Oleh: Pater Vinsensius Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Pendahuluan
Kaesang Pangarep sebagai putera penyelenggara negara menuturkan secara runut dan runtut ke Pahala di Komisi Pemberatasan Korupsi bahwasanya dia pergi ke Amerika Serikat dengan “nebeng” pesawat dari temannya yang berinisial Y.
Sejak kala itulah kata nebeng semakin keren laris manis digunakan dalam dunia usaha dan politik jelang iklim dan suasana Pilkada.
Nebeng naik kendaraan teman sebaya tanpa bayar mungkin boleh boleh saja, tetapi nebeng politik mebawa bala bencana bagi pelayanan dan keadaban publik dan kemakmuran rakyat. Karena itu nebeng politik sejatinya dihindari.
Dalam kehidupan sehari-hari, “nebeng naik kendaraan teman” mungkin dianggap sebagai hal yang wajar dan tidak masalah.
Ini adalah tindakan yang seringkali dianggap sebagai bantuan kecil atau bantuan sosial (bansos) dalam mobilitas sehari-hari tanpa melibatkan konsekuensi besar.
Namun, ketika konsep ini diterapkan dalam konteks politik, khususnya dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), maknanya menjadi jauh lebih kompleks dan penuh implikasi bagi kebaikan umum.
Nebeng politik, atau memanfaatkan hubungan atau pengaruh untuk meraih posisi politik, sering kali membawa dampak negatif yang signifikan terhadap integritas sistem demokrasi.
Fenomena ini tidak hanya menyuburkan praktik nepotisme, kolusi, dan korupsi, tetapi juga memperkuat oligarki dan kalkulasi kekuasaan yang mengabaikan nilai-nilai moral.
Ketika individu atau kelompok menggunakan kekuasaan dan koneksi pribadi untuk memperoleh jabatan politik, hasil akhirnya sering kali adalah pemilihan pemimpin yang tidak didasarkan pada kualitas dan kemampuan dan kapabilitas individu, melainkan pada keuntungan politik dan ekonomi.
Situasi ini menciptakan lingkungan di mana pemimpin yang terpilih mungkin lebih berfokus pada mempertahankan kekuasaan dan melayani kepentingan kelompok tertentu daripada memajukan kesejahteraan umum.
Oleh karena itu, penting untuk menghindari praktik nebeng politik dalam Pilkada dan mendorong proses pemilihan yang lebih bersih dan transparan.
Kepemimpinan publik yang sederhana, yang ditandai dengan integritas, kesederhanaan, dan dedikasi terhadap pelayanan publik, merupakan kunci untuk menciptakan pemerintahan yang adil dan efektif.
Dengan mengutamakan prinsip kesederhanaan dalam kepemimpinan publik, Pilkada dapat menghasilkan pemimpin yang benar-benar fokus pada kesejahteraan rakyat, mengurangi kesenjangan sosial, dan mempromosikan keadilan sosial.
Hal ini bukan hanya akan memperbaiki kualitas pemerintahan, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap proses politik, mendukung stabilitas sosial, dan memastikan kebahagiaan berkelanjutan bagi semua lapisan masyarakat.
Nebeng Politik Tidak Bermoral
“Nebeng politik” adalah istilah yang digunakan dalam konteks politik Indonesia untuk menggambarkan situasi di mana seseorang atau sekelompok orang mencoba memanfaatkan atau menumpang kepentingan politik dari pihak lain demi keuntungan pribadi atau kelompok mereka sendiri.
Biasanya, ini dilakukan tanpa benar-benar berkontribusi secara signifikan terhadap perjuangan politik yang diusung, melainkan hanya untuk mendapatkan keuntungan dari hasil politik pihak yang ditumpangi.
Dalam prakteknya, orang yang melakukan “nebeng politik” mungkin mendukung atau bergabung dengan gerakan atau partai politik tertentu hanya karena kesempatan untuk mendapatkan kekuasaan, posisi, atau keuntungan lainnya, bukan karena keyakinan ideologis atau tujuan yang sama.
Nebeng politik dalam Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sering dianggap tidak bermoral. Adapun alasannya.
Nebeng politik cenderung mengesampingkan tujuan utama dari sebuah pemilu, yaitu memilih pemimpin berdasarkan integritas, kompetensi, dan rekam jejak yang baik.
Ketika seorang kandidat atau partai politik nebeng pada popularitas atau kekuatan politik pihak lain, mereka cenderung mengutamakan strategi kemenangan di atas kepentingan publik.
Ini menciptakan ilusi dukungan, tanpa komitmen yang jelas terhadap program atau visi yang sebenarnya mereka perjuangkan, yang pada akhirnya merusak prinsip demokrasi.
Pilkada seharusnya menjadi ajang untuk mengedepankan kepentingan masyarakat. Namun, ketika praktik nebeng politik terjadi, kepentingan publik seringkali menjadi subordinat dari kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Para kandidat yang terlibat dalam nebeng politik cenderung berfokus pada keuntungan jangka pendek, seperti jabatan atau kekuasaan, alih-alih mempertimbangkan kesejahteraan jangka panjang masyarakat yang mereka pimpin.
Nebeng politik juga mengurangi akuntabilitas kandidat terhadap pemilih. Karena kandidat tidak sepenuhnya mengandalkan popularitas atau kemampuan mereka sendiri, tetapi lebih pada aliansi politik yang nebeng, mereka merasa kurang bertanggung jawab langsung kepada konstituen.
Akibatnya, ketika terpilih, mereka mungkin lebih loyal kepada pihak atau individu yang telah mereka tumpangi daripada kepada masyarakat yang memilih mereka.
Nebeng politik merusak prinsip persaingan yang adil dalam politik, di mana setiap kandidat seharusnya bersaing berdasarkan program, kinerja, dan ide-ide mereka.
Praktik ini sering digunakan untuk mengecoh atau menipu pemilih dengan memperkenalkan aliansi palsu atau manipulasi kekuatan politik, yang mengurangi transparansi dan merusak kualitas demokrasi.
Dengan adanya nebeng politik, seringkali kandidat yang sebenarnya kompeten dan memiliki kualitas kepemimpinan yang baik tersisih karena kalah dari kekuatan aliansi politik yang nebeng pada pihak yang lebih populer.
