Ruteng, Vox NTT – Serikat Pemuda NTT Jakarta mendesak Komisi II DPR RI untuk segera memanggil Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, serta Gubernur NTT, Melki Laka Lena, terkait kebijakan Bupati Manggarai, Herybertus G.L. Nabit, yang dianggap merugikan warga Poco Leok dalam proyek geotermal.
Proyek tersebut berhubungan dengan perluasan Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) Ulumbu, yang diduga mengabaikan kehendak masyarakat setempat.
Ketua Serikat Pemuda NTT Jakarta, Saverius Jena menjelaskan, proyek geotermal ini merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas PLTP Ulumbu dari 7,5 MW menjadi 40 MW.
Proyek yang beroperasi sejak tahun 2012 tersebut berencana melakukan perluasan untuk memenuhi kebutuhan energi yang lebih besar.
Namun, rencana ini ditentang keras oleh warga Poco Leok dan sejumlah kelompok masyarakat sipil, termasuk Serikat Pemuda NTT.
“Kami menolak proyek ini, bukan hanya sebagai narasi kosong, tetapi berdasarkan sejumlah alasan yang jelas, salah satunya adalah proses eksplorasi yang mengabaikan kehendak masyarakat Poco Leok,” ujar Jena dalam keterangan yang diterima oleh media, Minggu, 16 Maret 2025.
Menurut Jena, penolakan ini berawal dari penerbitan Surat Keputusan (SK) HK/417/2022 oleh Bupati Manggarai, Herybertus G.L. Nabit, pada 1 Desember 2022.
SK tersebut mengesahkan izin lokasi untuk eksplorasi geotermal, yang dianggap memberikan “karpet merah” bagi Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan investor untuk mengeksploitasi kawasan tersebut tanpa mempertimbangkan hak-hak warga Poco Leok.
Jena menegaskan, penolakan warga selalu diabaikan oleh pemerintah, PLN, investor, dan konsultan yang dibayar oleh PLN.
“Warga Poco Leok kini merasa terkepung oleh daya hasut dan tipu daya negara yang mempermainkan hak-hak mereka,” katanya.
Ia juga menyoroti bagaimana perjuangan warga Poco Leok untuk mempertahankan hak-hak mereka sering kali dibalas dengan tindakan represif dari pihak berwenang.
“Tindakannya mencakup intimidasi, laporan ke polisi (kriminalisasi hukum), dan tindakan ekstrem lainnya yang kami anggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan oleh negara,” tegas Jena.
Mengapa Ada Kontra?
Dosen sekaligus praktisi hukum, Siprianus Edi Hardum, mengungkapkan ada kontra di balik rencana proyek geotermal Poco Leok.
Pertama, kata Edi, ada banyak “kegagalan” proyek geothermal di tempat lain. Kedua, pemerintah dan PLN keliru melakukan pendekatan dari awal, di mana sosialisasi tidak menyeluruh dan tidak terbuka atau dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Ketiga, pemerintah dan PLN diduga menginjak-ijak adat Manggarai. Keempat, pemerintah dan PLN tidak bisa memberikan jaminan mengenai dampak dari pembangunan geothermal ke depan.
Abaikan HAM
Jena menilai Bupati Nabit telah menunjukkan sikap tidak bertanggung jawab dan mengabaikan hak-hak asasi manusia (HAM) warga Poco Leok terkait proyek geotermal yang tengah berlangsung di wilayah tersebut.
Ia mengungkapkan, Bupati Nabit telah bertindak egois dan tidak sensitif terhadap masalah HAM, serta kurang empati terhadap penderitaan warga Poco Leok.
“Kami menduga, tindakan Bupati Nabit ini merupakan pelanggaran HAM, karena telah mengesampingkan hak-hak dasar warga Poco Leok dalam proyek geotermal ini,” ungkap Jena.
Menurutnya, Bupati Nabit telah melanggar hak-hak yang telah dijamin dalam Undang-Undang HAM Internasional, seperti International Bill of Rights dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta hak-hak yang dijamin dalam UUD 1945.
“Warga Poco Leok berhak untuk menerima atau menolak proyek ini. Itu adalah hak mereka yang dilindungi oleh hukum,” tegas Jena.
Jena menegaakan, tindakan Bupati Nabit mencerminkan ketidakpedulian negara terhadap hak-hak warganya.
“Keberadaan mereka sebagai warga negara yang seharusnya dilindungi, namun negara justru memenjarakan hak-hak mereka,” tambah Jena.
Menurut Jena, situasi ini terjadi karena Bupati Nabit lebih mendahulukan kepentingan otoritas negara daripada menjalankan kewajiban negara untuk melindungi hak-hak warganya.
Nabit, yang seharusnya bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat, justru dianggap lebih memprioritaskan kepentingan pribadinya.
“Sebagai pejabat publik, Nabit seharusnya tahu betul hak dan kewajibannya. Tugasnya adalah menciptakan kehidupan yang adil, aman, dan sejahtera bagi masyarakat. Namun kenyataannya, ia lebih memilih untuk mencari keuntungan pribadi, sementara warga Poco Leok menderita,” ujar Jena.
Jena juga menyatakan, ketimpangan antara hak dan kewajiban ini menciptakan ketidakadilan bagi warga Poco Leok.
“Dampaknya sangat terasa bagi mereka. Warga Poco Leok sangat menderita karena Nabit lebih memikirkan keuntungan materi daripada kesejahteraan rakyat,” tegas Jena.
Sebelumnya Nabit menegaskan, proyek geotermal Poco Leok merupakan proyek strategis nasional (PSN). Ia khawatir jika proyek ini tidak berjalan, maka bisa saja berdampak pada pemberhentian dirinya.
“Tolong pahami juga posisi saya dalam 2 3 tahun yang lalu, ya. Aturannya masih sama. Aturannya masih sama. Kepala-kepala daerah yang tidak menjalankan proyek strategis nasional itu bisa diberhentikan, ya,” ujar Nabit saat menerima massa aksi dari Aliansi Pemuda Poco Leok di Kantor Bupati Manggarai pada Senin, 3 Maret 2025 lalu.
Menurut dia, masalah ini bukan tentang diberhentikan atau tidak. Itu bukanlah inti permasalahannya. Yang lebih penting, lanjut dia, adalah posisi pemerintah pada saat itu.
“Lalu kemudian tapi paling penting bagi saya adalah pemahaman bahwa kegiatan ini penting untuk penyediaan energi bagi masyarakat Manggarai,” katanya. [VoN]