Ruteng, Vox NTT – Dugaan kekerasan fisik yang dilakukan aparat terhadap Pemimpin Redaksi (Pemred) Floresa, Herry Kabut, Rabu 2 Oktober 2024 lalu merupakan bentuk pembungkaman keras dan intimidasi terhadap pekerja media. Demikian respons Komnas HAM dan Kompolnas atas kasus tersebut.
Herry diduga ditarik, dicekik, ditendang dan dipukul berkali-kali oleh aparat yang mengamankan aksi unjuk rasa warga yang menentang upaya pematokan lahan geothermal di titik pengeboran atau wellpad D, di Lingko Meter yang juga menjadi bagian dari tanah ulayat Gendang Lungar.
Dalam ulasan kronologinya Herry Kabut mengaku ditarik, dicekik, dipukul dan ditendang oleh aparat hanya karena memotret situasi di lokasi unjuk rasa.
Dua orang Polwan yang merasa tergangggu kemudian memanggil Herry masuk ke dalam mobil untuk menanyakan tujuan mengambil gambar.
Rupanya dua orang Polwan itu belum mengetahui identitas Herry selaku wartawan sekaligus pemimpin redaksi Floresa yang sedang bertugas.
Selaku wartawan dan pemimpin redaksi Herry harus bertanggung jawab terhadap ikhtiar redaksional Floresa yang harus berpihak pada kepentingan rakyat kecil demi mengawal proses pembangunan di NTT.
Floresa memilih menjadi bagian dari gerakan kritis yang mau mengawal sekaligus menjadi penyambung lidah bagi mereka yang seringkali diabaikan.
Itu salah satu alasan Herry berada di Poco Leok siang itu.
Namun, dalam situasi Poco Leok Herry malah mendapat kekerasan fisik oleh aparat yang bertugas mengamankan aksi penolakan warga atas pematokan lahan geothermal.
Berikut kronologi lengkap Herry ditarik, dicekik, dipukul dan ditendang oleh aparat.
Pengakuan Herry yang diterima VoxNtt.com, sebelumnya ditulis Floresa menerangkan bahwa pada 2 Oktober, Herry berangkat menuju Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai setelah mendapat informasi bahwa tiga orang warga adat Poco Leok ditangkap aparat keamanan dalam aksi unjuk rasa menolak proyek geotermal.
Informasi itu rupanya menggerakkan Herry untuk meliput aksi itu.
Ia berangkat dari Ruteng sekitar pukul 13.10 Wita dan tiba sekitar pukul 14.00 Wita di Lingko Meter.
Saat tiba di lokasi, situasi sudah tenang di mana warga tidak lagi berkonfrontasi dengan aparat keamanan.
Saat itu warga tampak duduk santai selesai makan siang. Tampak mobil-mobil aparat, termasuk mobil keranjang Polres Manggarai dengan tiga orang warga dan empat polisi wanita [polwan] di dalamnya.
Beberapa saat kemudian, ia mulai memotret situasi di lokasi itu. Saat itu, tidak satupun aparat keamanan, PT PLN maupun pemerintah yang menegur atau mengimbau untuk tidak mengambil foto dan video.
Herry mengambil 10 gambar di lokasi itu dengan foto terakhir menampilkan tiga orang warga dan dua polwan yang sedang duduk di dalam mobil keranjang polisi.
Saat ia mengambil gambar itu, seorang polwan memanggil dan memintanya naik ke dalam mobil itu.
Polwan itu menanyakan tujuan mengambil gambar itu. Herry menjawab, “saya seorang jurnalis.” Polwan itu lalu bertanya, “jurnalis dari media apa? “dari media Floresa.”
Merespons jawaban itu, polwan itu kembali bertanya, “mana ID card?” mengacu pada kartu pers.
Herry menjawab bahwa ia tidak membawa kartu pers, melainkan surat tugas dan “bisa menunjukan kepada Polwan bahwa Herry benar-benar merupakan jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa.”
Sembari Herry memberikan penjelasan itu, tiba-tiba beberapa anggota polisi, baik yang mengenakan seragam maupun yang memakai baju bebas, mendatangi mobil keranjang itu dan meminta ia untuk turun dari mobil itu.
