Oleh: Charles Goa
Mahasiswa IFTK Ledalero
Kerusakan ekologi adalah salah masalah serius yang menjadi perhatian masyarakat global dewasa ini.
Eksploitasi alam yang berlangsung secara masif telah menghadirkan krisis ekologi yang terparah sepanjang zaman.
Pemanasan global, penipisan lapisan ozon, efek rumah kaca, hilangnya keanekaragaman hayati, krisis air hingga hujan asam adalah sederet problem nyata warga global saat ini yang muncul sebagai konsekuensi dari kerusakan ekologi.
Tentu saja ada banyak hal yang menyebabkan kerusakan ekologi, tapi hemat saya, salah satu “pihak” yang paling bertangung jawab atas krisis ekologi saat ini adalah derap langkah pembangunan.
Pembangunan seringkali menjadi alat legitimasi terhadap berbagai praktek eksploitasi terhadap alam.
Atas nama pembangunan, penjarahan yang semena – mena terhadap alam seolah – olah bisa dibenarkan.
Pembangunan yang seringkali diklaim sebagai suatu proses membuat hidup lebih baik bagi semua orang, ternyata mendalangi aneka kerusakan dan bencana ekologis.
Proyek-proyek dirancang dan dilaksanakan atas dasar motivasi dan dengan tujuan yang tampak mulia, yaitu “kehendak untuk memperbaiki” kehidupan orang yang menjadi sasarannya.
Namun dalam kenyataan dan pengalaman konkret kita temukan bahwa pembangunan tidak bermanfaat secara merata bagi semua orang di semua tempat.
Bagi kelompok tertentu di tempat tertentu pembangunan memang mendatangkan kekayaan dan kesejahteraan; namun bagi banyak orang lain pembangunan tidak saja gagal memenuhi janji kemajuan dan kesejahteraan, tetapi justru membawa serta ancaman bagi keberlanjutan hidup komunitas, budaya dan alam ciptaan.
Kehendak untuk memperbaiki bercampur-aduk dengan kehendak untuk berkuasa, kehendak untuk menguasai, kehendak untuk mengatur, kehendak untuk menjalankan apa yang diinginkan; sehingga alih-alih membuat keadaan lebih baik bagi kelompok sasarannya, pembangunan itu berakhir dengan dominasi, pencaplokan sumber daya, marginalisasi, subordinasi, dan kekerasan dalam berbagai bentuk.
Karena itu, pembangunan merupakan sesuatu yang dikehendaki sekaligus ditentang, dirangkul sekaligus diwaspadai, dijalankan sekaligus dilawan.
Karena itu, adalah suatu kemendesakan umtuk merancang suatu model atau strategi pembangunan yang ramah terhadap alam, yang mampu memastikan keberlanjutan keutuhan alam ciptaan.
Dalam konteks inilah, tulisan sederhana ini dibuat. Dengan berpijak pada ensiklik Laudato Si’, saya hendak menunjukkan letak permasalahan dari pembangunan yang kita jalankan sekalugus merancang ideal pembanungan yang berbasis ekologis.
Pembangunan, Kerusakan Ekologi dan Laudato Si’
Laudato Si’ adalah ensiklik yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus pada tahun 2015 lalu sebagai bentuk respon Gereja terhadap krisis ekologi global.
Dalam ensiklik ini Paus Fransiskus menguraikan secara mendalam dan komprehensif faktum kerusakan ekologi yang mengancam keberlangsungan hidup warga global.
Hemat saya, ensiklik ini bisa dipakai sebagai acuan untuk mengkritisi berbagai praksis pembangunan yang tidak ramah lingkungan.
Sebagaimana dilansir oleh kementerian lingkungan hidup dan kehutanan, salah satu sumber bencana ekologis adalah dominasi paradigma antroposentris.
Antroposentrisme adalah paham yang meletakkan manusia sebagai pusat alam semesta.
Antroposentrisme mereduksi alam ciptaan hanya sebagai pemuas kebutuhan manusia.
Konsekuensi dari paradigma ini adalah manusia seolah – olah mendapat legitimasi untuk mengelola alam secara membabi buta demi kepentingannya dan Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ juga mengamini bahwa salah satu akar manusiawi kerusakan ekologi adalah paham antroposentrisme.
Mengutip Romano Guardini, Paus Fransiskus menulis “ Manusia tidak lagi merasakan alam sebagai norma yang berlaku, atau sebagai tempat perlindungan hidup. Ia melihat alam tanpa asumsi secara objektif, sebagai ruang dan bahan untuk dikerjakan. Segalanya dibuang ke dalamnya, tidak peduli apa hasilnya.”
