Oleh: Fransiskus Bustan
Guru Besar Linguistik Universitas Nusa Cendana
Beberapa waktu silam, saya sempat menghadiri acara syukuran wisuda seorang sarjana tamatan Universitas Nusa Cendana (Undana) yang orang-tuanya berdomisili di Kota Kupang sejak usai kuliah.
Selain karena yubilaris adalah anak bimbingan saya dalam penulisan tugas akhir, ayahnya juga teman seangkatan saya di Undana beberapa puluh tahun silam.
Karena itu, tidak heran jika suasana pertemanan ketika kami bertemu muka dan bertukar tutur dalam rangkaian acara syukuran itu tampak begitu mengemuka dengan butir-butir obrolan yang begitu cair sehingga nuansa temu muka dan tukar tutur itu terasa begitu akrab dalam pigura makna persaudaraan.
Sebagaimana lazimnya ketika alumni seangkatan bertemu muka dan bertukar tutur, topik percakapan berkutat di seputar nostalgia yang mengilasbalik pengalaman masa lalu ketika masih menyandang predikat sebagai mahasiswa.
Topik percakapan niscaya beragam berupa penelusuran kembali pengalaman yang meronai nuansa kehidupan semasa masih mahasiswa yang ketika diulas ulang ibarat ‘lelucon masa kini tentang masa lalu’.
Selain suka-duka sebagai anak kos berkantong tipis karena wesel diterima beberapa bulan sekali dengan jumlah rada kecil yang layak untuk makan sepekan, sasaran perbincangan niscaya menyinggung pula deretan nama dosen sebagai tenaga pendidik.
Pilahan sosok dosen sebagai tokoh yang disasarkan dalam percakapan adalah dosen idola karena penampilannya dianggap gacor saat itu dan dosen killer yang selalu dikenang dalam benak alumni karena pelit memberi nilai dan selalu menampilkan perilaku bahasa dan perilaku berbahasa bernada profetis ketika terlibat cakap semuka dengan mahasiswa.
Menengarai ruang kosong percakapan, topik perbincangan beralih dan bergeser seketika pada hasil penelusuran jejak sejarah kepemimpinan di lingkungan Undana.
Dengan raut muka yang agak serius, teman saya mengatakan, sejak didirikan tahun 1962 sampai sekarang, sudah 8 orang yang menduduki jabatan rektor Undana, dengan rincian, 3 orang alumni S-1 Undana dan 5 orang bukan alumni S-1 Undana.
Mencermati perilaku ragawi yang ditampilkannya ketika berbicara, perbandingan itu tidak hanya menyasar pada perbedaan angka semata, tetapi juga menjadi salah satu bahan refleksi sejarah kepemimpinan di Undana.
Mengapa? Karena sejak didirikan pada tahun 1962 sampai sekarang, dari ribuan sarjana luaran Undana, baru 3 orang alumni yang lahir dari rahim Undana memangku jabatan rektor di rumahnya sendiri.
Sebagai sebuah alma mater alias ibu pengasuh, hal itu tentu bukan karena salah Undana mengandung, tetapi bisa saja terjadi karena manajemen kepemimpinan Undana sedikit keliru dalam mengasuh.
Barangkali porsi asupan pengetahuan dan kecakapan tentang soal kepemimpinan guna menghasilkan meteor intelektual kader pemimpin handal, semisal, menjadi rektor di Undana sebagai alma maternya, belum memadai sehingga perlu dibenahi dan didandani secara lebih apik lagi.
Mengapa penting? Karena setiap kali acara wisuda digelar, hymne Undana selalu didendangkan dengan gegap-gempita membelah langit-langit aula.
Bukan cuma itu. Suatu fenomena menarik yang menggugah dan menyengat rasa kecintaan pada Undana, di penghujung hymne tersebut dikuak slogan, ‘Undana, Jaya, Jaya, Jaya’, yang menggelegar ibarat petir di siang bolong diriringi riuhan tepuk tangan hadirin yang saling bersaing.