Mereka menuding Herry sewenang-wenang naik ke mobil itu, mengatakan seolah-olah itu adalah mobil pribadi Herry.
Kepada para aparat itu, Herry berkata “saya naik ke mobil ini karena diminta polwan.”
Para aparat itu lalu memotong pembicaraan Herry dan menyuruhnya turun dari mobil itu.
Saat Herry turun, seseorang di antaranya langsung mengunci leher Herry. Ia dan beberapa aparat lain menarik Herry sejauh kurang lebih 50 meter ke arah timur dari mobil keranjang itu dan sekitar 60 meter dari tempat warga, sambil menanyakan kartu pers Herry.
Kepada mereka, Herry mengulangi penjelasannya kepada polwan itu dan meminta mereka mengecek web Floresa karena di situ terdapat pengakuan dan penegasan bahwa ia adalah jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa.
“Silakan kalian memeriksa web Floresa, di situ ada foto saya dan status saya. Bandingkan muka saya dengan foto itu apakah ada perbedaan atau tidak,” kata Herry.
Herry kemudia berkata, “ID card hanya salah satu item yang bisa menunjukkan identitas selaku wartawan. Masih ada item lain yang bisa dipakai untuk menunjukkan identitas.”
Tanpa menghiraukan penjelasan itu, mereka terus-terusan menuntut Herry menunjukkan kartu pers dan mulai memukulnya, sambil menarik Herry ke samping mobil milik TNI.
Di samping mobil itu, sambil seorang aparat tetap mencekik leher Herry, beberapa lainnya mulai memukul muka dan kepalanya, menarik tas hingga salah satu talinya terputus, dan menendang beberapa bagian tubuh, termasuk kaki.
Beberapa warga merekam aksi pemukulan itu di balik semak-semak, sebelum ketahuan aparat keamanan yang lalu mengejar dan melarang mereka mendokumentasikan pemukulan itu.
Pukulan-pukulan itu menyebabkan pelipis kiri Herry bengkak dan lebam serta lututnya terasa sakit. Cekikan mereka juga membuat rahang kanan dan area hidung Herry terluka.
Mereka mengklaim “potretannya merupakan bagian dari upaya memprovokasi warga.”
Mereka menuding Herry sebagai “anak buah Pater Simon dan provokator.” Pater Simon merujuk pada Pater Simon Suban Tukan, SVD, direktur JPIC-SVD, lembaga milik Gereja Katolik yang selama ini mendampingi warga Poco Leok.
Mereka juga mengklaim bahwa “kalau mau mengambil gambar, harus minta izin kepada kami.”
Mereka juga menuding “Floresa selalu membuat berita miring tentang proyek geotermal.”
Di antara mereka ada juga yang sempat meminta KTP Herry. Tapi, Herry tidak memberikannya. Ada juga yang berteriak “Ambil borgol! Borgol saja dia!”
Mereka juga menyita tas yang di dalamnya berisi laptop dan kamera serta menyita ponsel Herry.
Seorang anggota polisi yang sejak awal mengunci leher lalu merampas ponsel Herry.
Ia juga berkata, “saya sudah memantau kau punya pergerakan selama ini.”
Usai berkali-kali memukul Herry, mereka lalu memasukkan Herry ke dalam sebuah mobil polisi dan mengunci pintunya.
Para aparat itu berkata, “kamu diamankan, bukan ditahan atau ditangkap.”
Salah satu polisi yang melintas di luar mobil itu berkata, “kalau kamu menulis ‘berita yang lain,’ kami akan pantau.”
Di dalam mobil itu, terdapat seorang polisi yang mengenakan seragam. Dia terus-terusan meminta ID card seraya memotong penjelasan Herry.
Beberapa saat kemudian polisi itu keluar dari mobil dan seorang polisi lain yang tidak mengenakan seragam masuk ke mobil untuk menemani Herry.
Beberapa saat kemudian, seorang polisi yang mengunci leher dan menyita ponsel Herry masuk ke dalam mobil itu. Dia menaruh tas yang sebelumnya mereka sita itu ke samping Herry sebelum menyuruh membuka ponsel Herry yang dipegang olehnya. Dia meminta Herry memasukkan kata sandi pada ponsel yang masih dipegangnya.
