Oleh: Pater Vinsensius Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Pembukaan
Dengan melibatkan anak disabilitas untuk membacakan bacaan, hal ini menunjukkan inklusivitas dan perhatian Gereja terhadap semua umat, tanpa memandang kondisi fisik atau latar belakang.
Hari ini kita berkumpul dalam perayaan Ekaristi yang penuh berkat, di mana kita merayakan cinta dan kebaikan Tuhan yang tak terhingga.
Dalam suasana iman dan syukur ini, kita diingatkan tentang sebuah kebenaran yang mendalam dan indah—bahwa setiap anak, tanpa terkecuali, adalah milik Kristus.
Ini termasuk anak-anak disabilitas, yang sering kali terlihat terpinggirkan dalam masyarakat kita, namun dalam pandangan Tuhan, mereka memiliki tempat yang istimewa dan berharga dalam keluarga-Nya.
Kita juga merasakan kehadiran dan kasih Paus Fransiskus yang penuh belas kasih. Paus Fransiskus, dengan kebijakan dan perhatian mendalamnya, selalu menekankan bahwa setiap individu, termasuk mereka yang hidup dengan disabilitas, adalah bagian integral dari komunitas iman.
Kasihnya yang tulus dan dedikasinya untuk melayani mereka yang lemah dan terpinggirkan menginspirasi kita semua untuk membuka hati dan pikiran kita terhadap mereka yang sering kali berada di pinggiran.
Hari ini, saat kita menyaksikan anak disabilitas berperan dalam perayaan ini, hati kita dipenuhi dengan rasa haru yang mendalam.
Ini adalah momen yang menyentuh karena mengingatkan kita bahwa kasih Kristus melampaui segala batasan, dan setiap individu—dari yang paling kuat hingga yang paling lemah—adalah berharga dan dicintai oleh Tuhan.
Kehadiran mereka di tengah kita adalah tanda nyata dari belas kasih Tuhan yang merangkul semua orang tanpa syarat.
Lebih dari itu, rasa hirau kita sebagai Gereja di Indonesia terlihat jelas dalam tindakan kita untuk melibatkan anak-anak disabilitas dalam perayaan iman ini.
Kepedulian kita bukan hanya bersifat emosional, tetapi harus diterjemahkan ke dalam tindakan nyata—dalam cara kita melayani, memperhatikan, dan memberikan kesempatan bagi semua orang, tanpa memandang keterbatasan mereka.
Dengan sikap ini, kita menunjukkan bahwa Gereja kita adalah tempat yang menyambut setiap anak Tuhan dengan kasih dan martabat yang sama.
Marilah kita membuka hati kita dalam doa, agar kita senantiasa dipenuhi dengan semangat kasih dan kepedulian yang sama, yang menggerakkan kita untuk merayakan dan melayani setiap anak sebagai milik Kristus.
Semoga perayaan Ekaristi ini menjadi momen yang memperkuat komitmen kita untuk menjadi Gereja yang benar-benar inklusif, penuh belas kasih, dan peduli terhadap semua anak Tuhan, terutama mereka yang membutuhkan perhatian khusus dan istimewa.
Anak Disabilitas juga Milik Kristus
Ketika bacaan pertama tentang kebijaksanaan Kristus dan pernyataan “kalian milik Kristus” dibacakan oleh seorang anak disabilitas, ini memiliki makna teologis dan simbolis yang mendalam.
Keterlibatan anak disabilitas dalam liturgi, terutama dalam menyampaikan pesan tentang kebijaksanaan dan identitas dalam Kristus, mencerminkan ajaran Kristiani yang inklusif dan transformatif.
Dalam Kristus, setiap orang, tanpa memandang keterbatasan fisik atau mental, memiliki martabat yang sama.
Ketika anak disabilitas membacakan pesan ini, Gereja menunjukkan secara simbolis bahwa kebijaksanaan dan kasih Kristus tidak terbatas pada mereka yang dianggap “sempurna” oleh standar dunia, melainkan tersedia untuk semua.