Ini menciptakan ketidakadilan dan mengurangi kesempatan bagi kandidat berbakat yang lebih layak untuk berkompetisi secara sehat.
Pertimbangan Pragmatisme Politik
Pragmatisme politik adalah pendekatan politik yang mengutamakan hasil nyata atau praktis daripada prinsip ideologis atau nilai moral.
Dalam konteks Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah), pragmatisme politik mengacu pada tindakan atau keputusan politik yang diambil dengan tujuan utama untuk mencapai kemenangan atau kepentingan politik, sering kali dengan mengorbankan prinsip-prinsip idealisme atau integritas.
Para aktor politik yang menerapkan pragmatisme politik cenderung lebih fokus pada efektivitas strategi politik dan hasil elektoral ketimbang komitmen pada platform atau janji politik yang koheren dan ideal.
Pragmatisme politik dalam Pilkada menempatkan kemenangan sebagai tujuan utama, mengesampingkan apakah kandidat atau partai berpegang teguh pada prinsip atau janji yang mereka buat.
Strategi politik yang diambil lebih berorientasi pada mendapatkan suara sebanyak mungkin, melalui berbagai cara, termasuk koalisi strategis atau dukungan dari berbagai kelompok yang mungkin tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diusung.
Kandidat atau partai yang mengadopsi pendekatan pragmatis akan bersedia melakukan aliansi dengan pihak manapun yang dianggap menguntungkan untuk memenangkan Pilkada.
Ini sering terlihat dalam bentuk koalisi politik yang tidak didasarkan pada kesamaan visi atau ideologi, tetapi lebih pada kekuatan suara atau modal politik yang dapat diberikan oleh mitra koalisi tersebut.
Pragmatisme politik cenderung mengorbankan idealisme atau cita-cita besar demi mencapai hasil politik yang instan. Dalam Pilkada, hal ini terlihat dalam bentuk janji-janji politik yang dapat berubah atau tidak diprioritaskan begitu kandidat berhasil mendapatkan kekuasaan.
Dalam konteks pragmatisme politik, kandidat sering kali memanfaatkan segala sumber daya yang ada, termasuk uang, jaringan sosial, media, dan popularitas tokoh-tokoh berpengaruh, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya terhadap kualitas demokrasi.
Salah satu elemen utama pragmatisme politik adalah kemampuan untuk membentuk koalisi atau aliansi dengan kelompok atau individu yang kuat secara politik.
Koalisi ini sering tidak didasarkan pada kesamaan ideologi atau visi, tetapi pada kepentingan pragmatis untuk mendapatkan dukungan suara atau sumber daya lainnya.
Pragmatisme politik mengandalkan negosiasi untuk mendapatkan keuntungan politik, termasuk dengan pihak-pihak yang sebelumnya tidak dianggap sebagai sekutu. Ini dapat berupa negosiasi untuk posisi strategis atau janji pengaruh pasca-pemilu.
Dalam Pilkada, pragmatisme politik sering kali menggunakan sumber daya ekonomi dan pengaruh untuk mendapatkan dukungan. Bentuknya bisa beragam, mulai dari politik uang (vote buying) hingga penggunaan media dan jaringan sosial untuk mempengaruhi opini publik.
Kandidat yang pragmatis cenderung mudah mengubah atau menyesuaikan posisi mereka terhadap isu-isu tertentu sesuai dengan kebutuhan politik saat itu. Mereka mungkin akan meninggalkan atau memperlunak posisi mereka terhadap suatu isu jika itu tidak menguntungkan bagi peluang mereka untuk menang.
Pragmatisme politik sering kali mengorbankan kualitas dan kompetensi pemimpin demi memenangkan pemilu.
Kandidat yang sebenarnya tidak kompeten atau tidak memiliki visi yang jelas dapat memenangkan Pilkada karena dukungan taktis dari aliansi atau kekuatan politik yang besar.
Akibatnya, masyarakat berpotensi mendapatkan pemimpin yang tidak mampu memberikan solusi jangka panjang bagi masalah lokal.
Pragmatisme politik mendorong penggunaan segala cara untuk memenangkan pemilu, termasuk yang melanggar standar etika dan moral.
Politik uang, kampanye hitam, dan manipulasi media sering digunakan untuk mencapai tujuan pragmatis. Ini merusak kepercayaan publik terhadap integritas sistem politik dan demokrasi itu sendiri.
Kandidat yang terpilih melalui pendekatan pragmatis cenderung kurang akuntabel terhadap masyarakat karena mereka lebih berorientasi pada pemenuhan janji politik terhadap aliansi atau kelompok kepentingan yang mendukung mereka.
Akibatnya, transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan lokal bisa terabaikan, mengarah pada praktik-praktik korupsi dan nepotisme.
Pragmatisme politik sering kali menghasilkan ketidakadilan dalam proses pemilu. Kandidat yang seharusnya lebih kompeten dan memiliki visi jelas bisa kalah karena tidak memiliki aliansi politik yang kuat atau sumber daya yang cukup.
Hal ini menciptakan ketidakseimbangan dalam kompetisi politik, di mana hasil Pilkada lebih ditentukan oleh kekuatan pragmatis daripada kehendak rakyat yang berdasarkan penilaian objektif terhadap calon pemimpin.
Praktik pragmatisme politik dapat meningkatkan polarisasi di masyarakat. Kandidat yang bersedia berkoalisi dengan kelompok atau partai yang memiliki agenda kontroversial demi keuntungan politik jangka pendek dapat memicu konflik antar-kelompok di masyarakat. Ini berdampak negatif pada kohesi sosial dan stabilitas politik lokal.
Pragmatisme politik dalam Pilkada menghasilkan tantangan serius bagi kualitas demokrasi dan kepemimpinan lokal. Dengan lebih mementingkan kemenangan daripada kualitas kepemimpinan, praktek ini mengancam untuk merusak proses demokrasi yang sehat dan merugikan masyarakat dalam jangka panjang.
Mengorbankan Prinsip Integritas dan Keadaban Publik
Nebeng politik dan pragmatisme politik memiliki dampak yang signifikan terhadap pengabaian prinsip integritas dan keadaban publik dalam Pilkada.
