Oleh: Prof. Dr. Drs. Fransiskus Bustan, M.Lib
Dosen Pascasarjana Undana Kupang
Seperti kita ketahui bersama, masyarakat berbeda niscaya menganut kebudayaan berbeda. Perbedaan sosok kebudayaan suatu masyarakat jika disanding dengan sosok kebudayaan masyarakat yang lain terjadi. Sebab, setiap masyarakat memiliki caranya masing-masing dalam memandang dunia.
Perbedaan sosok kebudayaan antarmasyarakat tercermin dalam bahasa yang mereka gunakan. Mengapa? Karena, secara fungsional dan maknawi, bahasa merupakan cerminan sosok kebudayaan suatu masyarakat.
Kekhasan sebagai kekhususan pembeda bahasa sebagai refleksi perbedaan sosok kebudayaan yang dianut suatu masyarakat dapat disaksikan dalam tataran interaksional makro dan tataran interaksional mikro, seperti dalam peristiwa tutur atau tindak tutur tertentu.
Realitas penggunaan bahasa sebagai cerminan kebudayaan suatu masyarakat dalam tataran interaksional mikro dapat dicermati, antara lain, dari bentuk dan makna satuan kebahasaan ungkapan verbal yang mereka gunakan dalam konteks perkawinan adat.
Salah satu makna yang tersurat dan tersirat melalui bentuk tekstual satuan kebahasaan yang dituturkan dalam konteks perkawinan adat suatu masyarakat berkenaan dengan hubungan kekuasaan antara keluarga pemberi istri yang dikenal dengan sebutan wife-giver atau wife-giving family dalam bahasa Inggris dan keluarga pengambil istri, yang dikenal dengan wife-taker atau wife-taking family.
Dalam tautan dengan perbedaan status yang diemban dan diperaninya, bentuk dan makna satuan kebahasaan tersebut menyiratkan privilese atau hak istimewa keluarga pemberi istri menentukan jumlah belis yang diminta kepada keluarga pengambil isteri.
Salah satu anjungan berpikir yang melatari keberterimaan privilese tersebut sebagai bagian dari konvensi sosial warisan leluhur masyarakat bersangkutan karena mereka memberi perempuan menjadi istri untuk seorang laki-laki dari keluarga lain bukan sekadar memberikan raga semata, tetapi memberikan kehidupan demi keberlanjutan keturunan keluarga laki-laki yang menjadi suaminya.
Seperti halnya dalam ranah kehidupan masyarakat yang lain, manifestasi perbedaan hubungan kekuasaan antara keluarga pemberi istri dan keluarga pengambil istri ditemukan pula dalam konteks perkawinan adat masyarakat Manggarai di Flores, khususnya dalam bentuk perkawinan cangkang, suatu bentuk perkawinan dari dua keluarga yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan darah atau hubungan kekerabatan perkawinan sebelumnya.
Perbedaan hubungan kekuasaan itu tercermin dalam pemilikan privilese atau hak istimewa keluarga pemberi istri, yang dikenal dengan sebutan anak rona dalam bahasa Manggarai, untuk menentukan jumlah belis yang diminta kepada keluarga pengambil istri, yang dikenal dengan sebutan anak wina.
Privilese anak rona untuk menentukan besar-kecilnya jumlah belis yang diminta kepada anak wina sebagai keluarga pengambil istri tercermin dalam ungkapan verbal bercorak metafora orientasional dalam bahasa Manggarai, Deng eta kanang ata naun, deng wa kanang ata naun, yang secara leksikal berarti, ‘Ikat sarung di ata tetap anggun atau cantik, ikat kain di bawah tetap anggun atau cantik’.
Sesuai konteks yang melatari penggunaannya, ungkapan verbal tersebut menyiratkan makna, anak rona memiliki privilese untuk menentukan belis, baik dalam jumlah besar maupun dalam jumlah kecil.
Privilese anak rona menentukan belis dalam jumlah besar diisyaratkan melalui kata (adverbia) eta ‘di atas’ dalam gugus kata (frasa verbal), deng eta ‘ikat sarung di atas’.
Sebaliknya privilese anak rona menentukan belis dalam jumlah kecil diisyaratkan melalui kata (adverbia) wa ‘di bawah’ dalam gugus kata (frasa verbal), deng wa ‘ikat sarung di bawah’.
Kata (verba) deng ‘ikat sarung’ bertalian secara maknawi dengan perempuan, sedangkan untuk laki-laki digunakan kata (verba) tengge ‘ikat sarung’.