Bacaan tersebut menekankan bahwa kita semua “milik Kristus,” yang berarti setiap orang dihargai, dicintai, dan dipanggil untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan iman, termasuk mereka yang disabilitas.
Ajaran Kristus sering kali menekankan bahwa kekuatan sejati muncul dalam kelemahan, seperti dalam 2 Korintus 12:9, di mana Paulus berkata, “Sebab dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.”
Dengan memberikan peran penting kepada anak disabilitas untuk menyampaikan pesan kebijaksanaan, Gereja menegaskan bahwa kebijaksanaan Tuhan melampaui batasan fisik atau duniawi.
Kebijaksanaan Kristus berbeda dari kebijaksanaan dunia; ini adalah kebijaksanaan yang mengangkat yang lemah, yang dianggap rendah, dan yang sering kali diabaikan.
Dengan melibatkan anak disabilitas dalam perayaan liturgi, Gereja menegaskan bahwa semua orang, terlepas dari kemampuan fisik atau intelektual mereka, adalah bagian dari tubuh Kristus yang satu dan sama.
Tidak ada perbedaan atau pengecualian dalam kasih Kristus. Bacaan tersebut menggarisbawahi bahwa kita semua, termasuk anak disabilitas, adalah milik Kristus, dan setiap anggota tubuh Kristus memiliki peran dan nilai yang tak terpisahkan.
Bacaan yang menyampaikan kebijaksanaan Kristus dan pernyataan bahwa kita adalah “milik Kristus” juga menyiratkan pesan kasih yang mendalam.
Anak disabilitas yang membacakan bacaan ini mengajak kita semua untuk lebih mencintai dan menghargai satu sama lain, terlepas dari perbedaan atau keterbatasan.
Mereka menjadi contoh hidup dari panggilan Kristiani untuk menunjukkan belas kasih dan menghargai martabat setiap orang.
Dalam konteks anak disabilitas yang membacakan bacaan tentang kebijaksanaan Kristus, mereka memberikan kesaksian yang kuat tentang iman yang otentik.
Kehadiran dan partisipasi mereka menegaskan bahwa setiap orang, dalam kondisi apa pun, dapat menjadi pembawa terang dan kasih Tuhan.
Ini juga mengajarkan kita bahwa kebijaksanaan tidak hanya ditemukan dalam kekuatan atau kecerdasan, tetapi dalam keterbukaan hati untuk menerima kasih Kristus dan menjadi saksi-Nya.
Melalui tindakan ini, Gereja merayakan kehadiran semua umat dalam kebersamaan yang mencerminkan kasih dan inklusivitas Kristus, yang selalu menghargai martabat manusia, terutama mereka yang dianggap “kecil” atau “lemah” oleh dunia.
Bacaan tentang kebijaksanaan yang dibacakan oleh anak disabilitas memperlihatkan pesan yang mendalam, bahwa kebijaksanaan bukan hanya milik mereka yang dianggap “sempurna” secara duniawi, tetapi juga bisa ditemukan dalam hati dan jiwa setiap orang, termasuk mereka yang mungkin dipandang berbeda oleh masyarakat.
Ini sejalan dengan ajaran Kristiani tentang kasih, penerimaan, dan penghargaan terhadap setiap individu sebagai ciptaan Allah yang berharga.
Kecintaan Paus Frasnsiskus pada Anak Disabilitas
Ketika anak disabilitas membaca bacaan pertama dalam perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Paus Fransiskus, hubungan antara tindakan ini dan ajaran Paus mencerminkan beberapa nilai penting dalam iman Katolik, terutama yang berkaitan dengan inklusi, martabat manusia, dan semangat pelayanan.