Pragmatisme politik dan nebeng politik sering kali menempatkan tujuan akhir berupa kemenangan politik di atas nilai-nilai moral seperti integritas dan etika.
Dalam hal ini, kandidat atau partai yang bersifat pragmatis akan lebih fokus pada cara-cara instan untuk meraih dukungan, misalnya melalui aliansi dengan tokoh atau partai kuat tanpa memikirkan keselarasan visi dan prinsip.
Akibatnya, nilai-nilai seperti kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab kepada masyarakat menjadi tersingkir.
Ketika fokus hanya pada hasil akhir (kemenangan), integritas kandidat atau partai sering dikompromikan, dan hal ini menurunkan standar moral dalam proses demokrasi.
Nebeng politik mendorong praktik politik transaksional, di mana kandidat memanfaatkan hubungan atau kekuatan pihak lain untuk mencapai tujuannya.
Ini menciptakan ketergantungan antara kandidat dan aktor yang mendukungnya, sering kali dengan imbalan politik atau ekonomi.
Hubungan semacam ini tidak hanya mengorbankan integritas kandidat tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap proses politik.
Masyarakat menjadi sinis terhadap integritas pemimpin karena mereka melihat bahwa pemilihan lebih didasarkan pada aliansi strategis dan kekuatan transaksional daripada kejujuran atau kompetensi pemimpin itu sendiri.
Pragmatisme politik sering kali mengarah pada pengabaian kepentingan publik demi keuntungan pribadi atau kelompok politik tertentu.
Dalam praktik nebeng politik, kandidat bisa saja memprioritaskan agenda kelompok yang mendukungnya daripada merespons kebutuhan masyarakat secara luas.
Ketika pemimpin yang terpilih merasa lebih terikat pada aliansi politik mereka daripada kepada rakyat, keadaban publik—yang mengutamakan kesejahteraan umum dan moralitas dalam kepemimpinan—terpinggirkan.
Ketika pemilih menyadari bahwa banyak keputusan politik dibuat bukan berdasarkan kualitas kandidat atau program politik yang jelas, tetapi karena aliansi atau strategi pragmatis, kepercayaan terhadap sistem politik menurun.
Proses pemilu yang seharusnya menjadi ajang partisipasi publik dalam memilih pemimpin yang berintegritas berubah menjadi arena permainan kekuasaan.
Akibatnya, prinsip keadaban publik yang menuntut keterbukaan, keadilan, dan transparansi dalam politik dilanggar, karena yang tampak adalah kalkulasi politik yang menguntungkan segelintir pihak.
Pemimpin yang naik melalui praktik nebeng politik cenderung kurang akuntabel kepada publik karena mereka merasa lebih bertanggung jawab kepada tokoh atau partai yang memberikan dukungan politik.
Hal ini melemahkan ikatan antara pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya, karena pemimpin tersebut lebih sibuk menjaga hubungan politik dengan pihak-pihak yang membantunya naik ke tampuk kekuasaan.
Akibatnya, prinsip integritas dalam kepemimpinan—yang seharusnya mengutamakan pelayanan kepada rakyat dan keterbukaan dalam pemerintahan—dikesampingkan demi memenuhi kewajiban kepada pihak yang mendukung mereka.
Pragmatisme politik dan nebeng politik sering kali mengarah pada polarisasi sosial, di mana aliansi atau koalisi pragmatis didasarkan pada pembagian kekuatan politik yang terfragmentasi.
Hal ini dapat memicu konflik antar-kelompok dalam masyarakat, di mana masing-masing kelompok merasa lebih berhak atau lebih diuntungkan oleh kandidat atau partai tertentu.
Dampaknya, prinsip keadaban publik yang mengedepankan keharmonisan sosial dan inklusivitas justru dirusak oleh pertarungan kepentingan politik yang sempit dan eksklusif.
Ketika pragmatisme politik dan nebeng politik mendominasi, standar etika politik cenderung mengalami degradasi.
Politisi yang menerapkan strategi pragmatis sering kali tidak merasa perlu mematuhi kode etik atau norma-norma yang berlaku dalam politik.
Mereka lebih fokus pada bagaimana memenangkan pemilu, bahkan jika itu berarti menggunakan taktik yang tidak etis seperti manipulasi informasi, politik uang, atau kampanye hitam.
Ini merusak moralitas politik secara umum, menciptakan budaya politik yang permisif terhadap praktik-praktik tidak etis.
Nebeng politik dan pragmatisme politik berkontribusi langsung pada pengabaian prinsip integritas dan keadaban publik dalam Pilkada.
Praktik-praktik ini menempatkan kepentingan pribadi atau kelompok politik di atas kepentingan rakyat dan merusak esensi demokrasi yang seharusnya berlandaskan pada transparansi, kejujuran, dan tanggung jawab moral.
Dengan begitu, kualitas kepemimpinan yang dihasilkan dari Pilkada yang diwarnai oleh pragmatisme politik cenderung rendah, dan hal ini berdampak pada kerusakan kepercayaan publik terhadap sistem politik.
Integritas dan keadaban publik merupakan fondasi utama bagi terciptanya politik yang sehat, tetapi nebeng politik dan pragmatisme politik merusak fondasi ini dengan mengutamakan kalkulasi kekuasaan di atas nilai-nilai moral.
Mengutamakan Kalkulasi Kekuasaan di Atas Nilai–nilai Moral
Nebeng politik dan pragmatisme politik sering kali mengutamakan kalkulasi kepentingan kekuasaan di atas nilai-nilai moral yang seharusnya berfokus pada kesejahteraan, kebaikan umum, dan keadilan sosial.
Pragmatisme politik dan nebeng politik menempatkan kepentingan kekuasaan di atas prinsip-prinsip moral, seperti kejujuran, integritas, dan keadilan.
Dalam konteks Pilkada, keputusan politik tidak lagi didasarkan pada apa yang benar secara moral atau etis, tetapi pada cara paling efektif untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Misalnya, kandidat bisa saja membentuk aliansi dengan kelompok atau individu yang memiliki kekuatan besar, meskipun visi dan nilai mereka bertentangan.
