Ruteng, Vox NTT – Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo diminta untuk mencopot Kapolres Manggarai, AKBP Edwin Saleh terkait dugaan penganiayaan terhadap Pimpinan Redaksi (Pemred) Floresa, Herry Kabut saat melakukan kegiatan jurnalistik Desa Lungar, Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Rabu, 2 Oktober 2024 lalu.
“Kapolri harus tarik beliau dari Manggarai dan memeriksanya serta anak buahnya yang diduga menyekap dan menganiayi Herry. Kapolri sebaiknya jangan percaya begitu saja apa yang disampaikan AKBP Edwin Saleh soal kasus itu,” kata Sekjen Forum Advokat Manggarai Raya (Famara), Dr. Edi Hardum, SH, MH ketika dimintai komentarnya, Selasa (8/10/2022).
Menurut Edi, Kapolri melalui Polda NTT sebaiknya turun tim khusus untuk mengusut dugaan penyekapan dan penganiayaan itu.
Selain itu, ia juga meminta Kompolnas dan Komnas HAM untuk usut dugaan penganiayaan terhadap Pemred Floresa, Herry Kabut.
“Dugaan seperti ini jangan dianggap enteng karena ini terkait kerja pers,” kata Advokat dan dosenn asal Manggarai ini.
Edi lebih percaya kepada keterangan Herry Kabut melalui kronologinya yang dimuat sejumlah media massa dibandingkan dengan keterangan Kapolres Manggarai. Karena fakta yang terjadi adalah para polisi yang hadir dan yang terlibat menangkap Herry saat itu melarang siapa pun terutama Herry untuk mengambil foto atau video.
“Pelarangan seperti ini patut diduga para polisi ini punya niat yakni menganiaya Herry dan beberapa warga yang menolak pembangunan geothermal. Kalau saja keterangan Kapolres bahwa tidak terjadi penganiayaan terhadap Herry didukung dengan bukti elektronik seperti video atau foto saya tentu percaya. Saya malah menyayangkan Kapolres percaya saja keterangan anak buah tanpa melalui penyelidikan dari tim khusus,” katanya.
Karena itu ia pun menduga bahwa sejumlah polisi yang melakukan tindakan penyimpangan yakni menyaniaya Herry atas restu bahkan atas perintah Kapolres.
Hal yang lain disayangkan Edi adalah keterangan Kapolres bahwa Herry diamankan karena tidak menunjukan kartu pers, sementara Herry Kabut di lapangan ketika ditanya mengenai kartu pers oleh polisi, Herry menunjukan Surat Tugas untuk meliput acara itu.
“Keterangan Kapolres seperti ini menunjukan beliau kurang paham UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik serta pedoman media siber,” tegas mantan wartawan dan redaktur Harian Umum Suara Pembaruan ini.
Ia menegaskan, dalam Pasal 2 Kode Etik Jurnalitik menyatakan bahwa wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Penafsiran bunyi Pasal cara-cara yang profesional salah satunya adalah menunjukkan identitas diri kepada narasumber.
“Jadi menunjukan identitas itu bukan hanya terpaku pada kartu pers tetap juga surat tugas. Bahkan surat tugas lebih tinggi posisinya dari kartu pers,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta ini.
Polisi Melindungi
Menurut Edi, Polres Manggarai khususnya dan Polri umumnya seharusnya dalam menjalankan tugas terutama dalam persoalan Poco Leok harus menghindar dari kesan memihak dan kesan menerima pesan sponsor.
Polisi tentu tidak boleh menyimpang dari tugas polisi sebagaimana diamanatkan UU Polri yakni melindungi masyarakat, menyayomi masyarakat dan menegakkan hukum.
Kalau polisi menganiayani warga apalagi wartawan karena kritis dalam menyajikan berita, sesungguhnya polisi sedang merusak demokrasi dan hukum.
Wartawan, kata Edi, adalah pekerja pers. Menganiaya wartawan sama dengan melecehkan pers. Melecehkan pers sama dengan melecehkan demokrasi dan hukum serta instutusi Polri sendiri.
“Ingat tiga tugas polisi sebagaimana disebutkan di atas sesungguhnya menjamin tegaknya negara demokrasi dan hukum. Lha, kalau polisinya pukul wartawan jelas rusaklah negara demokrasi Pancasila kita,” kata dia.
Edi menegaskan, pers adalah salah satu pilar negara, pilar keempat selain eksekutif, legislative dan yudikatif.
Selain itu, ia kembali meminta semua wartawan di Manggarai Raya khususnya dan Indonesia umumnya agar tetap berani, kritis dalam menjalankan tugas jurnalistik.
