Oleh: Fransiskus Bustan
Guru Besar Linguistik Universitas Nusa Cendana
Sebut orang Timor, ingat Atoni Pah Meto. Mengapa tidak? Karena Atoni Pah Meto adalah istilah yang digunakan sebagai sebutan bagi orang Timor.
Istilah itu adalah simbol atau lambang yang menandakan keberadan mereka sebagai pengemban budaya pertanian lahan kering atau berladang yang dikenal dengan sebutan malak dalam bahasa lokal, Uab Meto.
Dalam tautan dengan keberadaan mereka sebagai pengemban budaya pertanian lahan kering (malak), ditemukan penggunaan berbagai metafora konseptual yang mewahanai konsepsi berpikir Atoni Pah Meto tentang dunia.
Salah satu metafora konseptual yang sering digunakan dalam konteks kehidupan Atoni Pah Meto adalah metafora kelayakan seorang pemuda atau anak laki-laki dan pemudi atau anak perempuan menikah atau hidup berumah-tangga.
Metafora dalam Uab Meto yang menyiratkan tentang kelayakan seorang pemuda atau anak laki-laki dan seorang pemudi atau anak perempuan menikah atau hidup sebagai satu rumah-tangga tersendiri diisyaratkan dalam ungkapan tradisional Uab Meto yang berbunyi, fani benas, naik ike, sute n’keo.
Karakteristik bentuk dan makna satuan kebahasaan yang digunakan dalam ungkapan tradisional ini bercorak dan khusus dalam menyingkap secuil pandangan dunia Atoni Pah Meto sebagai pengemban budaya pertanian lahan kering.
Sesuai kenyataan bentuk tekstual satuan kebahasaan yang secara fisik dalam struktur mukaan, menurut Damasius Sasi (2016), ungkapan dapat diartikan secara leksikal dengan ‘parang tajam, kapak tajam, dan kayu bulat panjang sebagai pemutar benang yang berputar lincah di atas sebuah piring kecil’.
Parang dan kapak dikonsepsikan secara metaforis oleh Atoni Pah Meto sebagai tanda kelayakan seorang pemuda atau anak laki-laki untuk menikah dan mengemban peran sosial sebagai kepala rumah tangga dalam ranah keluarga batih.
Mengapa? Karena parang dan kapak adalah perlengkapan utama yang biasa digunakan Atoni Pah Meto dalam mengelola lahan pertanian dengan kondisi tanah kering.
Aspek kelayakan itu semakin diperkuat pula dengan pesyaratan lain. Parang dan kapak tersebut mesti selalu tajam sehingga mereka tidak mengalami kesulitan atau hambatan berarti ketika bekerja di ladang.
Karena itu, parang dan kapak tersebut mesti selalu diasah setiap hari agar tetap tajam sehingga tidak sulit menebas dan memotong pohon.
Lalu, bagaimana dengan seorang pemudi atau anak perempuan? Sesuai konsepsi Atoni Pah Meto, kelayakan seorang pemudi atau anak perempuan untuk menikah dan hidup berumah tangga dikiasi secara metaforis dengan kayu bulat panjang sebagai pemutar benang yang berputar lincah di atas sebuah piring kecil.
Kayu tersebut melambangkan pekerjaan memintal benang dan menenun sarung berupa tais dan bête.
Sebagaimana waktu berjalan dan dunia berubah, demikian pula pandangan dunia Atoni Pah Meto tentang kebermaknaan ungkapan tradisional, fani benas, naik ike, sute n’keo, cenderung semakin bergeser jauh di luar bingkai fungsi dan pigura makna yang diamanatkan leluhurnya.
Sesuai realitas faktual yang ditemukan pada masa sekarang, parang dan kapak pemuda Atoni Pah Meto tidak lagi setajam sebagaimana diharapkan leluhurnya.
Demikian pula kayu bulat milik pemudi Atoni Pah Meto cenderung tidak lagi berputar cepat sebagaimana biasanya pada masa silam karena kegiatan memintal benang dan menenun kain atau sarung hanya menjadi aktivitas keseharian emak-emak.
Beberapa cuilan fakta menunjukkan, kelompok generasi muda dari komunitas kaum perempuan Atoni Pah Meto cenderung merasa lebih nikmat menjadi konsumen tais dan bête dari pada menjadi produsen.
Padahal dengan menjadi produsen tais dan bête, pundi-pundi keluarga niscaya tetap tebal sehingga asap dapur tetap mengepul stabil setiap hari.
Karena ungkapan tradisional, fani benas, naik ike, sute n’keo, adalah properti warisan leluhur Atoni Pah Meto tentang kearifan lokal etos kerja, maka perlu dilestarikan revitalisasi melalui bentuk dan cara agar guratan nilai yang terkandung di dalamnya tetap hidup dan berkembang sesuai substansi sebenarnya. Sesuai substansi nilai yang diwariskan leluhur.
Upaya revitalisasi itu ditujukan dan disasarkan pula pada ‘retimorisasi’ berupa pengembalian eksistensi dan citra diri warga Atoni Pah Meto sebagai orang Timor. Dengan demikian, warga Atoni Pah Meto kembali menjadi orang Timor dari jeratan fenomena ‘detimorisasi’.
Fenomena ‘detimorisasi’ tersebut ditandai dengan perubahan padadigma berpikir dan pola perilaku sebagian kalangan orang Timor yang tidak lagi menampilkan aspek ketimoran meski masih hidup dalam rahim budaya Timor. Lalu, apalagi jika mereka berada di luar rahim budaya Timor, apa yang terjadi. Semoga …