Oleh: Prof. Dr. Drs. Fransiskus Bustan, M.Lib
Dosen Pascasarjana Undana Kupang
Suatu kenyataan yang berterima secara umum, tidak ada suatu masyarakat di muka bumi ini yang hidup tanpa kebudayaan.
Mengapa? Karena kebudayaan adalah hasil olah nalar manusia dalam kapasitas peran sosialnya sebagai anggota suatu masyarakat dalam memandang dunia.
Kebudayaan adalah entitas yang memberikan pakaian arti atau pakaian makna terhadap eksistensi kehidupan manusia sebagai anggota suatu masyarakat pada masa silam, masa sekarang, dan masa akan datang.
Manifestasi kebudayaan sebagai pandangan dunia suatu masyarakat tercermin dalam beragam aspek sebagai unsur bawahannya.
Salah satu aspek budaya sebagai unsur bawahan yang bergayut dengan sektor pertanian adalah konseptualisasi tentang kalender adat pertanian tradisional.
Tulisan ini mengulas sekilas nama-nama bulan dalam kalender adat pertanian tradisional masyarakat Manggarai sebagai pengemban budaya pertanian lahan kering.
Pemilahan dan pemetaan bulan tersebut menarik karena latar penamaannya memadukan fenomena alam dalam satu kesatuan dengan aktivitas pertanian lahan kering yang digeluti masyarakat Manggarai pada masa silam.
Sesuai konseptualisasi yang terpatri dalam peta kognitif masyarakat Manggarai sebagai pengemban budaya pertanian lahan kering, terdapat 12 (dua belas) bulan dalam satu tahun musim.
Seperti tersurat dari nama dan latar penamaannya, bulan tersebut memiliki karakteristiknya masing-masing sebagai ciri pemerlain.
Bulan pertama dinamakan wulang Rengka dalam bahasa Manggarai karena, pada bulan ini, daun kayu berguguran (loda taungs saung haju).
Fenomena alam ini dimaknai masyarakat Manggarai sebagai media pengingat bagi mereka agar mulai menebas dan membersihkan kebun baru (pu’ung rimu agu tapa uma rana).
Bulan kedua dinamakan wulang Bongko dalam bahasa Manggarai karena, pada bulan ini, guntur mulai berbunyi (wangka bon bongko) sebagai media pengingat bagi mereka untuk secepatnya menanam jagung di kebun lama (gelang weri latung olo ko latung lokang).
Bulan ketiga dinamakan wulang Hobal dalam bahasa Manggarai karena, pada bulan ini, padi di kebun baru (one uma rana) mulai ditanam (wangkan weri woja agu latung one uma rana).
Ketentuan umum penanamanya adalah, jagung mesti ditanam lebih dahulu dari padi (olong weri latung po woja) agar proses pertumbuhan kedua jenis tanaman tersebut tidak saling terganggu.
Bulan keempat dinamakan wulang Duru dalam bahasa Manggarai karena bulan ini merupakan jadwal akhir musim tanam padi, terutama tanam padi di kebun lama (tanda paesn weri woja one uma lokang).
Bulan kelima dinamakan wulang Nempong dalam bahasa Manggarai karena, pada bulan ini, mulai menyiang rumput (tawi remang), terutama rumput di sekitar tanaman jagung dan padi. Bulan ini dikenal pula dengan sebutan wulang Tawi ‘bulan menyiang rumput’.
Bulan keenam dinamakan wulang Lideng dalam bahasa Manggarai karena, pada bulan ini, jagung mulai berisi (wangkas icid latung) dan kebun mulai dibersihkan lagi (tawi kole uma), terutama rumput yang tumbuh di sekitar pohon jagung agar tidak menghalangi proses pembuahannya.
Bulan ketujuh dinamakan wulang Poco dalam bahasa Manggarai karena, pada bulan ini, jagung mulai matang atau kering (wangkas te’ed latung) dan siap dipanen (pu’ung poka ko goks latung).
Bulan kedelapan dinamakan wulang Kere Kao dalam bahasa Manggarai karena, pada bulan ini, bulir padi sudah mulai matang dan siap untuk dipanen (pu’ung te’e agu mengkek te ako woja).
Bulan kesembilan dinamakan wulang Caba-cea dalam bahasa Manggarai karena, pada bulan ini, curah hujan sudah mulai berkurang (teki caba cea usang) dan mereka mulai sibuk melakukan persiapan memanen (mengkek kudut ako woja).
Bulan kesepuluh dinamakan wulang Wandu Wak dalam bahasa Manggarai karena, pada bulan ini, mereka begitu sibuk mengangkut hasil panenan dari kebun ke rumah atau ke kampung (nggerpe’ang ngger’one elong mendo ba pe’ang mai uma nggerone beo).
Bulan kesebelas dinamakan wulang Tasak dalam bahasa Manggarai karena, pada atau selama bulan ini, anak-anak biasanya bermain gasing (tasak atau mangka) untuk mengisi waktu senggang.
Bulan ini dikenal pula dengan sebutan wulang Ka’eng Bo (bulan tinggal kosong) karena, pada bulan ini, mereka beristirahat dari berbagai pekerjaan berkaitan dengan kegiatan perladangan.
Bulan keduabelas dinamakan wulang Cece Corang dalam bahasa Manggarai karena, pada bulan ini, laki-laki (ata rona) pergi mencari kayu untuk membuat tangkai parang (ngo kawe haju te pande corang kope), sedangkan perempuan (ata wina) mulai membersihkan kebun lama (ronca lokang).
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi sejawat pembaca, terutama sejawat pembaca yang berasal dari latar belakang kebudayaan Manggarai sembari mengajak untuk melirik kembali realitas masa lalu yang seringkali lupa didokumentasikan.
Meskipun kebermaknaannya tidak begitu menyata pada masa sekarang, realitas masa lalu dapat kita gunakan sebagai tumpuan untuk menata masa depan yang lebih baik.
Bukankah kita mesti mundur beberapa langkah ke belakang, jika kita ingin melompat lebih jauh ke depan.