Oleh: Paulus Ola Putra Hansen
Mahasiswa IFTK Ledalero
Feminisme merupakan suatu gerakan sosial dan politik di akhir abad XIX. Sebagai suatu gerakan, feminisme lahir sebagai tanggapan mengenai permasalahan seputar perempuan.
Masalah tersebut berhubungan dengan posisi perempuan yang kurang mendapat tempat di dalam masyarakat. Dengan kata lain, suatu paham yang hendak melawan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan.
Gerakan ini juga bertujuan untuk menggapai kesetaraan dan juga kesempatan yang sama bagi perempuan di dalam masyarakat. Kesetaraan itu digapai secara independen. Artinya, terbebas dari pengaruh-pengaruh apapun termasuk dominasi patriarki.
Fenomena feminisme semakin berkembang ketika kehadiran budaya partiarki yang hampir menguasai seluruh belahan bumi.
Patriarki menjadi semacam momok yang menakutkan karena dianggap sebagai penutup ruang terhadap keikutsertaan perempuan dalam berekspresi.
Perempuan hanya dilihat sebagai pelengkap sehingga banyak perempuan yang dieksploitasi demi kepentingan laki-laki.
Berhubungan dengan fenomena tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengulas tentang feminisme dalam hubunganya dengan partiarki di NTT yang memengaruhi keterlibatan perempuan NTT dalam politik.
Antara Perempuan dan Patriarki
Di dalam bukunya yang berjudul Homo Sapiens, Yuval Noah Harari melihat buruknya budaya partriarki. Ia mengulas secara komperehensif tentang pengaruh patriarki.
Contoh konkretnya adalah negara Tiongkok yang komunis mewajibkan setiap keluarga untuk memiliki “satu anak” (tidak boleh lebih). Kebijakkan tersebut malah menjadi endemi lantaran banyak keluarga rela membunuh anak perempuan yang dianggap sebagai pembawa sial.
Pembunuhan akan berhenti ketika keluarga tersebut melahirkan anak laki-laki. Kehadiran laki-laki diprioritaskan karena ia akan menjadi penerus keturunan.
Selain itu, Harari juga melihat kembali sejarah Yunani, terutama Athena yang demokratik pada abad V SM. Fakta yang terjadi adalah bahwa perempuan tidak diperkenankan mengambil bagian dalam urusan kepemerintahan. Lebih jauh lagi, Harari melihat dominasi patriarki di belahan dunia yang sangat membahayakan.
Sampai 2006, terdapat lima puluh tiga negara yang menguntungkan laki-laki dengan tidak dihukum karena memperkosa istrinya. Tampak jelas bahwa martabat perempuan selalu mendapat perlakuan buruk di dalam masyarakat.
Hal semacam ini juga dapat ditemukan di Manggarai. kebudaayan patriarki sangat menguat. Hal ini ditandai dengan acara entap rinding (memukul dinding rumah) untuk mengetahui apakah yang dilahirkan adalah laki-laki atau perempuan.
Jika yang dilahirkan adalah laki-laki, maka ia disebut ata one (orang dalam) dan perempuan disebut ata pe‘ang (orang luar). Penyebutan ata one dan ata pe‘ang sangat berhubungan dengan warisan.
Orang Manggarai mewariskan harta orangtua hanya kepada anak laki-laki karena ia yang akan menjaga orangtuanya. Sedangkan perempuan akan menetap di rumah suaminya, sehingga ia tidak mendapatkan warisan.
Fakta-fakta di atas sebenarnya mau mengungkapkan betapa kebudayaan itu dirancang untuk melemahkan peran wanita di dalam kehidupan. Apakah wanita secara alamiah harus tunduk pada laki-laki? Tentu saja tidak!
Mary Wollstonecraft, seorang feminisme melihat fakta tersebut sebagai hasil modifikasi atau rekayasa budaya yang dibiasakan secara terus-menerus dan diterima begitu saja.
Dengan kata lain, dominasi patriarki hanyalah produk kebudayaan semata bukan sesuatu yang hakiki dalam diri manusia ketika ia dilahirkan.
Partisipasi Perempuan NTT dalam Politik
Berbicara tentang perempuan tentu bukanlah hal yang mudah di hadapan kuatnya budaya patriarki. Dalam kebudayaan, perempuaan cendrung dilihat sebagai petugas “kasur, sumur dan dapur”.
Aktivitas mereka hanyalah melayani kebutuhan suami termasuk eksploitasi tubuh melalui kekerasan seksual, menimba air dan memenuhi kebutuhan meja makan.