Sesuai kebiasaan yang berlaku secara mentradisi selama ini, belis yang diminta anak rona memang berjumlah besar berupa uang ratusan juta dan hewan seperti kerbau dan kuda beberapa ekor.
Akan tetapi, banyak fakta menunjukkan bahwa jumlah belis yang diminta anak rona hanya bergayut dengan soal angka.
Mengapa? Karena penetapan angka belis dalam jumlah besar bertujuan untuk diketahui seluruh warga masyarakat dalam satu kampung bahwa belis untuk anak perempuan mereka berjumlah besar.
Hal itu dapat disimak dalam ungkapan verbal bahasa Manggarai, Kudut pecing le pa’ang olo ngaung musi, yang secara leksikal berarti ‘Supaya diketahui oleh pelataran depan dan kolong belakang’.
Istilah pa’ang olo ngaung musi yang menunjuk pada ‘pelataran depan dan kolong belakang’ merupakan majas totum pro-parte yang merepresentasikan warga masyarakat yang tinggal dalam satu kampung atau masyarakat umum.
Meski belis yang diminta anak rona berjumlah besar, pihak anak wina tetap diberi ruang melakukan negosiasi berupa tawar-menawar.
Proses dan mekasime negosiasi seringkali berlangsung relatif lama tergantung pada kepiawaian tongka tei sebagai juru bicara dari pihak anak wina dalam memilih dan menata kosakata guna merayu tongka tiba sebagai juru bicara dari pihak anak rona.
Negosiasi yang dilakukan itu bermuara pada pencapaian kesepakatan bersama karena, belis yang diminta anak rona boleh berjumlah relatif besar, namun proses dan mekanisme pelunasan oleh anak wina dapat dilakukan secara berangsur.
Mengapa? Karena penentuan jumlah belis seorang perempuan dalam konteks perkawinan adat Manggarai bukan seperti membeli barang di toko, bom neho weli barang one tokong, di mana hubungan transaksional antara penjual dan pembeli bersifat kontraktual.
Setelah barang dibeli sesuai kesepakatan harga dalam proses tawar-menawar, hubungan antara penjual dan pembeli selesai.
Hubungan antara anak rona dan anak wina dalam sistem kekerabatan perkawinan masyarakat Manggarai bersifat organis itu dapat disimak dalam ungkapan verbal bahasa Manggarai, bom neho salang tuak salang wae, ngong wae teku tedeng, yang secara eksplikatif berarti, hubungan kekerabatan perkawinan ibarat aliran air pancuran yang dapat ditimba terus-menerus.
Salah satu manifestasi pelunasan belis diwahanai melalui sida berupa permintaan bantuan dari keluarga anak rona ketika anak laki-laki mereka menikah.
Pemenuhan permintaan bantuan tersebut merupakan salah satu kewajiban adat bagi keluarga anak wina.
Ketika saudara laki-laki sekandungnya menikah, saudara perempuan yang sudah menikah menjadi tulang punggung dalam pembayaran belis.
Hal itu dapat disimak dalam ungkapan verbal bahasa Manggarai, Laki nara papi, weta pampang darap, yang secara eksplikatif berarti ketika saudara laki-laki sekandung menikah, saudara perempuan yang sudah menikah menjadi tumpuan dan harapan utama dalam pembayaran belisnya, sebagaimana diisyaratkan dalam gugus kata atau kalimat, weta pampang darap ‘saudara perempuan tantang panas’.
Demikian secuil ulasan tentang privilese anak rona sebagai keluarga pemberi istri ketika menentukan jumlah belis dalam perkawinan adat Manggarai.
Angka belisnya memang seringkali berjumlah besar yang diminta pihak anak rona sebagai keluarga pemberi istri, namun fakta pelunasannya oleh pihak anak wina sebagai keluarga pengambil istri dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Mengapa? Karena, dalam konseptualisasi budaya masyarakat Manggarai, hubungan kekerabatan perkawinan bukan bersifat sesaat, tetapi berlangsung sepanjang hayat.
Karena itu, pendapat sebagian kalangan yang berseliweran di media sosial selama ini yang menyatakan, belis perempuan Manggarai mahal hanya merupakan sebuah hasil amatan dengan menggunakan kaca mata kuda tanpa ditopang dengan data memadai hasil penelitian demi memperoleh pencerahan.
Dilihat secara sekilas belis perempuan Manggarai memang rada mahal dalam angka, namun fakta dalam proses pelunasannya berlangsung secara berangsur demi melanggengkan hubungan temali kekerabatan perkawinan yang bersifat organis.