Ada beberapa aspek yang dapat dijelaskan dalam konteks tersebut:
Paus Fransiskus sering menekankan pentingnya memperlakukan setiap orang dengan martabat yang sama, tanpa memandang latar belakang, kondisi fisik, atau status sosial mereka.
Dengan melibatkan anak disabilitas dalam pembacaan bacaan pertama, perayaan ini menegaskan prinsip bahwa setiap orang, tanpa memandang keterbatasan, memiliki tempat dan peran dalam kehidupan liturgi dan komunitas Gereja.
Ini menunjukkan bahwa mereka yang memiliki disabilitas bukan hanya penerima kasih, tetapi juga pelaku aktif dalam iman.
Melibatkan anak disabilitas dalam bagian penting dari liturgi, terutama di hadapan pemimpin tertinggi Gereja Katolik, merupakan simbol yang kuat tentang kasih Tuhan yang melampaui segala batasan duniawi.
Ini selaras dengan pesan Paus Fransiskus yang sering menggarisbawahi bahwa Tuhan melihat hati, bukan penampilan fisik atau kemampuan.
Anak disabilitas yang membaca bacaan mengingatkan kita akan kebenaran bahwa di hadapan Tuhan, kita semua setara dan dicintai tanpa syarat.
Paus Fransiskus dikenal karena pendekatannya yang penuh belas kasih terhadap mereka yang marginal, termasuk orang miskin, orang sakit, dan mereka yang berkebutuhan khusus.
Partisipasi anak disabilitas dalam perayaan Ekaristi adalah bentuk nyata dari pesan tersebut.
Dengan memberi mereka kesempatan untuk berperan aktif, Gereja menunjukkan penghargaan terhadap mereka sebagai anggota yang berharga dari tubuh Kristus, dan mengingatkan umat bahwa kasih Kristus harus menjangkau semua orang.
Dengan anak disabilitas yang membacakan bacaan pertama di hadapan Paus, ada pesan kuat tentang kesetaraan dalam Gereja.
Setiap orang, tanpa memandang kondisi fisik, memiliki tempat yang sama dalam komunitas iman.
Dalam liturgi, semua orang dapat mengambil bagian, dari yang dianggap lemah hingga yang paling kuat, sebagai ungkapan dari tubuh Kristus yang bersatu.
Bacaan pertama, yang sering kali berbicara tentang kebijaksanaan, kasih, atau keadilan Allah, ketika dibacakan oleh seorang anak disabilitas, menekankan bahwa kekuatan dan kebijaksanaan Tuhan sering kali muncul dari kelemahan atau kondisi yang tampaknya terbatas.
Ini menggemakan ajaran dalam 2 Korintus 12:9, di mana Tuhan berkata, “Kuasa-Ku menjadi sempurna dalam kelemahan.” Paus Fransiskus, melalui tindakan ini, menunjukkan bahwa orang-orang yang sering dianggap lemah oleh dunia memiliki potensi besar dalam iman dan pelayanan kepada Tuhan.
Paus Fransiskus selalu menantang umat untuk membuka hati mereka dan menghargai keberagaman dalam komunitas mereka.
Kehadiran dan partisipasi anak disabilitas dalam Ekaristi menantang stereotip dan prasangka yang mungkin ada dalam masyarakat tentang keterbatasan atau kemampuan seseorang.
Paus mengingatkan umat bahwa setiap orang, tanpa memandang kondisi fisik atau mental, dapat membawa pesan ilahi yang kuat dan bermakna.
Melalui tindakan ini, Paus Fransiskus tidak hanya menegaskan pentingnya inklusi dan penghargaan terhadap semua anggota Gereja, tetapi juga mengajarkan bahwa setiap orang, termasuk mereka yang memiliki disabilitas, memiliki peran vital dalam menyampaikan kebijaksanaan Tuhan dan menghadirkan kasih-Nya di dunia.
Hati Haru dan Rasa Hirau
Hati haru dan rasa hirau dalam konteks Gereja Katolik di Indonesia mencerminkan dua perasaan dan sikap yang penting dalam kehidupan spiritual dan sosial umat.
