Kupang, Vox NTT- Badan Eksekutif Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan (BEMPS) Universitas Widya Mandira (Unwira) Kupang menggelar seminar dalam rangka memperingati Hari Kartini pada Selasa (23/4/2024).
Seminar ini mengusung tema ‘mewujudkan mimpi-mimpi Kartini dengan menjaga semangat kesetaraan, pendidikan dan emansipasi perempuan masa kini’.
Seminar menghadirkan tiga narasumber yaitu Theodora Ewalde Taek sebagai anggota DPRD Kota Kupang periode 2019-2024, Grace Gracelia sebagai staf advokasi kampanye dan pengorganisasian masyarakat Walhi NTT, dan Pater Petrus Tan, SVD sebagai dosen Fakultas Filsafat Unwira.
Seminar ini dihadiri oleh dosen dan mahasiswa Ilmu Pemerintahan Unwira Kupang, aktivis Walhi NTT, dan masyarakat umum.
Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Widya Mandira Eusabius Separera Niron menjelaskan, kegitan seminar sehari untuk memperingati Hari Kartini.
Ini merupakan momentum untuk melakukan refleksi terhadap kerja politik kritis-progresif dari Kartini sebagai seorang perempuan, ibu dan sebagai warga negara untuk memperjuangakan emansipasi kaum perempuan di tengah kunkungan budaya patriaki, penindasan, dominasisi dan hegemoni rezim kolonialialisme dan feodalisme.
Menurut Eusabius, cita-cita, semangat juang, gerakan politik Kartini seharusnya menjadi inspirasi bagi kaum perempuan dari berbagai kelas sosial untuk meningkatkan solidaritas epestemik.
Kemudian gerakan bersama untuk melawan berbagai bentuk tindakan kekerasan dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan dan kelompok marginal lainnya.
“Untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan gender baik dalam ruang privat dan ruang publik,” ujar dosen yang juga pengamat itu.
Saat pemaparan materi, pembicara pertama, Walde Taek menyampaikan gagasan tentang pentingnya kehadiran perempuan dalam politik.
“Hal yang perlu diteladani dalam jiwa Kartini ialah wawasan yang sangat luas, percaya diri dan berjuang,” tuturnya.
Anggota DPRD Kota Kupang Fraksi PKB itu menambahkan, dengan cara tersebut keterlibatan perempuan dalam politik mendapat pengakuan.
“Perempuan harus berani bersuara walaupun banyak fitnah maupun dicemooh dan berani menjadi pemimpin,” ujar Ewalde.
Pembicara kedua, Grace berkomentar tentang situasi perempuan di NTT saat ini. Menurutnya, perempuan NTT menghadapi persoalan lama yaitu sistem patriarki.
“Di NTT, perempuan yang menenun dan perempuan yang bertani adalah perempuan yang memiliki perjuangan.”
Meskipun begitu, menurut Grace, dalam bidang hukum dan politik, hak legal perempuan untuk mencegahnya dari kekerasan masih kurang. Ruang politik juga tidak secara luas melibatkan perempuan.
“Walaupun 30% kuota untuk perempuan di DPR, namun sistem kita masih patriarki. Selain itu, akses perempuan terhadap sumber daya alam juga sangat terbatas,” ujarnya.
Ia menegaskan, tidak ada keadilan gender tanpa keadilan ekologis.
Pembicara ketiga adalah Pater Peter Tan, SVD. Menurut dosen filsafat Unwira ini, perempuan masuk ke ruang publik melalui beberapa cara.
Pertama, melalui spoken words yaitu kemampuan berbicara dan mempengaruhi publik secara lisan.
Kedua, melalui written words yaitu kemampuan menulis. Kartini pada masanya menerobos ke ruang publik melalui kemampuan menulis surat.
Namun, Pater Peter menambahkan bahwa ada cara ketiga perempuan bisa masuk ke ruang publik yaitu melalui tubuhnya.
Dia mengangkat kasus di Besipae dan beberapa tempat di Flores di mana para perempuan menelanjangkan pakaian mereka untuk melawan korporasi.
“Di situ tubuh perempuan bukan tubuh seksual, melainkan tubuh politik,” tuturnya.
Dalam sesi diskusi, salah satu dosen Ilmu Pemerintahan, Yohana Fransiska Medho memberikan tanggapan.
Menurutnya, diskriminasi dan kekerasan berbasis gender sulit hilang sebab telah melekat dalam struktur budaya dan ideologi patriarki yang mengakar kuat dalam masyarakat dari generasi ke generasi.
Apalagi struktur patriarki sering dilegitimasi oleh negara, budaya, dan agama.
Karena itu, dia mengajak seluruh peserta dan perempuan yang hadir untuk berani mematahkan stigma buruk terhadap perempuan, berani menentukan pilihan hidup sendiri, dan bergandengan tangan memperjuangkan hak dan keadilan bagi perempuan.
Dosen lain, Dedi Dhosa, menambahkan bahwa akses perempuan untuk bersaing secara politik akan semakin sulit selama politik kelas dilenyapkan oleh politik kepentingan dan politik identitas.
Menurut Dosen Ilmu Pemerintahan itu, politik identitas sangat kuat dalam setiap kontetasi pemilu sehingga tidak mengakomodasi kepentingan kelas seperti kebutuhan kaum perempuan.
Seminar ini ditutup dengan penandatanganan berita acara, penyerahan piagam, dan pose bersama para pemateri.
Penulis: Ronis Natom