Dia membaca dan memeriksa beberapa pesan WhatsApp Herry. Dia mengakses pesan itu baik privat maupun group. Dia juga memeriksa foto profil WhatsApp dari beberapa teman Herry.
Dia juga menanyakan identitas beberapa teman dan warga yang mengirimkan pesan dan foto ke ponsel Herry.
Dia juga membaca dan memeriksa pesan dari dua jurnalis yang menanyakan posisi dan keadaan Herry.
Dia menyuruh Herry membalas pesan dari salah satu jurnalis itu berdasarkan rumusan jawaban yang disusunnya.
Dia berkata, “jawab saja kalau kamu aman dan kamu diamankan karena tidak membawa kartu identitas.”
Dia juga menyuruh Herry menjawab pesan itu dengan mengatakan, “saya lagi ganda [ngobrol] dengan polisi. Sebentar saya pulang.”
Herry membalas pesan itu dalam keadaan ponselnya masih dipegang polisi itu. Dia hanya menyuruh Herry mengetik jawaban.
Dia juga memeriksa beberapa foto di dalam ponsel Herry. Dia menanyakan identitas beberapa orang yang di dalam foto itu serta menanyakan tempat foto itu diambil.
Dia juga memeriksa beberapa foto yang menampilkan tiket perjalanan Herry ke Jakarta. Dia juga menanyakan tujuan Herry pergi ke Jakarta.
Setelah memeriksa dan membaca pesan Herry, polisi itu keluar dari mobil. Saat itu ada seorang polisi lain yang menghampiri pintu mobil dan memanggil polisi yang mengunci leher Herry dengan sebutan “BV.” Setelah itu, BV keluar dari mobil. Beberapa saat kemudian, BV kembali masuk ke mobil itu dan kembali menanyakan kartu pers Herry.
Herry sekali lagi menjawab, “saya memang tidak membawa kartu pers, tetapi saya bisa menunjukkan surat tugas saya serta membuktikan kalau saya benar-benar merupakan pemimpin redaksi Floresa.”
Herry meminta izin kepadanya untuk memeriksa berkas surat tugasnya di ponsel. Lantaran berkas surat tugas itu telah dipindahkan ke dalam laptop, Herry lalu meminta izin membuka laptop seraya meminta dia membuka web Floresa via ponsel untuk memeriksa dan memastikan statusnya sebagai jurnalis sekaligus pemimpin redaksi Floresa.
Herry kemudian menunjukkan kepada salah satu polisi berinisial R, yang juga berada di mobil itu terkait berkas surat tugas yang disimpan di laptop. Dia mengecek sembari berkata, “surat tugas ini hanya berlaku selama tiga bulan setelah diterbitkan pada September tahun lalu.”
Herry menjawab, “ini surat tugas yang diterbitkan pemimpin redaksi Floresa periode sebelumnya saat ia berstatus sebagai kontributor. Setelah masa berlakunya habis, Herry mengaku tidak mempunyai surat tugas baru karena dipercayakan menjadi pemimpin redaksi Floresa.”
“Karena menjadi pemimpin redaksi, Herry mempunyai kewenangan untuk membuat surat tugas bagi jurnalis Floresa yang lain.”
Untuk meyakinkan R, Herry menunjukkan surat tugas yang ia berikan kepada jurnalis Floresa yang lain. Di dalam surat itu, terdapat tanda tangan Herry sebagai pemimpin redaksi.
R memeriksa dan membuka beberapa berkas di dalamnya termasuk foto dan rekaman wawancara Herry dengan narasumber.
Setelah melihat foto dan mendengar rekaman wawancara Herry, R berkata, “kraeng [Anda] kerja macam intel.”
Merespons hal itu, Herry berkata, “saya jurnalis, bukan intel.”
R berkata, “saya akui kraeng seorang penulis karena kraeng sangat hati-hati memilih kata.”
Saya menduga R sebetulnya tahu bahwa saya merupakan jurnalis Floresa karena ia berkata, “saya tahu beberapa tulisan kraeng tentang proyek geotermal.”
Dia juga bertanya, “apa saja yang kraeng tulis tentang proyek geotermal di Poco Leok?”