Fokus utamanya adalah pada hasil akhir, bukan pada cara yang benar secara etis untuk mencapai tujuan tersebut.
Nebeng politik memungkinkan kandidat memanfaatkan jaringan atau pengaruh pihak lain demi mencapai kekuasaan, sering kali dengan mengorbankan kepentingan publik.
Setelah terpilih, pemimpin yang berkuasa melalui taktik semacam ini lebih cenderung melayani kepentingan pribadi atau kelompok politik yang mendukung mereka daripada memperjuangkan kesejahteraan umum.
Akibatnya, sumber daya negara yang seharusnya dimanfaatkan untuk keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat malah digunakan untuk memperkaya kelompok tertentu atau mempertahankan status quo.
Kandidat yang menggunakan pragmatisme politik sering kali merasa tidak bertanggung jawab kepada masyarakat karena mereka naik ke tampuk kekuasaan bukan melalui kepercayaan publik yang tulus, melainkan melalui aliansi politik atau praktik pragmatis lainnya.
Ini menciptakan jarak antara pemimpin dan rakyat, di mana pemimpin lebih fokus pada kepentingan kekuasaan daripada memenuhi kebutuhan sosial seperti akses kesehatan, pendidikan, dan kesetaraan sosial. Akibatnya, keadilan sosial, yang seharusnya menjadi tujuan utama politik, justru terabaikan.
Pragmatisme politik sering kali menyebabkan pemimpin mengutamakan kepentingan jangka pendek untuk mendapatkan dukungan politik, seperti memberikan insentif atau proyek-proyek kepada kelompok-kelompok tertentu.
Sementara itu, program-program yang benar-benar bisa meningkatkan kesejahteraan umum dan memperbaiki kondisi sosial-ekonomi masyarakat luas tidak dijalankan secara optimal.
Kebijakan yang seharusnya memprioritaskan kepentingan masyarakat terpinggirkan karena lebih banyak berfokus pada strategi politik untuk mempertahankan kekuasaan.
Ketika masyarakat melihat bahwa pemimpin yang terpilih lebih mementingkan kalkulasi kekuasaan daripada keadilan sosial dan kesejahteraan umum, mereka menjadi semakin skeptis terhadap sistem politik.
Hal ini menciptakan ketidakpercayaan terhadap proses demokrasi, di mana politik hanya dilihat sebagai permainan kekuasaan, bukan sebagai sarana untuk mencapai keadilan sosial.
Rakyat yang seharusnya menjadi subjek utama dalam proses politik, menjadi korban dari politik yang hanya berorientasi pada keuntungan pragmatis.
Pragmatisme politik dan nebeng politik sering kali mengarah pada praktik-praktik yang mengorbankan keadilan sosial, seperti politik uang, manipulasi, dan praktik politik transaksional.
Dalam situasi ini, kelompok masyarakat yang lebih lemah atau marginal sering kali tidak mendapatkan perlindungan atau perhatian yang adil dari pemimpin yang hanya peduli pada kekuasaan dan stabilitas politiknya.
Alih-alih memperjuangkan distribusi sumber daya yang adil dan memastikan semua orang mendapatkan akses yang setara, para pemimpin pragmatis lebih sibuk menjaga dukungan politik mereka dari elite atau kelompok tertentu.
Kombinasi nebeng politik dan pragmatisme politik secara perlahan menurunkan standar moral dalam politik.
Ketika para kandidat merasa bahwa mereka bisa menggunakan cara-cara pragmatis untuk meraih kekuasaan, mereka tidak lagi merasa harus mematuhi standar etika yang tinggi.
Ini menciptakan preseden buruk dalam politik, di mana nilai-nilai moral dianggap sebagai beban, dan keberhasilan politik diukur hanya dari pencapaian kekuasaan tanpa memandang bagaimana kekuasaan tersebut diperoleh.
Nebeng politik juga cenderung memperkuat oligarki politik, di mana kekuasaan politik dikuasai oleh segelintir elite atau kelompok yang saling mendukung untuk mempertahankan dominasi mereka.
Dalam kondisi ini, proses politik menjadi tidak inklusif, dan kelompok-kelompok marginal tidak memiliki akses yang cukup untuk memperjuangkan hak dan kesejahteraan mereka.
Prinsip keadilan sosial, yang seharusnya menjadi tujuan politik demokratis, justru tersingkir karena pengaruh oligarki yang semakin kuat dalam proses politik.
Nebeng politik dan pragmatisme politik pada akhirnya menurunkan standar integritas dan mengabaikan nilai-nilai moral yang seharusnya dijunjung tinggi dalam proses demokrasi.
Dengan fokus utama pada kekuasaan, prinsip kesejahteraan umum dan keadilan sosial sering kali diabaikan, menyebabkan ketidakpercayaan publik terhadap sistem politik dan memperburuk ketimpangan sosial.
Integritas politik yang seharusnya melayani masyarakat secara adil dan transparan menjadi kabur di bawah tekanan kepentingan pragmatis dan kalkulasi kekuasaan.
Memperkuat Oligarki Politik, Nepotisme, Kolusi dan Korupsi
Nebeng politik secara signifikan mempertebal fenomena oligarki politik, nepotisme, kolusi, dan korupsi di tingkat lokal dan nasional, terutama dalam konteks Pilkada.
Nebeng politik memperkuat oligarki politik dengan cara memastikan bahwa kekuasaan tetap terkonsentrasi pada kelompok kecil yang memiliki kontrol besar atas sumber daya ekonomi dan politik.
Para pemimpin yang terpilih melalui jalur ini sering kali adalah bagian dari dinasti politik atau kelompok elite yang sudah mapan.
Mereka cenderung lebih loyal kepada para patron atau elite yang mendukung pencalonan mereka daripada kepada rakyat, menciptakan siklus kekuasaan yang sulit ditembus oleh orang luar atau masyarakat yang kurang berkuasa.
Oligarki dalam hal ini mengacu pada sekelompok kecil orang yang memegang kekuasaan dominan di atas mayoritas, biasanya melalui kontrol ekonomi atau politik.
