Oleh: Emanuel Kardinal Rupa
Mahasiswa STIPAS St. Sirilus Ruteng
Bunuh diri adalah tindakan mengakhiri hidup dengan cara sadar dan sengaja. Tindakan ini biasanya terjadi sebagai akibat dari tekanan emosional yang sangat berat, depresi, gangguan mental, atau situasi hidup yang dirasa tidak tertanggulangi.
Bunuh diri juga sering kali dipengaruhi oleh faktor psikologis, sosial, atau lingkungan yang kompleks.
Bunuh diri merupakan salah satu fenomena yang marak terjadi, menjerat orang dari berbagai usia mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, namun yang paling sering terjerat dalam kasus ini adalah orang-orang muda terkhususnya mahasiswa.
Kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa telah menjadi perhatian serius dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan informasi yang dilansir dari www.bem-fip.umj.ac.id, jumlah kasus bunuh diri di Indonesia meningkat dari 772 kasus pada tahun 2018 menjadi 826 kasus pada tahun 2018 menjadi 826 kasus pada tahun 2022.
Menurut data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (pusiknas) Kepolisian RI, angka kasus bunuh diri di Indonesia pada periode januari hingga 18 Oktober 2023 mencapai 971 kasus.
Banyak kasus ditemukan dikalangan mahasiswa disebabkan ekonomi rendah, sehingga kemendikbudristek menghimbau seluruh kampus di Indonesia untuk menciptakan lingkungan kampus yang sehat, aman, dan nyaman.
Berdasarkan data di atas, kemiskinan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan angka bunuh diri di Indonesia.
Bukan hanya itu dampak atau faktor lain dari penyebab bunuh diri ini adalah, lingkungan kampus. Bunuh diri mahasiswa juga memengaruhi komunitas kampus.
Rasa kehilangan, kesedihan kolektif, dan ketidakpastian bisa timbul di antara sesama mahasiswa, dosen, dan staf kampus.
Lembaga pendidikan mungkin juga akan menghadapi tantangan dalam menangani isu kesehatan mental, serta meningkatkan kesadaran dan dukungan bagi mahasiswa lainnya.
Perubahan kebijakan kampus. Lembaga pendidikan mungkin perlu mengevaluasi kebijakan dan program mereka terkait dukungan psikologis bagi mahasiswa, termasuk memperkuat layanan konseling dan mempromosikan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental.
Penanganan dan pencegahan bunuh diri di kalangan mahasiswa memerlukan upaya terpadu dari berbagai pihak, termasuk keluarga, lembaga pendidikan, serta layanan kesehatan mental, untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dan memperhatikan kesejahteraan mental mahasiswa.
Kitab Suci, baik dalam Perjanjian Lama maupun Baru, menekankan pentingnya kehidupan manusia sebagai anugerah yang harus dihargai. Dalam Kejadian 1:27, manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, yang berarti bahwa setiap manusia memiliki nilai yang tak terhingga di mata-Nya.
Lebih jauh lagi, dalam Mazmur 34:19, tertulis bahwa “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.”
Ayat ini menegaskan bahwa Allah peduli terhadap penderitaan kita, dan bahwa dalam keputusasaan, Dia hadir untuk memberikan penghiburan dan harapan.
Namun, refleksi Kitab Suci tidak cukup jika tidak disertai tindakan nyata dari komunitas kita. Mahasiswa yang berada dalam krisis sering kali merasa terisolasi, tanpa dukungan yang mereka butuhkan.
Di sinilah tanggung jawab kita sebagai sesama manusia, keluarga, teman, maupun anggota komunitas menjadi sangat penting.
Kita harus menciptakan ruang di mana orang bisa berbicara tentang penderitaan mereka tanpa takut dihakimi.
Dukungan moral, emosional, dan spiritual sangat dibutuhkan untuk membantu mereka yang tengah berjuang.
Selain itu, penting bagi gereja, lembaga pendidikan, dan masyarakat luas untuk menyadari pentingnya kesehatan mental.
Program-program pastoral dan bimbingan konseling harus dipromosikan, serta pendekatan-pendekatan preventif yang mengutamakan dialog dan perhatian personal terhadap mahasiswa yang mengalami kesulitan.
Dalam konteks ini, ajaran Yesus tentang kasih kepada sesama dapat diwujudkan dalam tindakan yang konkret untuk menyelamatkan nyawa dan memberikan pengharapan.
Bunuh diri bukanlah solusi, dan pandangan Kitab Suci mengingatkan kita bahwa selalu ada harapan di dalam Tuhan, bahkan di tengah kegelapan yang paling pekat.
Kita semua memiliki peran dalam mencegah tragedi ini—dengan mendengarkan, mendukung, dan menciptakan komunitas yang penuh kasih dan empati.
Hanya dengan demikian kita dapat membantu generasi muda menemukan cahaya harapan yang mereka butuhkan di saat-saat tergelap dalam hidup mereka.