“Dalam dalam menjalankan tugas tantangan utama pers adalah oknum aparat penegakan hukum tidak paham dan bahkan sengaja tak paham dengan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik,” kata Advokat dari Kantor Hukum Edi Hardum and Partners ini.
Bantah
Kapolres Manggarai, AKBP Edwin Saleh memberikan klarifikasi terkait pemberitaan media online atas dugaan penganiayaan terhadap Pimpinan Redaksi (Pemred) Floresa, Herry Kabut saat melakukan pengamanan kegiatan identifikasi dan pendataan awal lokasi Access Road di Wellpad D dan Wellpad I, Desa Lungar, Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Rabu, 2 Oktober 2024 lalu.
Dalam klarifikasinya, Sabtu, 5 Oktober 2024, Kapolres Edwin mengaku bahwa anggotanya hanya mengamankan Herry, bukan menyekap atau bahasa yang beredar menyiksa.
Herry sempat diminta kartu pers oleh beberapa anggota kepolisian sebelum peristiwa itu terjadi, namun dia hanya menunjukan surat tugas sebagai pengganti kartu pers.
Atas dasar itu pihak Polres Manggarai belum mengganggap Herry sebagai wartawan atau pimpinan redaksi meskipun faktanya Herry benar-benar sebagai wartawan dan pimpinan redaksi Floresa.
Itu karena saat diamankan Herry tidak berhasil menunjukan identitas diri, yakni kartu pers.
“Kalau dia seorang jurnalis harus bisa menunjukan kartu identitas waktu anggota saya meminta pembuktian,” jelas Kapolres Edwin tanpa menyingung surat tugas yang diberikan Herry sebagai pengganti kartu pers tatkala anggotanya meminta pembuktian di lokasi kejadian saat itu.
Bahkan, dalam klarifikasinya Kapolres mengatakan bahwa anggotanya sempat memberi makan untuk Herry.
“Terkait ada pemberitaan penyekapan itu tidak benar. Faktanya anggota saya hanya mengamankan, dan kami sempat memberi dia makan” ungkap Kapolres Edwin tanpa memberi klarifikasi detail atas pengakuan Herry sebelumnya bahwa telah terjadi penganiayaan oleh anggota polisi dengan cara menarik, mencekik, memukul dan menendang.
Ia pun menegaskan bahwa Polres Manggarai juga punya hak untuk membuat laporan ke dewan pers terkait awak media yang mengabaikan SOP dan kode etik jurnalistik dalam melaksanakan tugas liputan, apalagi sekelas pemimpin redaksi.
Ia kembali menegaskan bahwa tidak ada penyekapan dan penyiksaan terhadap Herry sebagai jurnalis sekaligus pemimpin redaksi, tetapi hanya diamankan.
Herry diamankan karena polisi menduga saat itu ada masyarakat yang datang untuk memprovokasi. Itulah alasan mengapa Herry diamankan.
“Makanya kita amankan supaya tidak terjadi korban ataupun perlakuan tindak pidana serta hal-hal merugikan lainnya,” tegas dia.
Ia rupanya tidak terima jika ada pemberitaan yang mengatakan ada penyekapan, penangkapan, penyiksaan dan lain-lain, karena menurut dia yang dilakukan anggotanya adalah mengamankan.
“Jangan ada bahasa tangkap, siksa, sekap, karena secara SOP kami sudah laksanakan. Sebelum melaksanakan pengamanan terlebih dahulu anggota saya mengikuti apel pengecekan dan APP yang dipimpin Wakapolres,” tuturnya.
Kapolres Edwin menambahkan, sampai saat ini pihaknya belum menerima laporan atau aduan terkait dugaan penganiayaan yang dilakukan anggotanya terhadap Herry selaku jurnalis.
Sekarang, kata dia, yang ada laporan ke SPKT hanya kasus intimidasi dan pengerusakan rumah warga yang pro pembangunan geothermal, sementara dugaan penganiayaan terhadap Herry Kabut belum.
Lebih lanjut ia menekankan, pengamanan yang dilakukan anggota Polres Manggarai di lokasi geothermal adalah sebuah kewajiban karena saat ini masyarakat masih terbagi dua, yakni ada yang pro dan ada yang kontra.
Jika Polres Manggarai tidak melakukan pengamanan, maka tidak ada pihak yang menjamin keamanan di lokasi tersebut.
Sehingga sudah menjadi tugas polisi untuk mengamankan setiap proses dan tahap demi tahap pembangunan geothermal.
“Kalau kami tidak amankan siapa yang bisa jamin, karena selain mengamankan proses kami juga berkewajiban mengamankan seluruh sarana prasarana maupun setiap orang yang ada di lokasi, seperti PLN, Pemda, rekan-rekan BPN, rekan-rekan media dan juga masyarakat,” tutupnya. [VoN]