Pemimpin yang naik melalui nebeng politik sering menjadi bagian dari jaringan oligarki ini, memastikan keberlanjutan dominasi kelompok-kelompok ini dalam pengambilan keputusan politik.
Dalam praktik nebeng politik, nepotisme sering menjadi bagian integral dari bagaimana kekuasaan dipertahankan dan diwariskan.
Pemimpin yang terpilih melalui dukungan politik dari elite tertentu akan merasa terikat untuk memberikan imbalan dalam bentuk jabatan atau akses kekuasaan kepada keluarga atau kerabat dari elite tersebut.
Nepotisme ini mengakibatkan jabatan-jabatan strategis di pemerintahan diberikan bukan berdasarkan kompetensi, melainkan hubungan keluarga atau kekerabatan.
Nepotisme ini merusak efisiensi dan kualitas birokrasi, karena individu-individu yang dipilih tidak selalu memiliki kapasitas atau pengalaman yang sesuai untuk menjalankan peran tersebut.
Sebaliknya, mereka cenderung melayani kepentingan pribadi atau keluarga yang mengangkat mereka ke posisi kekuasaan.
Nebeng politik menciptakan lingkungan yang subur untuk kolusi, di mana aktor-aktor politik dan ekonomi bekerja sama untuk mempertahankan kekuasaan melalui hubungan yang saling menguntungkan.
Pemimpin yang terpilih melalui dukungan elite biasanya akan membalas dukungan tersebut dengan memberikan kontrak, proyek, atau kebijakan yang menguntungkan kelompok-kelompok tertentu.
Kolusi ini sering terjadi secara diam-diam, dan hasilnya adalah kebijakan yang tidak inklusif, di mana kepentingan publik diabaikan demi keuntungan kelompok tertentu.
Kolusi melibatkan kesepakatan tidak sah antara para pemimpin politik dan pelaku bisnis atau kelompok elite lain, sering kali dengan tujuan mempertahankan status quo yang menguntungkan kedua belah pihak.
Ini membuat praktik politik menjadi semakin tidak transparan, dengan prioritas utama terfokus pada mempertahankan kekuasaan dan keuntungan pribadi.
Korupsi adalah salah satu dampak paling nyata dari nebeng politik. Ketika seorang kandidat naik melalui jalur nebeng politik, mereka sering kali merasa terhutang budi kepada pihak-pihak yang membantu mereka meraih kekuasaan.
Untuk membayar kembali dukungan tersebut, mereka cenderung menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki dengan cara mengalihkan dana publik, memfasilitasi proyek-proyek pemerintah untuk perusahaan tertentu, atau memberikan konsesi ekonomi kepada kelompok-kelompok elite yang mendukung mereka.
Korupsi dalam konteks ini menjadi sistematis karena aktor-aktor politik dan ekonomi bekerja sama dalam skema yang dirancang untuk menguntungkan diri sendiri dengan merugikan kepentingan publik.
Korupsi tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, tetapi juga memperburuk kemiskinan dan ketidaksetaraan.
Fenomena nebeng politik mengikis prinsip integritas politik karena pemimpin-pemimpin yang naik melalui jalur ini sering kali mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok daripada kesejahteraan umum.
Keputusan-keputusan politik yang diambil tidak lagi didasarkan pada nilai moral atau kebutuhan masyarakat luas, tetapi pada bagaimana memastikan kekuasaan tetap berada di tangan kelompok-kelompok tertentu.
Integritas politik, yang seharusnya menjadi fondasi bagi pemimpin yang bertanggung jawab kepada rakyat, justru dikorbankan dalam praktik nebeng politik.
Pemimpin lebih berfokus pada melindungi kekuasaan dan mempertahankan sistem patronase yang telah membantu mereka.
Oligarki politik yang diperkuat oleh nebeng politik memperburuk kesenjangan sosial. Sebagian besar kekayaan dan sumber daya terkonsentrasi pada tangan segelintir elite, sementara sebagian besar masyarakat, terutama kelas menengah bawah dan masyarakat miskin, tidak memiliki akses yang sama terhadap peluang ekonomi dan politik.
Praktik ini menghambat mobilitas sosial dan menyebabkan stagnasi dalam pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Kesenjangan ini memicu ketidakpuasan di kalangan rakyat, yang merasa bahwa pemerintah tidak mewakili kepentingan mereka, melainkan hanya melayani segelintir orang yang sudah kaya dan berkuasa.
Nebeng politik juga menurunkan partisipasi politik rakyat. Ketika masyarakat melihat bahwa proses politik telah dikuasai oleh elite yang terus-menerus mempertahankan kekuasaan melalui cara-cara yang tidak demokratis, mereka menjadi apatis terhadap proses politik. Ini mengurangi partisipasi mereka dalam pemilu dan aktivitas politik lainnya, sehingga memperkuat kekuasaan oligarki.
Apatisme politik ini memperburuk keadaan demokrasi, di mana suara rakyat menjadi semakin terpinggirkan dan hanya sedikit yang merasa bahwa mereka dapat membuat perbedaan dalam sistem politik yang telah terkooptasi.
Nebeng politik memperkuat oligarki politik, nepotisme, kolusi, dan korupsi, yang semuanya merusak integritas demokrasi dan kesejahteraan masyarakat.
Sistem ini menciptakan lingkaran setan di mana kekuasaan tetap terkonsentrasi pada kelompok elite kecil, yang memanfaatkan jabatan publik untuk keuntungan pribadi, mengorbankan nilai-nilai moral, keadilan sosial, dan kesejahteraan umum.
Dampak jangka panjangnya adalah ketidakadilan yang semakin meluas, kesenjangan sosial yang semakin tajam, dan melemahnya fondasi demokrasi yang sehat.
Nebeng politik menciptakan ketidakadilan struktural yang memperlebar jarak antara pemimpin dan rakyat, terutama masyarakat miskin dan marginal.
Fenomena ini memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi serta mengarah pada kekayaan kaum elite yang semakin besar, sementara penderitaan kaum miskin semakin mendalam.
Nebeng politik, di mana seorang kandidat mendapatkan kekuasaan melalui jaringan atau dukungan elite tertentu, sering kali mengakibatkan pemimpin tidak memiliki kedekatan atau pemahaman yang mendalam tentang realitas masyarakat miskin.
