Oleh: Lutcille Febryen Fatma Magung
Siswi SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo
Di situasi globalisasi dengan berbagai kemajuan dalam berbagai bidang menjadikan banyak manusia terbantu untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Situasi ini tak selamanya memberikan kemudahan yang hakiki, sebab dengan kemunculan teknologi canggih, yang memudahkan manusia dari setiap generasi justru menjadi lebih bersikap individualis.
Kemandirian yang tercipta oleh karena bantuan teknologi mesin, aplikasi, dan masih banyak lagi justru membawa manusia masuk ke dalam keadaan konkret akan makin egoisnya manusia itu, namun mereka tak menyadarinya.
Kondisi demikian lantas membawa pengaruh pada kondisi mental manusia itu sendiri, termasuk dikalangan remaja.
Sejumlah laporan Organisasi Kesehatan Dunia menunjukkan, secara global satu dari 7 anak usia 10-19 tahun mengalami gangguan jiwa, terhitung 13% dari beban global penyakit pada kelompok usia dini.
Depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku adalah salah satu penyebab utama penyakit dan kecacatan dikalangan remaja. Bunuh diri adalah penyebab utama kematian keempat diantara usia 14-29 tahun.
Tingginya masalah kesehatan mental di kalangan remaja juga terjadi di Indonesia. Menurut Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, 15,5 jt (34,9%) remaja mengalami gangguan mental.
Dari jumlah tersebut, 2,6% yang mengakses layanan konseling, baik emosi maupun perilaku.
Gangguan mental remaja pada usia 10-17 tahun di Indonesia menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Konsekuensi dari kegagalan mengatasi kondisi kesehatan mental remaja berlanjut hingga dewasa.
Hal ini dapat merusak kesehatan fisik dan mental serta membatasi kesempatan untuk menjalani kehidupan yang memuaskan sebagai orang dewasa.
Fenomena ini bukanlah hal yang wajar. Bahaya rusaknya generasi penerus bangsa akibat gangguan kesehatan mental harus menjadi pusat perhatian pemerintah tanah air, sebab nasib bangsa di masa depan ada di tangan para remaja.
Apa kabar Indonesia, jika generasi penerusnya menderita gangguan kesehatan mental? Oleh karena itu berbagai pihak harus segera merespon komplekitas permasalahan ini.
Dalam kasus ini, penulis menekankan akan pentingnya peran kecerdasan emosional bagi kalangan remaja untuk mengurangi persentase masalah kesehatan mental pada remaja. Mengapa demikian?
Layaknya anak kecil yang butuh dituntun berjalan, demikian remaja memerlukan bimbingan dalam menghadapi situasi zaman yang mereka hadapi, bersamaan dengan situasi batin, psikis dan biologis remaja, yang sangat sensitif dan kerap dikenal dengan kata labil.
Remaja yang sangat identik dengan masa pencarian jati diri, kehendak bebas yang tak ingin dikekang, eksplorasi diri, dan rasa ingin tahu yang tinggi.
Sejalan dengan itu, remaja sekarang ini dihadapakan dengan berbagai situasi yang mengancam perkembangan mereka.
Mulai dari media social yang sangat terbuka menjadi tempat dan sumber insecurity remaja, pengaruh budaya luar yang membuat remaja tergoda untuk meniru, tanpa memilah dan memilih mana yang layak dan tak layak.
Teknologi juga sangat memudahkan remaja mencari apapun yang mereka mau, mempengaruhi gaya hidup instan, modis dan berkelas mendorong remaja untuk menuntut orang tua untuk memenuhi kehendak konsumtif mereka, kondisi ekonomi keluarga harus terus stabil, sehingga orang tua seakan lebih memprioritaskan waktu dan tenaganya untuk mencari uang dan mereka tak punya waktu untuk sekadar mengetahui keseharian anaknya.
Remaja pun akhirnya benar-benar berjalan sendiri, dalam ketidaktahuan akan bagaimana sepatutnya menyikapi tantangan zaman ini.
Kurangnya perhatian khusus dari orang tua dan lingkungan inilah yang berpotensi memunculkan kepribadian anak menjadi antisosial, menurunnya motivasi belajar, peningkatan kenakalan dan agresivitas, perasaan rendah diri, cenderung menghindar ketika mengalami konflik dengan orang lain, mudah terbawa arus negatif pergaulan teman, kecemasan akan tidak diterima teman, depresi akan status tertentu yang tercipta dalam lingkup pergaulan dan tidak memperhatikan perasaan orang lain ketika mengungkapkan pikirannya.
Kecerdasan emosional diperlukan agar dapat mengatasi dampak negatif dari globalisasi yang dialami oleh remaja.