Keduanya saling melengkapi dalam membentuk komunitas yang peduli, penuh kasih, dan tanggap terhadap kebutuhan serta martabat setiap individu.
Haru adalah emosi yang muncul ketika seseorang merasakan sesuatu yang mendalam dan menggerakkan hati, sering kali dipicu oleh tindakan kasih, solidaritas, atau pengalaman iman yang mengungkapkan kebenaran universal. Dalam konteks Gereja di Indonesia, rasa haru dapat muncul dalam berbagai situasi:
Ketika melihat Gereja memberikan ruang bagi mereka yang sering kali terpinggirkan, seperti anak-anak disabilitas atau kelompok rentan lainnya, umat merasakan haru karena ini menunjukkan wajah kasih Tuhan yang nyata.
Kehadiran mereka dalam liturgi atau kehidupan komunitas menunjukkan bahwa setiap orang memiliki tempat dalam keluarga Allah, dan ini bisa sangat menyentuh hati umat yang menyaksikannya.
Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman budaya, bahasa, dan latar belakang sosial. Ketika Gereja di Indonesia berhasil merangkul keberagaman ini dalam perayaan iman, rasa haru sering kali muncul.
Umat merasa tergerak ketika melihat bahwa perbedaan tidak menjadi penghalang, melainkan menjadi kekuatan yang mempersatukan, mencerminkan semangat Gereja sebagai tubuh Kristus yang satu.
Rasa haru juga muncul ketika umat menyaksikan tindakan belas kasih yang nyata, seperti pelayanan kepada orang miskin, orang sakit, atau mereka yang membutuhkan. Ketika Gereja Indonesia mengedepankan pelayanan kepada mereka yang menderita, hati umat tergerak karena ini adalah perwujudan nyata dari ajaran Kristus untuk mencintai sesama tanpa syarat.
Rasa Hirau yang berarti perhatian atau kepedulian, melengkapi rasa haru dengan sikap tanggap terhadap kebutuhan dan realitas sekitar.
Hirau adalah bentuk tindakan nyata yang muncul dari emosi dan kesadaran bahwa ada tanggung jawab moral untuk bertindak. Dalam konteks Gereja Katolik di Indonesia, hirau terwujud dalam beberapa cara:
Gereja di Indonesia dipanggil untuk menunjukkan perhatian khusus kepada mereka yang hidup di pinggiran masyarakat, termasuk orang miskin, mereka yang terkena dampak bencana alam, dan kelompok minoritas.
Hirau terhadap mereka mencerminkan ajakan Paus Fransiskus untuk menjadi “Gereja yang miskin untuk orang miskin.” Sikap hirau ini juga diharapkan dari umat, yang tergerak oleh rasa haru untuk berbuat lebih bagi sesama.
Dalam konteks Indonesia, hirau juga berarti perhatian terhadap isu-isu keadilan sosial dan ekologis. Gereja Indonesia memiliki tanggung jawab untuk bersuara dan bertindak demi melindungi lingkungan dan memberdayakan masyarakat miskin.
Laudato Si’ dari Paus Fransiskus mengajarkan tentang pentingnya merawat bumi sebagai rumah bersama, dan Gereja di Indonesia, yang berada di negara dengan kekayaan alam yang besar namun juga tantangan ekologis, harus menunjukkan kepedulian dalam tindakan konkret.
Rasa Hirau juga tercermin dalam upaya Gereja untuk terlibat dalam pendidikan dan pemberdayaan umat. Gereja di Indonesia memiliki peran besar dalam mendidik generasi muda, membangun kesadaran akan nilai-nilai iman, moral, dan tanggung jawab sosial.
Ini menunjukkan bahwa Gereja tidak hanya bersifat kontemplatif, tetapi juga aktif dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan beradab.
