Ruteng, Vox NTT – Penyelidikan kasus kekerasan terhadap Wartawan Floresa.co, Herry Kabut yang terjadi di Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai pada 2 Oktober 2024 lalu telah dihentikan Polda NTT.
Melalui surat penghentian penyelidikan Nomor: B/20/I/2025 tertanggal 6 Januari 2025, Polda NTT mengklaim bahwa kasus kekerasan Wartawan Floresa tidak cukup bukti untuk ditindaklanjuti sampai ke tahap penyidikan.
Polda menyebut, perkara ini sebagai “pengeroyokan”. Hanya satu terduga pelaku yang diselidiki, yaitu oknum polisi berinisial HH, seorang anggota Intelkam Polres Manggarai.
HH, merujuk ke pemilik nama lengkap Hendrik Hanu menjadi salah satu polisi yang dilaporkan oleh Herry Kabut terkait insiden yang terjadi di Poco Leok waktu itu.
HH akan diselidiki oleh Propam Polda NTT melalui sidang etik yang rencana digelar di Ruteng, Ibu Kota Kabupaten Manggarai pekan depan.
Selain HH, ada juga terduga pelaku lainnya yang merupakan seorang wartawan berinisial TJ.
Namun, VoxNtt.com belum mengkonfirmasi lebih lanjut apakah wartawan tersebut juga diselidiki atau tidak dalam kasus ini.
TJ ikut dilaporkan oleh korban Herry Kabut karena terlibat dalam aksi kekerasan. Ia dilaporkan ikut bersama polisi menganiaya Herry di Poco Leok.
Tanggapan Dewan Pers
Menanggapi keputusan penghentian penyelidikan Polda NTT, Dewan Pers melalui Tim Satgas Anti Kekerasan Wartawan, Erick Tanjung akhirnya angkat bicara.
Erick mengatakan, keputusan menghentikan penyelidikan kasus kekerasan Wartawan Floresa, Herry Kabut akan membuat polisi semakin leluasa melakukan kekerasan hingga bisa berdampak buruk bagi kerja-kerja jurnalistik ke depan.
Selain itu, kata Erick, dengan penghentian kasus ini polisi akan tetap menjadi momok bagi jurnalis kapan dan dimanapun, sehingga mitra antara jurnalis dan polri pelan-pelan mulai bergeser.
Erick menyebut, polisi masih menjadi terduga pelaku paling banyak melakukan kekerasan terhadap Wartawan.
Dari beberapa kasus di Indonesia, Dewan Pers menyebut polisi sebagai oknum yang paling banyak menjadi pelaku kekerasan terhadap jurnalis, disusul TNI.
“Nomor satu pelaku didominasi oleh kepolisian. Yang menjadi pelaku itu memang polisi, baik itu ancaman maupun intimidasi sehingga dengan penghentian kasus Herry maka polisi semakin leluasa melakukan kekerasan,” ujarnya, Minggu, 23 Februari 2025 melalui pesan tertulis.
Erick berjanji, akan membawa kasus ini ke level internasional “untuk” menunjukan bahwa kondisi kebebasan pers di Indonesia sedang tidak baik-baik saja di tangan kepolisian, apalagi pelaku kekerasan sering tidak diproses hukum.
Ia menilai, keputusan Polda NTT menghentikan kasus kekerasan ini memperburuk citra Indonesia sebagai negara hukum dan kemudian yang akan rugi adalah Presiden sebagai rezim yang sedang berkuasa.
Penulis: Berto Davids