Sayangnya banyak pihak yang mengabaikan hal sederhana seperti ini. Kita pun tak dapat menyalahkan orang tua, sebab kebutuhan ekonomi keluarga juga tak mungkin dikesampingkan.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali diri sendiri dan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, dan kemampuan untuk mengolah emosi diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain.
Kecerdasan emosional memampukan seseorang untuk mengelola perilaku dan hubungan sesama manusia.
Kecerdasan Emosional tidak didasarkan pada kepintaran seseorang melainkan karakteristik pribadi ketika seseorang merasakan emosi yang muncul ketika menerima stimulus dari luar.
Orang yang memiliki kecerdasan emosional, mampu merespons reaksi emosi dari diri mereka dan orang dengan tepat. Secara sederhana penulis memaparkan manfaat kecerdasan emosional agar seseorang bisa mengambil keputusan dengan tepat dengan mengenali perasaan dan emosi yang timbul dari dalam diri maupun orang lain.
Sebagaimana telah penulis paparkan sebelumnya, remaja dewasa ini memiliki problematika yang cukup kompleks untuk dihadapi.
Di umur yang belum matang, remaja saat ini sudah dihadapkan dengan berbagai tantangan yang timbul baik secara internal maupun eksternal. Pengaruh internal dan eksternal inipun memiliki keterkaitannya satusama lain.
Remaja saat ini, tak hanya dihadapkan dengan tantangan untuk belajar, kompetisi meraih juara dan lika liku kehidupan asmara pada umumnya. Lebih daripada itu, remaja sekarang ini dihadapkan dengan situasi dunia yang menuntut mereka untuk dewasa secara emosional.
Mengapa demikian? Kehadiran globalisasi punya undil besar. Sekarang, remaja dituntut untuk berpikir jauh kedepan demi menyiapkan diri akan masa depan yang jauh lebih menantang.
Masalah klasik yang terjadi pada remaja kini menjadi isu serius yang bahkan berdampak pada perkembangan mental mereka, seperti urusan penampilan bagi para perempuan yang semakin memiliki stereotype ketat oleh lingkungan pergaulannya.
Sebagai contoh, memiliki body goals adalah impian para remaja perempuan sampai-sampai mendorong mereka untuk melakukan diet extreme. Pergaulanpun dinilai berdasarkan penampilan.
Kelompok-kelompok tertentu dibentuk bagi mereka yang memiliki standar body goals tersebut, sedangkan yang tidak akan dikucilkan.
Remaja sulit untuk tampil sebagi diri sendiri, sebab termakan oleh standar yang telah diciptakan lingkungan secara dominan.
Belum lagi isu pergaulan, seks bebas, budaya menyontek, bullying baik secara verbal, fisik, cyber.
Itulah mengapa penulis menerangkan bahwa kecerdasan emosional sangat penting bagi remaja.
Kecerdasan emosional membentuk kedewasaan dan kesuksesan internal pada remaja. Kesuksesan internal yang dimaksud ialah remaja mampu mengembangkan potensi dalam dirinya untuk dimanfaatkan dalam kehidupan.
Kesuksesan internal ini diraih saat seseorang berhasil mengenal dirinya secara keseluruhan, mengembangkan potensi dan pola pokirnya secara maksimal, memegang kontrol sepenuhnya terhadap pemikiran dan aksinya sendiri, mengatasi tantangan dari luar mupun dalam dengan bijaksana serta berkarakter teladan.
Kecerdasan emosional mendukung kemampuan remaja untuk mengolah, dan mengontrol berbagai emosi dan perasaan yang timbul dari dalam dirinya, sebagai bentuk respons dari situasi sekitar, serta bentuk luapan emosi akan konflik atau situasi dilema yang dialami.
Berbagai problematika remaja yang telah dipaparkan diatas dapat menimbulkan berbagai perasaan dan emosi negatif yang jika tak dapat diolah, dikontrol dan dikenali dengan baik, maka akan menghancurkan remaja secara emosional, meberikan tekanan yang merusak situsi psikis bahkan fisik mereka sendiri.
Sebaliknya jika remaja mampu mengolahnya dengan baik, maka akan membantu remaja untuk membangun diri, mengenal diri lebih baik, dan mampu mengendalikan situasi buruk menjadi lebih kondusif.
Dengan kondisi emosional yang terkendali, remaja akan mampu menjadi kapten bagi diri sendiri dalam proses pergaulannya.
Mereka akan lebih cerdas memilih lingkungan pergaulan, beradaptasi, memiliki sikap selektif dalam menerima pengaruh globlisasi, dan tetap berkembang di situasi labil yang kerap dialami remaja. Mampu berkomitmen, optimis dan menguasai dirinya sendiri.