertifikat, melainkan untuk membayar harga tanah,” tegasnya.
Lanjut A, pernyataan pengacara bahwa kalau tidak terjadi pembayaran maka tidak terjadi pemalsuan “itu logika yang sangat aneh”.
Ia bahkan menantang akan mengadukan keabsahan dokumen kepemilikan tanah tersebut, terutama antara dirinya dengan pelapor.
Menurut dia, laporan yang dibuat Geradus Silvin melalui pengacaranya merupakan bentuk kriminalisasi atas dirinya.
“Jadi kami sebagai terlapor merasa tidak nyaman dengan tuduhan ‘palsunya’ si Geradus ini,” tegas A.
“Kaget (atas laporan ini), (sebab) sejak 1969 wilayah tanah tersebut tetap masuk di Desa Batu Tiga. Baru sekarang baru wilayah Desa Tanjung Boleng, dan PBB (pajak bumi dan bangunan) di wilayah tersebut juga masuk wilayah Desa Batu Tiga,” ketus dia.
A kemudian mengisahkan proses perolehan tanahnya yang kemudian dijadikan sebagai objek laporan ke polisi oleh Geradus Silvin.
Ia mengaku mendapatkan tanah tersebut setelah proses permintaan secara adat ke tua adat (tu’a golo) setempat, sebagai pemilik ulayat.
“Jadi, kami minta tanah ini, bukan minta begitu saja. Kami pakai adat uang 10 juta dan ayam dua ekor, secara adat Manggarai,” jelas A.
Setelah direstui tu’a golo, A dan beberapa orang lainnya mendatangi pemerintah desa dan kecamatan untuk mendapatkan tanda tangan surat pengesahan atas kepemilikan tanah mereka.
Mereka mendatangi camat dan kepala desa berbekal surat ukur tanah yang ditandatangani tu’a golo sebelumnya.
“Kami minta tanda tangan pa camat untuk surat pengesahan, untuk mengetahui bahwa benar kami punya tanah di Desa Batu Tiga,” ujar A.
Sebab itu, A menampik pengakuan pelapor Geradus Silvin melalui pengacaranya bahwa tanah tersebut berada di wilayah Desa Tanjung Boleng.
“Itu tidak benar adanya karena wilayah tanah yang kami miliki ini, itu wilayah Desa Batu Tiga, bukan Desa Tanjung Boleng,” ketus A.
“Desa Tanjung Boleng baru mengaku sekarang, tahun 2022 baru ada surat pembagian wilayah administrasi, bukan wilayah adat,” imbuh dia.
Informasi yang dihimpun awak media menyebutkan, berdasarkan berita acara hasil pertemuan Forkompinda tahun 2022 dan SK Bupati Manggarai Barat tahun 2023, ada poin bahwa “sertifikat yang terbit di desa yang berbeda dengan penetapan yang baru maka boleh mengajukan perubahan nama desa”
Media ini juga mencatat, di wilayah Boleng, sengketa klaim tanah dengan tipologi klaim wilayah administrasi desa bukan baru pertama kali, melainkan sudah beberapa kali terjadi. Namun, ketika dibawa ke pengadilan, orang-orang yang dituduhkan memalsukan dokumen tidak terbukti dan dibebaskan.
WS Tidak Palsukan Dokumen
A sendiri juga membantah bahwa saksi WS ikut memalsukan dokumen sebagaimana dituduhkan pelapor.
A menjelaskan WS adalah seorang pembeli yang menurut dia, tidak bakal membeli tanah tersebut jika diketahui ternyata surat-suratnya palsu.
“Dia bukan sembarang beli, dia cari tahu dan telusuri dulu ini tanah, benar keberadaannya, baru tanah itu tempatnya di mana, sudah itu dia baru berani kasih DP (down payment), begitu pak,” jelas A.
Ia juga menampik tudingan bahwa uang milik WS digunakan untuk mengurus dokumen sebagaimana dituduhkan pelapor. Yang terjadi, lanjut dia, digunakan untuk membeli tanah yang dibayar dalam beberapa kali.
Penulis: Ronis Natom