Kupang, Vox NTT- Diskusi mengenai Amicus Curiae ramai dibicarakan berkaitan dengan proses di Mahkamah Konsitusi (MK) menjelang putusan sengketa pemilihan presiden (pilpres) 2024.
Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri juga melayangkan Amicus Curiae ke MK.
Dalam definisinya, Amicus Curiae adalah orang perseorangan atau organisasi yang bukan merupakan pihak dalam suatu perkara hukum, tetapi diperbolehkan membantu pengadilan dengan memberikan informasi, keahlian, atau wawasan yang berkaitan dengan permasalahan dalam perkara tersebut.
Adalah Dr. Umbu Kabunang Rudiyanto Hunga, SH,.MH.,CLI, praktisi hukum asal Pulau Sumba, NTT merupakan orang Indonesia pertama yang menulis disertasi Amicus Curiae atau sahabat pengadilan.
Umbu mengatakan, Amicus Curiae atau Friend of Corut adalah masukan, informasi atau memberikan pendapat hukum , legal brief dari individu dan organisasi yang bukan bertindak sebagai pihak dalam sebuah perkara.
“Namun mereka hanya menaruh perhatian atau lebih kepada berkepentingan terhadap suatu kasus,” jelas dia, baru-baru ini.
Amicus Curiae, demikian Umbu, akan diajukan ketika ada perkara yang sedang berproses di pengadilan, baik itu di Pengadilan Negeri (PN) maupun Mahkamah Konstitusi (MK).
“Karena perkara itu menarik perhatian, dan para amicus peduli dan punya pengetahuan, sehingga memberi masukan agar perkara itu dapat membantu hakim memutus atau menyelesaikannya,” ungkapnya.
Umbu Kabunang Rudianto mencontohkan kasus sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi.
Ia menyebut, kasus itu, para amicus mengajukan legal opinion atau pendapat hukum. Mereka adalah pihak ketiga seperti masyarakat dan LSM atau para pemerhati perkara.
“Jadi mereka itu memiliki kapasitas dalam bidangnya masing-masing, dan tidak ada UU yang mengatur bagaimana amicus brief atau Amicus Curiae ini menjadi bukti di pengadilan,” jelasnya.
Amicus brief dalam persidangan di MK, kata dia, setelah mengajukan legal opinion. Tidak ada UU dan kewajiban hakim untuk mempertimbangkan.
“Tetapi dalam perkara-peekara tertentu, ada hakim yang mempertimbangkan pendapat-pendapat hukum tersebut,” kata dia.
Umbu dalam disertasinya, merasa bahwa peran Amicus Curiae dalam persidangan di pengadilan Indonesia sudah sering kali hadir. Mereka terlibat dalam proses pengadilan di Indonesia.
“Khususnya dalam penelitian saya di pengadilan pidana,” ungkapnya.
Ia menilai, pendapat hukum dari Amicus Curiae yaitu amicus brief itu bukan sekadar dipertimbangkan, tetapi harus wajib dipertimbangkan dalam putusan.
“Tetapi kenyataan yang terjadi adalah pertimbangan hukum atau legal opinion atau amicus brief itu tidak serta merta dijadikan pertimbangan oleh hakim,” terangnya.
“Tetapi ada hakim yang mempertimbangkan itu, jika putusannya sesuai dengan apa yang menjadi pendapat dari amicus brief,” tambah Umbu.
Ia menjelaskan, disertasi tentang Amicus Curiae ini bakal dibuat dalam bentuk buku dan segera diterbitkan.
“Melalui disertasi ini, saya meraih gelar Doktor Ilmu Hukum di Universitas Jayabaya, Jakarta tahun 2023 lalu,” katanya.
Sepintas Disertasi Doktor Umbu
Amicus Curiae atau friends of court dapat dijadikan salah satu alat bukti berupa kajian ilmiah yang terkait dengan kasus yang sedang disidangkan di pengadilan.
Hakim dapat menggunakan Amicus Curiae sebagai bahan untuk memeriksa, mempertimbangkan serta memutus perkara.
Hakim dapat membuka informasi dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi para pihak yang merasa memiliki kepentingan dengan kasus yang sedang disidangkan tersebut.
Amicus Curiae berbeda dengan pihak dalam intervensi karena para sahabat pengadilan (amici) tidak bertindak sebagai pihak dalam perkara tetapi menaruh perhatian terhadap suatu kasus secara khusus
Namun dalam praktiknya, penggunaan Amicus Curiae ini belum memiliki kepastian hukum karena dapat dikesampingkan oleh hakim.
Sebagai das sein tentang keberadaan hukum, Amicus Curiae, dalam beberapa tuhun terakhir, diperkirakan sejak 2009, muncul di Pengadilan Negeri Indonesia.
Saran dalam Penelitian
Pertama, dalam rangka memberikan kekuatan pembuktian terhadap keberadaan Amicus Curiae sebagai sahabat pengadilan, disarankan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah Republik Indonesia agar dilakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 184 KUHAP dengan memasukan Amicus Curiae sebagai salah satu alat bukti.
Hal ini berguna untuk memberikan kepastian hukum perihal kekuatan dan kedudukan Amicus Curiae di pengadilan sesuai dengan sistem hukum di Indonesia.
Kedua, disarankan kepada Mahkamah Agung agar dibuat aturan baku mengenai Amicus Curiae, sehingga hakim dapat menerapkan sistem pembuktian sebagaimana Teori Conviction Rasionnee yang berbasis nilai-nilai hukum dan keadilan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Sistem tersebut yakni, hukum pembuktian yang tetap menggunakan keyakinan hakim, tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan yang rasional dan Undang-undang yang berlaku berbasis nilai-nilai hukum dan keadilan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat.
Adanya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Penggunaan dan Penerapan Amicus Curiae dalam Perkara Pidana di pengadilan dapat memberikan jaminan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
Penulis: Ronis Natom