Ruteng, Vox NTT – Salah satu anggota Polres Manggarai, Hendrik Hanu dinyatakan bersalah dan terbukti telah melanggar Peraturan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terkait kasus kekerasan terhadap Wartawan Floresa.co, Herry Kabut di Poco Leok pada 2 Oktober 2024 lalu.
Hendrik menjalani sidang etik pada Senin, 24 Februari 2025 di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai.
Dalam sidang yang dipimpin oleh beberapa Majelis dan Penuntut itu, selain bersalah, Hendrik dinyatakan “melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf c dalam Peraturan Polri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Komisi Kode Etik Polri.”
Hendrik juga dinyatakan “tidak profesional dalam melakukan pengamanan kegiatan identifikasi dan pendataan awal lokasi” proyek geotermal Poco Leok pada 2 Oktober 2024.
Saat itu, Herry Kabut, wartawan Floresa.co mendapat perlakuan kekerasan dari Hendrik dan beberapa anggota Polres Manggarai lain yang sedang bertugas mengamankan aksi penolakan geotermal Poco Leok.
Herry dilarang melakukan liputan hingga alat kerjanya dirampas lalu disita aparat kepolisian.
Tak hanya itu, Herry juga diisekap berjam-jam sebelum akhirnya ia dibebaskan menjelang malam.
Namun, dari sekian banyak polisi yang dilaporkan ikut menganiaya Herry, hanya satu polisi yang diseret ke sidang etik.
Saat sidang etik, majelis menilai tindakan Hendrik terhadap Wartawan Floresa, Herry Kabut “tidak sesuai prosedur” dan “sebagai perbuatan tercela”.
Sebagai sanksinya, Hendrik diminta untuk menyampaikan permohonan maat secara lisan di hadapan sidang kode etik serta secara tertulis kepada Kapolri, Lystio Sigit Prabowo dan pihak yang dirugikan, dalam hal ini Floresa.co secara redaksional.
Pada kesempatan itu, Kepala Divisi Humas Polda NTT, Henry Novika Chandra mengatakan, dengan adanya keputusan ini, diharapkan seluruh anggota Polri dapat menjunjung tinggi profesionalisme dalam menjalankan tugas serta menghormati hak-hak masyarakat, termasuk kebebasan pers.”
Sanksi yang diberikan kepada Hendrik, kata dia, merupakan komitmen Polda NTT dalam menegakkan kode etik profesi Polri guna menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap institusi.
Sementara itu, Koordinator Satgas Anti Kekerasan Wartawan Dewan Pers, Erick Tanjung mengecam putusan sidang etik itu.
Erick mengatakan, sanksi dalam bentuk permintaan maaf tidak menimbulkan efek jera, baik bagi Hendrik sebagai pelanggar maupun bagi Polri sebagai institusi.
Pihaknya melihat putusan ini sebagai praktik pendisiplinan yang tidak sungguh-sungguh terhadap anggota Polri yang melakukan pelanggaran.
Selain itu, sanksi tersebut juga tidak memberi rasa keadilan.
Sanksi ringan terhadap Hendrik, tambah dia, merupakan bentuk pelanggengan impunitas terhadap polisi pelaku kekerasan dan ini akan menjadi preseden buruk dalam proses hukum di Indonesia, apalagi pelakunya adalah aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi pengayom.
“Akan tetapi putusan sidang etik yang diterima Floresa tidak memberi rasa keadilan,” ucap Erick.
Penulis: Berto Davids