Herry menjawab, “salah satu tulisan saya adalah wawancara khusus dengan seorang mama dari Poco Leok. Ite [Anda] bisa cek di web Floresa.”
Ia juga meminta BV, yang masih memegang ponselnya untuk membuka web Floresa.
Dia menuruti permintaan itu dan menemukan bahwa “kraeng benar-benar merupakan pemimpin redaksi Floresa.”
Mendapati informasi itu, dia lalu membuat tangkapan layar atas identitas dan status Herry yang tertera di web Floresa.
Setelah itu, R berkata, “kalau dari tadi dapat penjelasan seperti ini, kraeng tidak akan ditahan. Ternyata kraeng memang pemimpin redaksi Floresa.”
“Kami akan kena nanti kalau kraeng beri klarifikasi di Polres,” katanya, tanpa menjelaskan maksud pernyataan itu.
Merespons pernyataan itu, Herry berkata, “saya dari tadi berusaha menjelaskan hal ini, tetapi kalian terus memotong pembicaraan saya. Kalian justru memukul saya.”
Mendengar hal itu, BV menyebut akan “berkoordinasi dengan polisi lain,” sebelum ia keluar dari mobil.
Beberapa saat kemudian, dia kembali mendatangi Herry menawarkan dua langkah untuk melepaskan Herry.
Dia berkata, “sebentar tiga orang warga yang diamankan akan dilepaskan. Mereka akan membuat video klarifikasi dan permohonan maaf karena merusak mobil polisi. Apakah kraeng juga mau seperti itu? Ataukah kraeng mau klarifikasi di Polres?”
Merespons pertanyaan itu, Herry berkata, “saya pikir-pikir dulu.”
Mendengar jawaban itu, BV kembali berkata “akan berkoordinasi lagi dengan polisi lain.”
Ia lalu keluar lagi dari mobil.
Beberapa saat kemudian, BV kembali masuk ke mobil dan menawarkan hal yang sama.
Dengan mempertimbangkan segala konsekuensi, Herry pun memilih untuk langsung memberikan klarifikasi di lokasi itu.
BV berkata, “nanti kami akan rekam klasifikasinya kraeng. Nanti omong saja kalau kraeng diamankan karena tidak membawa kartu identitas. Terus nanti kraeng juga omong kalau kraeng sudah dilepaskan dalam keadaan selamat.”
Herry pun menyetujui permintaan itu, lalu BV mengizinkan Herry keluar dari mobil dan memberikan tas, sementara ponselnya masih disita.
Herry memberi klarifikasi di belakang mobil itu dan direkam oleh dua orang polisi, yang salah satunya sempat menyebut dirinya “anak media.”
Dalam klarifikasi itu, Herry sempat mengatakan “saya ditahan karena tidak membawa kartu identitas.”
Setelah mengatakan itu, mereka mengatakan “jangan pakai ditahan, tapi diamankan.”
Mereka juga mengarahkan Herry untuk mengatakan “setelah melakukan klarifikasi dengan polisi, saya dilepaskan dalam keadaan selamat.”
Namun, pada akhirnya Herry hanya mengatakan “setelah melakukan klarifikasi dengan polisi, saya dilepaskan.”
Saya tidak mungkin mengatakan “dilepaskan dengan selamat” karena sebelumnya saya dipukuli aparat dan wartawan.
Setelah itu, mereka mengizinkan saya pulang. Saya langsung jalan ke arah barat sebelum teringat ponsel saya yang masih mereka sita. Menyadari hal itu, Herry berbalik hendak menemui BV yang sedari tadi memegang ponselnya. Dalam perjalanan, R yang sedang berada dalam sebuah mobil, lalu memanggil saya dan berkata, “mau ke mana?”
Saya lalu menjawab, “ponsel saya masih belum diberikan.”
Merespons jawaban Herry, R turun dari mobil dan menemani Herry meminta ponsel kepada BV. R yang kemudian memintanya untuk mengembalikan ponselnya.
Mengingat kembali peristiwa hari itu, nyaris empat jam Herry menghadapi beragam tindakan polisi, mulai dari penangkapan, penganiayaan, perampasan barang-barang pribadi hingga diminta memberikan klarifikasi – yang sebagian besar memberikan tekanan bagi Herry.
Kontributor: Berto Davids