Karena mereka tidak diangkat berdasarkan aspirasi rakyat yang paling rentan, pemimpin-pemimpin ini lebih cenderung untuk mengabaikan kebutuhan kelompok marginal dan memprioritaskan kepentingan elite penguasa yang membantu mereka meraih kekuasaan.
Praktik nebeng politik membuat pemimpin lebih berfokus pada menjaga hubungan baik dengan elite yang mendukung mereka.
Kebijakan yang diambil sering kali lebih menguntungkan kelompok-kelompok kaya atau berkuasa, baik dalam bentuk kebijakan fiskal, distribusi sumber daya, atau akses ke proyek pemerintah.
Ini memperbesar kekayaan dan kekuasaan kaum elite, sementara masyarakat miskin terus terpinggirkan dan tidak mendapatkan manfaat yang seharusnya mereka dapatkan dari pemerintah.
Nebeng politik mendorong pemimpin untuk menerapkan kebijakan ekonomi yang berpihak pada kepentingan elite dan bisnis besar yang mendukung mereka.
Sementara elite ini mendapatkan keuntungan dari proyek-proyek pemerintah, konsesi lahan, atau kontrak bisnis, masyarakat miskin dan kaum marginal sering kali tidak mendapatkan akses ke sumber daya yang sama.
Akibatnya, ketimpangan ekonomi semakin lebar, dan kekayaan terkonsentrasi pada kelompok elite kecil, sementara kemiskinan ekstrem tetap menjadi masalah besar.
Pemimpin yang terjebak dalam nebeng politik cenderung mengabaikan kebijakan pro-rakyat yang seharusnya difokuskan pada pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat marginal, dan penciptaan lapangan kerja yang layak.
Alih-alih, mereka lebih fokus pada kebijakan jangka pendek yang menguntungkan elite atau proyek besar yang sering kali tidak memberikan manfaat langsung bagi rakyat miskin.
Akibatnya, ketidakadilan sosial semakin parah, dengan banyak keluarga miskin yang tidak mampu meningkatkan taraf hidup mereka.
Kaum elite yang terlibat dalam nebeng politik sering kali menggunakan kekuasaan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara tidak adil.
Misalnya, proyek-proyek pertambangan, perkebunan, atau pembangunan infrastruktur besar yang didukung oleh elite politik sering kali melibatkan penggusuran masyarakat miskin dari tanah mereka.
Penggusuran ini memaksa masyarakat yang sudah miskin untuk hidup dalam kondisi yang lebih sulit dan mengakibatkan kemiskinan ekstrem di kalangan yang paling rentan.
Ketika kebijakan diambil berdasarkan kepentingan elite dan tidak mempertimbangkan kebutuhan masyarakat miskin, hasilnya adalah kebijakan yang tidak inklusif.
Sementara elite mendapatkan akses ke pendidikan, layanan kesehatan, dan kesempatan ekonomi yang lebih baik, masyarakat miskin sering kali terjebak dalam siklus kemiskinan tanpa ada program yang efektif untuk membantu mereka keluar dari kondisi tersebut.
Pemimpin yang naik melalui nebeng politik biasanya kurang berkomitmen untuk menjalankan program-program kesejahteraan yang substansial dan berkelanjutan.
Nebeng politik sering kali mengarah pada distribusi layanan publik yang tidak adil. Sumber daya negara yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, layanan kesehatan, perumahan, dan infrastruktur di daerah miskin sering kali disalurkan ke proyek-proyek yang hanya menguntungkan elite atau wilayah kaya.
Hal ini memperburuk kondisi masyarakat marginal, yang semakin jauh dari akses ke layanan publik yang berkualitas.
Praktik politik pragmatis yang mengabaikan kepentingan publik akan semakin memperdalam kemiskinan ekstrem.
Tanpa intervensi yang berfokus pada kebutuhan mendasar masyarakat miskin, seperti akses ke air bersih, pendidikan, kesehatan, dan pangan, kemiskinan ekstrem akan terus bertahan.
Pemimpin yang terpilih melalui praktik nebeng politik lebih fokus pada kepentingan politik jangka pendek, sehingga tidak ada program atau kebijakan yang strategis untuk mengatasi kemiskinan ekstrem secara menyeluruh.
Nebeng politik secara langsung merusak keadilan sosial, yang seharusnya menjadi tujuan utama kebijakan publik dalam demokrasi. Alih-alih memastikan bahwa semua orang mendapatkan akses yang setara terhadap sumber daya dan kesempatan, politik berbasis kepentingan sempit ini memperkuat ketidaksetaraan. Masyarakat miskin, yang seharusnya dilindungi oleh negara, justru menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka.
Ketika masyarakat melihat bahwa pemerintah lebih mengutamakan kepentingan elite daripada kepentingan mereka, kepercayaan terhadap pemerintah pun menurun. Masyarakat miskin merasa ditinggalkan dan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, yang membuat mereka semakin apatis terhadap politik. Akibatnya, partisipasi politik masyarakat miskin menurun, yang justru memperkuat dominasi elite dalam politik dan memperparah ketidakadilan sosial.
Nebeng politik dan pragmatisme politik merusak prinsip integritas dan keadaban publik dengan menempatkan kalkulasi kepentingan kekuasaan di atas kesejahteraan dan keadilan sosial.
Dampaknya adalah semakin melebarnya ketimpangan antara elite penguasa yang semakin kaya dan masyarakat miskin yang terus menderita.
Ketidakadilan ini menciptakan siklus yang sulit dipatahkan, di mana kekuasaan terus terkonsentrasi pada elite, sementara masyarakat miskin semakin terpinggirkan dari proses politik dan ekonomi yang seharusnya melindungi mereka.
Menegasikan Kualitas dan Kapabilitas Pemimpin
Nebeng politik memang dapat menegasikan atau meniadakan kualitas pemimpin yang mumpuni dalam Pilkada, karena praktik ini merusak esensi pemilihan berdasarkan kompetensi dan rekam jejak calon pemimpin.