Meski the last dalam hymne itu, slogan itu tentu bukan menjadi the least bagi Undana sebagai universitas negeri tertua di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Diksi yang mencoraki slogan itu mengandung keindahan bentuk dalam tataran mukaan yang mengundang kenikmatan inderawi ketika diucapkan dan disimak.
Aspek keindahan bentuk yang mengundang kenikmatan inderawi slogan tersebut ditandai dengan penggunaan kosakata dengan paralelisme fonologis atau kesejajaran dalam tataran fonologis atau tataran bunyi berupa fenomena permainan fonema vokal /a/ dalam ke empat kata atau butir leksikal sebagai komponen yang menjadi unsur bawahannya.
Di balik keindahan bentuk dalam struktur mukaan yang mengundang kenikmatan inderawi ketika diucapkan dan disimak sebagai pemarkah estetis kosakata yang digunakan, secara maknawi, slogan itu sesungguhnya mengajak seluruh civitas akademika Undana untuk selalu melakukan aksi melalui berbagai bentuk dan cara demi kejayaan Undana.
Dengan demikian, meski Undana tidak kemana-mana secara fisik, nama Undana niscaya berada di mana-mana karena digemai alumninya yang tersebar di mana-mana.
Guratan makna tersebut bertalian dengan kata pepatah, action speaks louder than words ‘aksi berbicara lebih keras dari pada kata-kata’, dalam paduan dengan anjungan kiprah, thinking globally, acting locally ‘berpikir global, bertindak lokal’ sesuai visi Undana, global oriented-university ‘universitas berwawasan global’.
Karena jika tidak, visi tersebut hanya menjadi sebuah ornamen linguistik berdimensi global guna menambah megahnya tampilan fisik gerbang depan kampus Undana guna menunjukkan keberbedaan dengan kampus-kampus lain di Kota Kupang.
Sebagaimana tersurat dari namanya yang menggunakan nama tumbuhan cendana yang terkenal karena aromanya yang begitu mewangi, Undana mesti selalu mewangi setiap saat.
Resapan harapan agar kesemerbakan wanginya Undana tentu tidak hanya sampai ke negeri Tirai Bambu dalam jaringan kerja sama kursus Bahasa Mandarin, misalnya, tetapi juga mendunia sesuai resapan cita-cita yang terpampang melalui visinya dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, sebagaimana terpampang di gerbang depan kampus Undana.
Meski jejak sejarah kepemimpinan Undana dari masa ke masa yang diulas sejawat saya di atas hanya bergayut dengan perbandingan angka, kebermaknaan angka sebagai tanda bermakna menggugah alumni yang lahir dari rahim Undana untuk memakanainya secara nyata dalam upaya mendandani manajemen kepemimpinan Undana ke depan.
Bukankah kita mesti mundur beberapa langkah ke belakang sembari menelusuri jejak sejarah masa lalu, jika kita ingin melompat lebih jauh ke depan.
Bukankah sejarah adalah nafas kehidupan kita sebagai manusia sehingga manusia disemat dengan predikat makluk menyejarah, tidak terkecuali bagi civitas academica di lingkungan Undana.
Khusus bagi civitas academica Undana, semisal, salah satu manifestasinya bisa diwujudnyatakan dalam menimang bakal calon pemimpin yang akan menakodai Undana ke depan.
Dengan demikian, cuplikan cerita sejarah yang mengulas sekilas kepemimpinan Undana dalam angka, jika dipadukan dengan satuan kebahasaan slogan bercorak paralelisme melalui pengulangan kata ‘jaya’ sebanyak tiga kali, niscaya akan memberikan ‘pakaian arti’ atau ‘pakaian makna’ tersendiri dalam torehan jejak sejarah kepemimpinan Undana dari masa ke masa sebagai bagian dari denyutan nafas kehidupan Undana.