Gereja Katolik di Indonesia harus hirau terhadap tantangan modernitas, seperti globalisasi, sekularisasi, dan perubahan sosial.
Dengan menjadi hirau, Gereja dapat menawarkan solusi berbasis iman, moral, dan kasih yang relevan dengan konteks kehidupan umat hari ini.
Kombinasi antara hati haru dan rasa hirau menawarkan pesan yang kuat untuk Gereja Katolik di Indonesia: Gereja dipanggil untuk menjadi tempat di mana setiap orang, tanpa memandang kondisi atau status, diterima dengan kasih dan martabat.
Ini berarti memperhatikan mereka yang membutuhkan dan memperjuangkan keadilan sosial. Hirau menjadi perwujudan nyata dari haru, di mana emosi digerakkan menjadi tindakan.
Melalui rasa haru, umat diingatkan bahwa inklusivitas adalah panggilan iman. Dengan merangkul semua orang, terutama yang sering kali dianggap “lemah” atau “berbeda,” Gereja menunjukkan wajah Kristus yang penuh kasih.
Hirau terhadap inklusi berarti memastikan bahwa semua orang memiliki tempat dalam komunitas Gereja.
Rasa haru harus memotivasi Gereja dan umatnya untuk bertindak demi menciptakan masyarakat yang lebih adil, baik dalam konteks sosial, politik, maupun ekologis.
Hirau terhadap penderitaan orang lain, serta tantangan lingkungan, adalah panggilan Gereja untuk terlibat dalam dunia dan memperjuangkan kebaikan bersama.
Rasa haru dan hirau saling melengkapi dalam kehidupan Gereja. Haru membangkitkan perasaan yang mendalam dan menyentuh hati, sedangkan hirau menggerakkan kita untuk bertindak berdasarkan perasaan tersebut.
Dalam konteks Gereja Katolik di Indonesia, keduanya penting dalam membentuk komunitas yang peduli, inklusif, dan bertanggung jawab, yang berkomitmen pada pelayanan kepada Tuhan dan sesama.
Fate Chiasso
Seruan Paus Fransiskus dalam khotbahnya yang berbunyi Fate Chiasso atau “Buatlah Kehebohan demi Kabar Baik” memiliki makna yang mendalam bagi Gereja Katolik, termasuk di Indonesia, khususnya dalam menghadapi era digital dan Revolusi Industri 4.0.
Seruan ini menekankan agar umat Katolik tidak pasif dalam menyebarkan Injil, tetapi justru berani bersuara dan menjadi agen perubahan dengan semangat inovatif, terutama di dunia yang semakin terdigitalisasi.
Dalam konteks era 4.0, di mana teknologi seperti internet, media sosial, kecerdasan buatan, dan big data semakin mendominasi, Gereja di Indonesia perlu kreatif dalam menyampaikan pesan Kabar Baik.
Ini berarti menggunakan teknologi untuk menjangkau lebih banyak orang melalui platform digital, podcast, video, dan media sosial, dengan pendekatan yang relevan dan segar
Paus Fransiskus dikenal sangat peduli dengan keterlibatan kaum muda dalam gereja. Seruan Fate Chiasso dapat diartikan sebagai ajakan untuk memotivasi kaum muda Indonesia agar berpartisipasi aktif dalam kegiatan gereja dan menyebarkan nilai-nilai Injil melalui inovasi teknologi.
Era 4.0 menawarkan kesempatan bagi generasi muda Katolik untuk memanfaatkan alat-alat digital dalam berkarya bagi gereja.
“Buatlah Keheboan” bisa berarti mengambil sikap tegas dalam menghadapi ketidakadilan sosial, ketimpangan ekonomi, dan kerusakan lingkungan.
Gereja Katolik di Indonesia dipanggil untuk bersuara keras dalam memperjuangkan keadilan sosial, hak asasi manusia, dan keberlanjutan lingkungan, sejalan dengan ensiklik Laudato Si’ yang menekankan pentingnya ekologi integral.