Praktik nebeng politik memungkinkan calon yang kurang berkualitas untuk memanfaatkan kekuatan atau popularitas pihak lain, seperti figur politik atau partai yang lebih kuat, untuk meraih kemenangan.
Ini mengaburkan kemampuan sebenarnya dari calon tersebut dan mengalihkan perhatian pemilih dari kualitas seperti kompetensi, integritas, dan visi pembangunan.
Akibatnya, pemilih tidak dapat menilai calon berdasarkan kapabilitas yang sebenarnya, melainkan karena asosiasi mereka dengan tokoh atau kelompok yang lebih berpengaruh.
Nebeng politik sering didorong oleh pertimbangan pragmatisme politik, di mana calon lebih fokus pada strategi untuk memenangkan Pilkada daripada menawarkan solusi nyata untuk permasalahan publik.
Aliansi atau kolaborasi yang dibentuk tidak didasarkan pada kesamaan visi dan misi untuk kepentingan masyarakat, melainkan sekadar untuk mencapai kemenangan politik.
Hal ini mengurangi perhatian pada kualitas individu yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam memilih pemimpin yang mampu membawa perubahan positif.
Seorang pemimpin yang naik melalui nebeng politik cenderung lebih loyal kepada pihak yang memberikan dukungan politik ketimbang kepada masyarakat yang mereka pimpin.
Ketika seorang kandidat memenangkan Pilkada karena aliansi politik yang nebeng pada popularitas pihak lain, tanggung jawab dan akuntabilitasnya terhadap masyarakat bisa menjadi lemah.
Akibatnya, kualitas kepemimpinan yang seharusnya mengutamakan kesejahteraan rakyat tergantikan oleh kepentingan pihak-pihak yang mendukungnya secara politik.
Nebeng politik dapat menghalangi kandidat yang sebenarnya lebih berkualitas tetapi tidak memiliki akses ke aliansi politik yang kuat.
Kandidat-kandidat ini mungkin memiliki visi yang jelas, rekam jejak yang baik, serta kompetensi untuk memimpin, tetapi kalah bersaing dari kandidat yang nebeng pada kekuatan politik yang lebih besar.
Hal ini menciptakan ketidakadilan dalam proses Pilkada, di mana kandidat yang lebih layak dan memiliki program unggulan tersingkir karena kalah dari strategi politik yang hanya berorientasi pada kekuasaan.
Dengan mengabaikan kualitas dan kompetensi calon pemimpin, nebeng politik merusak prinsip persaingan demokrasi yang sehat.
Seharusnya, Pilkada menjadi ajang bagi pemilih untuk menilai dan memilih calon yang terbaik berdasarkan kapasitas mereka untuk memimpin daerah dengan baik.
Namun, nebeng politik justru membuat proses ini menjadi transaksional, di mana kemenangan diraih melalui manipulasi kekuatan politik, bukan melalui kemampuan atau kualitas nyata dari calon.
Nebeng politik secara signifikan menegasikan kualitas pemimpin yang mumpuni karena mengalihkan fokus dari kompetensi calon kepada kalkulasi politik pragmatis.
Akibatnya, kualitas kepemimpinan yang dihasilkan dari Pilkada yang didominasi oleh nebeng politik cenderung tidak optimal dan seringkali berujung pada ketidakmampuan pemimpin untuk melayani kepentingan masyarakat secara efektif.
Praktik nebeng politik mengurangi kualitas demokrasi di tingkat lokal dan berpotensi menciptakan kepemimpinan yang tidak mampu memenuhi harapan masyarakat secara optimal.
Praktik nebeng politik dalam Pilkada bukan hanya melanggar etika politik, tetapi juga menciptakan distorsi dalam proses demokrasi yang sehat. Hal ini membuat kualitas kepemimpinan yang terpilih menjadi tidak maksimal dan berpotensi merugikan rakyat dalam jangka panjang.
Mendambakan Kebersahajaan Pemimpin Publik
Nebeng politik menegasikan kesederhanaan seorang pemimpin publik karena praktik ini sering kali melibatkan penggunaan kekuasaan, pengaruh, atau koneksi untuk mencapai tujuan politik, alih-alih mengandalkan kompetensi, integritas, dan kerja keras.
Kesederhanaan seorang pemimpin publik idealnya tercermin dalam sikap rendah hati, keterbukaan, dan pengabdian yang tulus kepada masyarakat tanpa menggunakan jalur pintas atau koneksi elite.
Dalam konteks “nebeng politik,” seorang calon pemimpin yang memanfaatkan hubungan keluarga atau dukungan dari kelompok elite untuk menduduki jabatan politik cenderung terlihat kurang mandiri dan tidak sepenuhnya mencerminkan prinsip kesederhanaan.
Alih-alih menunjukkan bahwa mereka telah membangun kredibilitas dan reputasi melalui upaya mereka sendiri, calon yang “nebeng” memanfaatkan modal politik dari koneksi pribadi atau keluarga.
Ini bisa membuat masyarakat meragukan motivasi dan kapabilitas mereka sebagai pemimpin yang benar-benar berkomitmen untuk melayani rakyat.
Nebeng politik dalam Pilkada sejatinya dihindari karena kehendak hati Nurani rakyat mendambakan kesederhanaan kepemimpinan publik.
Kesederhanaan dalam kepemimpinan publik tidak hanya tentang gaya hidup yang sederhana, tetapi juga tentang pendekatan yang tulus, tanpa menggunakan keistimewaan atau memanfaatkan posisi kekuasaan demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Nebeng politik justru bertentangan dengan prinsip tersebut karena memprioritaskan kalkulasi politik dan memanfaatkan hubungan untuk memperoleh kekuasaan, bukan atas dasar merit atau kontribusi nyata kepada masyarakat.
Kesederhanaan dalam kepemimpinan publik adalah konsep yang melibatkan pendekatan rendah hati, tidak mencolok, dan tidak mementingkan diri sendiri dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan.
Kepemimpinan yang sederhana berfokus pada pelayanan kepada masyarakat dan tidak memanfaatkan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Kesederhanaan kepemimpinan publik adalah sikap dan pendekatan pemimpin yang menunjukkan keikhlasan, ketulusan, dan ketidakmementingan diri dalam menjalankan fungsi kepemimpinan mereka.