Model semacam ini sudah mendara daging. Bahkan, hal semacam ini perlahan-lahan mematikan daya kritis untuk melihat ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi NTT, jumlah partisipan perempuan dalam ranah politik belum mencapai seperempat. Data tahun 2022 menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan hanya mencapai 20.00 persen.
Lebih lanjutnya, pada 2023 pencapaian itu masih di angka yang sama seperti tahun sebelumnya. Hal ini mau menegaskan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik belum mengalami peningkatan.
Keterlibatan perempuan dalam politik perlu ditingkatkan lagi. Hal ini mesti digalakkan mengingat aturan kewajiban akan keterlibatan perempuan sebesar 30 persen. Hak politik keterwakilan perempuan di berbagai lembaga publik diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003, beberapa kali perubahan hingga menjadi Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dalam UU ini menyebutkan 30 persen keterlibatan perempuan. Undang-undang ini mau menegaskan bahwa perempuan mempunyai andil dalam membangun dan menata kehidupan negara termasuk provinsi NTT.
Perempuan juga memiliki integritas kepemimpinan yang baik. Selain itu, ada pontensi menuju kebaikan bersama (Bonum commune).
Lantas, apa yang menjadi dasar pentingnya feminisme bagi keterlibatan perempuan dalam ranah politik berhadapan dengan kekuatan patriarki? pertanyaan seperti di atas tentu sangat sulit dijawab.
Namun, penulis hendak memberikan dua jawaban. Pertama, secara kodrati, laki-laki dan perempuan berbeda namun partisipasi politik haruslah seimbang. Artinya, akses menuju politik haruslah memiliki ruang yang sama. Pandangan laki-laki lebih kuat harus dibedakan dari cara berpolitik.
Berpolitik bukan soal kemampuan otot semata tetapi keahlian otak dalam menyusun strategi politik yang sehat.
Kedua, perempuan adalah makhluk yang bebas. Dengan kata lain, pilihan untuk menjadi bagian dari politik adalah kebebasannya sebagai pribadi dan warga negara. Oleh karena itu, ia harus bebas dari pengaruh laki-laki, khususnya pandangan akan dirinya yang lemah dan terbelakang.
Penutup
Kesetaraan merupakan prinsip dasar dari perjuangan feminisme. Kaum perempuaan sudah tenggelam dalam dominasi budaya laki-laki. Namun, segala keburukan harus dikritik untuk membangun suatu sistem baru.
Sebuah sistem harus dibangun untuk memberi ruang terhadap keterlibatan perempuan dalam menata dan membangun NTT. Mahatma Gandhi dalam bukunya “Woman and Social Injustice”, menggarisbawahi kebiasaan perempuan yang “lebih sering melayani makanan kesukaan tuannya”.
Dengan kata lain, mereka harus diberi akses yang mudah tanpa harus dibatasi oleh kepentingan-kepentingan mengurusi rumah tangga.
Oleh karena itu, penulis memberikan dua solusi dalam meningkatkan peran perempuan dalam konteks politik di NTT.
Pertama, perlu adanya keterbaruaan cara berpikir tentang perempuan. Perempuan bukan lagi narasi tentang dapur, sumur dan kasur tetapi narasi akan kemanusiaan sebagai makhluk yang bebas (dalam berpolitik). Perempuan harus diberi ruang untuk dapat menata dan membangun NTT.
Kedua, sebagai makhluk yang bebas, perempuan harus mampu terbuka dan mampu menunjukkan pontesi dirinya ke ranah publik. Artinya, perempuan tidak boleh diam dan harus tunduk di bawah dominasi laki-laki. Justru, mereka harus berjuang lebih gigih untuk mencapai kesetaraan dalam berpolitik.
Dua terobosan di atas tentu bukan suatu jalan yang pasti. Terobosan tersebut hanyalah sedikit dari sekian banyak solusi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan bahwa dua solusi itu cukup mampu memberikan keterbukaan untuk melihat dan memaknai posisi perempuan dalam masyarakat.
Dengan demikian, partisipasi perempuaan di tengah dominasi patriarki dalam ranah politik tidak mengalami ketimpangan melainkan antara laki-laki dan perempuan saling bekerjasama dalam membangun dan menata NTT.
Akhirnya, penulis juga mengutip pejuang perempuan yakni Edith Stein yang mengatakan bahwa “perempuan dapat bekerja dalam bidang apa saja tanpa harus kehilangan hakikatnya sebagai perempuan”.