Di Indonesia, dengan keragaman agama yang tinggi, seruan ini mengingatkan Gereja untuk aktif dalam membangun dialog antarumat beragama.
Dialog ini bukan hanya tentang berbicara, tetapi juga menciptakan “kehebohan” positif melalui kerja sama lintas agama dalam upaya perdamaian, kesejahteraan sosial, dan pengentasan kemiskinan.
Era 4.0 mengharuskan Gereja untuk beradaptasi dengan perubahan, namun tetap teguh pada misinya. Gereja di Indonesia dapat menggunakan seruan ini untuk terus terbuka terhadap perkembangan zaman, berani melangkah keluar dari zona nyaman, dan merangkul transformasi digital tanpa kehilangan nilai-nilai iman dan moral yang telah menjadi dasar ajaran Katolik.
Seruan Paus ini menjadi panggilan bagi Gereja di Indonesia untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi aktif menciptakan gelombang perubahan dalam konteks lokal dan global, terutama dalam menyebarkan nilai-nilai Injil di dunia yang semakin digital dan terhubung.
Penutup
Hari ini kita telah menyaksikan sebuah momen yang penuh makna dan keindahan dalam perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Paus Fransiskus di Gelora Bung Karno.
Melihat seorang anak disabilitas dengan penuh keyakinan membacakan Kitab Suci di hadapan kita, adalah sebuah ungkapan yang mendalam tentang inklusi dan kasih Tuhan yang tidak mengenal batas. Momen ini bukan hanya mengharukan, tetapi juga menguatkan kita dalam iman dan solidaritas.
Kita tergerak oleh kehadiran dan partisipasi anak tersebut, yang tidak hanya sebagai simbol tetapi juga sebagai contoh hidup tentang apa artinya menjadi bagian dari Tubuh Kristus.
Mereka menunjukkan kepada kita bahwa setiap individu, tanpa memandang keterbatasan fisik atau mental, memiliki peran penting dalam komunitas iman.
Keterlibatan mereka dalam liturgi hari ini adalah perwujudan nyata dari pesan Yesus yang mengatakan bahwa Kerajaan Allah adalah milik mereka yang rendah hati dan penuh kasih.
Paus Fransiskus, dengan kepeduliannya yang mendalam, telah mengajarkan kita nilai-nilai inklusi, kasih sayang, dan penghormatan terhadap martabat setiap manusia.
Melalui tindakan beliau, kita diingatkan akan tanggung jawab kita sebagai Gereja untuk melayani dan merangkul setiap orang, terutama mereka yang sering kali terpinggirkan.
Kehadiran anak disabilitas dalam perayaan ini adalah panggilan bagi kita semua untuk membuka hati dan melibatkan mereka dalam setiap aspek kehidupan gerejani.
Pesan ini sangat relevan untuk Gereja Katolik di Indonesia. Marilah kita menjadikan pengalaman hari ini sebagai dorongan untuk menerapkan prinsip inklusi dalam setiap dimensi kehidupan gereja kita.
Kita diajak untuk tidak hanya merayakan, tetapi juga untuk mewujudkan kasih Kristus dalam tindakan nyata—dengan menciptakan lingkungan yang terbuka, menerima, dan mendukung bagi semua, terutama mereka yang berkebutuhan khusus.
Dengan penuh syukur, mari kita terus berdoa dan bekerja keras untuk memastikan bahwa Gereja kita adalah tempat di mana setiap individu merasa dihargai dan diterima.
Semoga kita selalu terinspirasi oleh kasih dan belas kasih Kristus, dan melanjutkan misi kita untuk melayani dengan tulus dan penuh perhatian, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Paus Fransiskus.
Semoga berkat Tuhan menyertai kita semua, dan semoga setiap langkah kita menuju inklusi dan kasih sayang menjadi berkat bagi seluruh komunitas iman kita.