Persoalannya adalah semua proyek pembangunan bernaung di bawah payung antroposentrisme.
Sebagaimana yang saya jelaskan dalam bagian prolog, sasaran pembangunan adalah manusia.
Dengan argumentasi antroposentris ini, berbagai proyek pembangunan tanpa ampun menggilas alam secara membabi buta.
Eksploitasi terhadap alam atas nama pembangunan menjadi kian parah karena didukung oleh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan (IPTEK) serta globalisasi ideologi kapitalisme yang menyusup lewat agenda – agenda pembangunan.
Kemajuan IPTEK, sebagaimana Paus Fransiskus, tentu saja patut disyukuri karena menawarkan kemudahan bagi aktivitas manusia.
Namun, seringkali kecanggihan teknologi dimanfaatkan secara keliru oleh manusia, terutama oleh kekuatan ekonomi (baca: kaum kapitalis) yang berorientasi pada penumpukan profit atau laba.
Lalu, bagaimana merancang model atau strategi pembangunan berbasis ekologis, yang ramah terhadap alam ciptaan atau lingkungan hidup? Hemat saya, dengan bertolak dari Laudato Si, salah satu yang paling urgen dibuat adalah revitalisasi paradigma terhadap alam ciptaan.
Dalam bagian pendahuluan Laudato Si’, Paus Fransiskus dengan mengutip Santo Fransiskus Assisi meminta kita untuk melihat alam sebagai ibu dan saudari.
Pemahaman macam ini mesti terintegrasi dalam setiap kebijakan dan agenda pembangunan.
Dengan melihat alam sebagai ibu atau saudari kita tidak akan terjebak dalam berbagai tindakan destruktif terhadap alam karena alam dipersepsi sebagai entitas yang egaliter atau setara dengan kita.
Karenanya, penjarahan terhadap alam ciptaan, atas nama pembangunan sekali pun tidak dapat dibenarkan.
Alam mesti dijaga dan dirawat seperti ibu supaya dia bisa dimanfaatkan juga oleh generasi berikutnya.
Paus Fransiskus menekankan bahwa alam bukan hanya milik generasi sekarang, tapi juga milik generasi – generasi manusia mendatang.
Maka, tugas kita adalah memastikan bahwa generasi mendatang juga akan menikmati alam seperti kita sekarang. Di sini, Paus Fransiskus meletakkan semacam “etika masa depan” yang harus menjadi basis pengelolaan alam dalam setiap proyek pembangunan.
Di samping itu, dengan bertolak dari kisah penciptaan, Paus Fransiskus mempromosikan sebuah pembacaan atau interpretasi berbeda terhadap kisah ini.
Kisah penciptaan sama sekali tidak menghendaki manusia untuk menjadi penguasa yang bisa bertindak semena – mena terhadap alam ciptaan, tapi menurut Paus Fransiskus Tuhan Sang Pencipta, manusia dan alam ciptaan adalah sebuah kesatuaan atau tatanan harmoni yang membentuk sebuah persaudaraan dan persekutuan universal.
Dengan tafsiran semacam ini, Paus Fransiskus sebenarnya sedang meminta manusia untuk bertindak bijak terhadap alam karena kerusakan alam juga berarti kerusakan buat manusia sebab keduanya berada dalam jalinan relasi yang tidak terpisahkan.
Hemat saya, dengan menyertakan paradigma dan kesadaraan macam ini dalam setiap proyek pembangunan kita bisa meminimalisasi kerusakan terhadap alam ciptaan.
Pada akhirnya, Paus Fransiskus meminta kita untuk melakukan pertobatan ekologis .
Salah satunya dengan membuat pertimbangan atau melibatkan pemahaman ekologi integral dalam setiap proyek pembangunan.
Epilog
Tidak bisa dipungkiri bahwa pembangunan telah menjadi salah satu penyumbang kerusakan ekologi saat ini.
Pembangunan yang berbasis pada paradigma antroposentris yang ditunjang oleh kemajuan IPTEK dan beroperasi bersama kapitalisme telah menghadirkan luka yang mendalam terhadap alam ciptaan.
Karena itu, kita dipanggil untuk melakukan pertobatan ekologis dengan merevitalisasi pemahaman kita terhadap alam, bahwa alam bukanlah objek eksploitasi, tapi alam adalah ibu, saudari yang membentuk kesatuan harmoni dengan Pencipta dan manusia sehingga harus dijaga dan dilestarikan. Semua proyek pembangunan mesti ramah terhadap lingkungan.