Oleh: Erlan Nego
Mahasiswi STIPAS Santo Sirilus Ruteng
Di Indonesia, kasus human trafficking atau perdagangan manusia masih menjadi masalah yang serius. Kasus ini tentu melibatkan eksploitasi individu untuk tujuan kerja paksa, eksploitasi seksual, serta perbudakan.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) tahun 2020, kasus TPPO pada perempuan dan anak mengalami peningkatan hingga 62,5%. Sementara itu, laporan lima tahunan Gugus Tugas Pencegahan dan Penangannan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GTPP-TPPO) pada tahun 2015-2019 menunjukan, terdapat 2648 korban perdagangan orang yang terdiri dari 2319 perempuan dan 329 laki-laki.
Selain itu, data yang dihimpun oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), mencatat dari tahun 2020 sampai dengan tahun 2022, terdapat 1.418 kasus dan 1.581 korban TPPO yang dilaporkan.
Dari data tersebut menunjukan sebanyak 96% korban perdagangan orang atau human trafficking perempuan dan anak. Jadi dapat kita lihat angka ini menunjukan, bahwa kasus TPPO atau traficking di Indonesia setiap tahunnya semakin meningkat.
Dari sejumlah kasus human trafficking di Indonesia, dari sejumlah data yang disajikan, korban kasus ini umumnya adalah perempuan dan anak-anak. Mereka para korban tentu dari keluarga prasejahtera yang dijanjikan pekerjaan dengan gaji yang tinggi, namun berakhir dalam jeratan eksploitasi.
Para korban human trafficking sering diperdagangkan, baik dalam negeri maupun di luar negeri. Di dalam negeri, mereka dieksploitasi dalam industri domestik seperti pekerja rumah tangga, konstruksi, atau sektor hiburan.
Sedangkan di luar negeri, korban seringkali dijadikan pekerja migran ilegal atau dieksploitasi dalam perdagangan seks. Para korban dipaksa bekerja tanpa upah yang layak, mengalami kekerasan fisik, dan psikis. Trafficking tersebut telah menjadi salah satu kejahatan terorganisir yang paling mengkhawatirkan di Indonesia dan dunia.
Seruan Ajaran Sosial Gereja
Dalam terang Ajaran Sosial Gereja Katolik (ASG), trafficking merupakan salah satu praktik dengan pelanggaran berat terhadap martabat manusia sebagai Imago Dei (gambar Allah).
Ensiklik Rerum Novarum yang diterbitkan Paus Leo XIII pada tahun 1891, dengan tegas menyatakan bahwa setiap manusia memiliki martabat yang tak dapat diganggu gugat, karena diciptakan seturut, segambar dan serupa dengan Allah. Oleh karena itu, memperlakukan manusia sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan merupakan penghinaan terhadap Sang Pencipta sendiri.
Selain itu, Kompendium Ajaran Sosial Gereja juga menegaskan, bahwa trafficking merupakan salah satu praktik yang melanggar prinsip-prinsip fundamental seperti martabat pribadi manusia, Hak Asasi Manusia (HAM), keadilan, dan solidaritas. Yang mana para korban trafficking kehilangan kebebasan dasarnya untuk menentukan hidup, bekerja secara bermartabat, dan mengembangkan diri sesuai dengan panggilan Allah.
Mereka dipaksa hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi, diekspliotasi, dan dirampas hak-haknya. Dalam ha ini gereja memandang, bahwa akar masalah trafficking berasal dari berbagai faktor struktural seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, kurangnya pendidikan dan kesempatan kerja yang layak serta lemahnya penegakan hukum.
Kondisi ini diperparah oleh mentalitas konsumerisme dan materialisme yang mereduksi nilai manusia menjadi sekadar objek ekonomi. Yang mana para pelaku trafficking memanfaatkan kerentanan sosial ekonomi untuk melanggengkan praktik kejahatan mereka.
Peran Gereja
Gereja sebagai suatu komunitas beriman, terpanggil untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan penanganan trafficking, yaitu dengan mengambil beberapa langkah, di antaranya yaitu Gereja mampu menyadarkan umat akan nilai luhur setiap manusia, bahwa sebagai ciptaan Allah yang memiliki martabat yang tak dapat tergantikan.
Yang mana pendidikan nilai-nilai kristiani sejak dini penting untuk membangun kesadaran menolak segala bentuk eksploitasi manusia.
Hal lain yang dilakukan Gereja juga tentu perlu mengembangkan pelayanan Pastoral yang Holistik bagi para korban human trafficking. Korban sangat membutuhkan pendampingan untuk memulihkan trauma, pemberdayaan ekonomi serta reintgarsi sosial.
Dalam hal ini pembentukan Komunitas Basis yang solid, dapat menjadi banteng pertahanan mencegah jatuhnya korban-korban baru human trafficking.
Di level struktural juga Gereja harus aktif mendorong pemerintah untuk memperkuat regulasi dan penegakan hukum antihuman trafficking. Gereja perlu membangun solidaritas dengan korban human trafficking yang diwujudkan dalam tindakan nyata.
Hal yang sama perlu dilakukan Gereja terkait solidaritas seperti dalam Ajaran Sosial Gereja, merupakan salah satu nilai yang sangat penting untuk mencegah berbagai bentuk ketidakadilan, termasuk human trafficking yaitu perdagangan manusia.
Dalam hal ini solidaritas menekankan hubungan dan tanggung jawab antar sesama manusia, yang didasarkan pada prinsip, bahwa semua orang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, dan karenanya memiliki martabat yang sama.
Dalam konteks global Gereja Universal dibawa kepemimpinan Paus Fransiskus telah berulang kali mengecam trafficking sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan”. Melalui berbagai forum Internasional, Vatikan terus mengadvokasi penguatan kerja sama antarnegara untuk memberantas human traffcking.
Hal ini menegaskan bahwa komitmen Gereja dalam memperjuangkan martabat setiap manusia. Human Trafficking (perdagangan manusia) adalah tantangan serius yang membutuhkan respons komperensif dari semua elemen masyarakat.
Jadi sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk menjadi pembela martabat manusia dan pewarta kabar baik dan pembebasan bagi mereka yang tertindas.
Gereja harus terus memperjuangkan dunia yang bebas dari human trafficking, dimana setiap orang dapat hidup sesuai martabatnya sebagai anak-anak Allah.