Ini melibatkan penggunaan kekuasaan secara bertanggung jawab dan fokus pada kepentingan umum, tanpa menunjukkan gaya hidup yang mewah atau memanfaatkan posisi untuk keuntungan pribadi.
Pemimpin yang sederhana berorientasi pada pelayanan, bukan pada keuntungan pribadi. Mereka mengutamakan kepentingan rakyat dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan cara yang transparan dan adil.
Kesederhanaan dalam kepemimpinan mencakup sikap terbuka terhadap publik dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan. Pemimpin tidak bersembunyi di balik tabir kekuasaan atau menghindari pertanggungjawaban.
Pemimpin yang sederhana memilih gaya hidup yang sederhana dan tidak mencolok, yang mencerminkan sikap mereka untuk hidup bersama masyarakat dan memahami tantangan yang dihadapi oleh rakyat.
Kesederhanaan mencakup keterlibatan aktif dengan masyarakat, mendengarkan suara rakyat, dan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan.
Kemampuan untuk memahami dan merasakan kondisi rakyat. Pemimpin yang sederhana menunjukkan empati dengan mendengarkan dan merespons kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Memiliki prinsip moral yang kuat penuh integritas dan bertindak dengan kejujuran dalam semua aspek kepemimpinan. Ini termasuk tidak terlibat dalam nepotisme, kolusi dan korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan.
Memiliki etika kerja yang tinggi dan berkomitmen untuk menjalankan tugas dengan dedikasi penuh. Kesederhanaan mencakup kerja keras yang tidak terpengaruh oleh keuntungan pribadi.
Berkomitmen untuk mempromosikan keadilan dan mengurangi ketidaksetaraan sosial, serta berfokus pada kebijakan yang menguntungkan seluruh lapisan masyarakat.
Menjadi pemimpin yang mudah diakses dan terbuka terhadap umpan balik dari masyarakat. Ini menciptakan kepercayaan dan hubungan yang kuat antara pemimpin dan rakyat.
Kepemimpinan yang sederhana dapat menciptakan kebijakan yang lebih adil dan merata, yang mendukung kesejahteraan umum dan mengurangi ketidaksetaraan sosial.
Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas, masyarakat lebih percaya pada pemerintah dan merasa bahwa keputusan yang diambil adalah untuk kepentingan bersama.
Pemimpin yang sederhana lebih cenderung untuk mengimplementasikan kebijakan yang mengurangi kesenjangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.
Dengan keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, kebijakan yang dihasilkan lebih relevan dan efektif dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pemimpin yang sederhana dapat menciptakan lingkungan yang mendukung kebahagiaan berkelanjutan dengan fokus pada kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.
Kesederhanaan dalam kepemimpinan dapat mengurangi ketegangan sosial dan konflik, menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan stabil.
Penutup
“Naik kendaraan teman” mungkin dianggap hal biasa dalam keseharian kita, namun saat berbicara tentang politik, terutama Pilkada, kita harus berhati-hati.
Meskipun nebeng naik kendaraan mungkin tidak memengaruhi banyak hal, nebeng politik jelas membawa dampak yang sangat besar.
Ketika seseorang memanfaatkan kekuasaan atau pengaruh untuk meraih posisi politik, kita tidak hanya berbicara tentang nepotisme, kolusi, atau korupsi—kita juga membicarakan tentang memperkuat oligarki dan kalkulasi kepentingan kekuasaan yang meredam nilai-nilai moral.
Kita semua sepakat bahwa Pilkada seharusnya bukan arena untuk melanggengkan kekuasaan bagi segelintir orang atau kelompok.
Sebaliknya, Pilkada harus menjadi ajang di mana pemimpin-pemimpin yang bersahaja, sederhana, dan bijaksana dapat muncul dan melayani rakyat dengan sepenuh hati.
Hanya dengan cara ini kita dapat memastikan bahwa kepemimpinan yang terpilih benar-benar berdedikasi untuk kesejahteraan rakyat dan memajukan keadilan sosial.
Oleh karena itu, mari kita tegakkan prinsip integritas dan kesederhanaan dalam setiap langkah politik kita.
Hindari praktik nebeng politik yang merugikan dan fokus pada memilih pemimpin yang layak dan berkomitmen pada nilai-nilai moral.
Dengan demikian, Pilkada akan benar-benar menghasilkan pemimpin yang membawa perubahan positif dan memastikan kesejahteraan serta kebahagiaan berkelanjutan bagi seluruh rakyat.
Daftar Pustaka
Sison, A. J. G. (2003).The Moral Capital of Leaders: An Ethical Perspective on Leadership. New York: Routledge.
Kouzes, J. M., & Posner, B. Z. (2017).The Leadership Challenge: How to Make Extraordinary Things Happen in Organizations. San Francisco: Jossey-Bass.
Ciulla, J. B. (2004). Ethics, the Heart of Leadership. Westport: Praeger Publishers.
Hamid, A. (2019). Demokrasi Lokal dan Fenomena Politik Identitas di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Diani, H. (2018). Politics and Governance in Indonesia: The Triumph of the Political Class. New York: Palgrave Macmillan
Sidel, J.T. (1999). Capital, Coercion, and Crime: Bossism in the Philippines. Stanford: Stanford University Press.
Habibie, B.J. (2000). Demokrasi dan Etika Politik di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Aspinal, E. & Fealy, G. (2010). Indonesian Politics and Democracy. Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute.
Muhtadi, B. (2019). Vote Buying in Indonesia: The Mechanics of Electoral Bribery. Singapore: Palgrave Macmillan.
Haris, S.(2018). Elite dan Kekuasaan Politik. Jakarta: LP3ES.
Robison, R., & Hadiz, V. R. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: Routledge.
Hidayat, K. (2019). Politik Kekuasaan dan Marginalisasi Sosial. Yogyakarta: Kanisius.
Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge: Cambridge University Press.
Hadiz, V. R., & Robison, R. (2013). The Political Economy of Oligarchy and Corruption. London: Routledge.
Kwik, K. (2009). Korupsi dan Nepotisme di Indonesia. Jakarta: LP3ES.