Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Sehelai daun palma di tangan orang beriman bukan sekadar lambang pujian, melainkan benih keberanian—untuk menumbuhkan pohon kehidupan yang berada dalam kebebasan, berakar pada keadilan, bertumbuh dalam damai sejahtera, dan berbuah dalam
kebahagiaan yang tak lekang oleh zaman.
Di tengah dunia yang berlari cepat, dunia yang sering lupa pada luka-luka masa lalu, iman Kristiani hadir bagai embun pagi yang lembut, membasuh kerasnya tanah kehidupan.
Ia bukan sekadar dogma atau ritual, tetapi cahaya kasih yang menuntun hati manusia untuk melihat wajah sesama dengan mata Kristus: penuh belas kasih, pengampunan, dan kebenaran.
Dalam dunia yang penuh kabut kekerasan dan kerakusan, iman ini memanggil manusia untuk tidak menoleh ke belakang dengan dendam, tapi juga tidak melupakan.
Ia mengajak kita menatap masa lalu dengan keberanian yang diselimuti kasih—dan itulah yang membuatnya abadi, relevan di setiap zaman, termasuk abad ke-21 yang sering sibuk membungkus luka dengan kemewahan dan pelupa.
Kekerasan dan korupsi, dua wajah gelap yang terus menari dalam sejarah manusia, menemukan panggungnya yang paling getir dalam kisah bangsa yang pernah direnggut oleh darah dan diam.
Dalam dunia modern yang dipoles AI, diselimuti teknologi dan jargon kemajuan, korupsi bukan hanya soal uang, tetapi juga tentang kebisuan yang disengaja, tentang pembenaran terhadap kekuasaan, dan tentang kematian nurani.
Kekerasan bukan hanya tembakan atau darah, tetapi juga ketidakpedulian, hilangnya empati, dan keberpihakan pada lupa. Iman Kristiani tidak bisa menutup mata pada ini semua, sebab salib yang kita pandang bukan lambang kekalahan, melainkan perlawanan lembut terhadap ketidakadilan dan pengkhianatan terhadap kebenaran.
The Look of Silence, atau Jagal Senyap, bukan sekadar film dokumenter; ia adalah luka yang diungkap dengan bisikan, jerit yang disampaikan lewat tatapan.
Adi, sang tokoh utama, adalah simbol dari jiwa yang memikul iman secara diam-diam—ia menatap para pelaku pembunuhan terhadap kakaknya, bukan dengan amarah yang meluap, tetapi dengan mata yang menuntut pertanggungjawaban moral.
Film ini memotret keberanian spiritual yang langka: berani menanyakan kebenaran di tengah budaya diam, berani menghadirkan nurani di tengah korupsi sejarah, dan berani menyuarakan luka dalam wajah yang nyaris tak berkedip.
Di situlah iman menjadi hidup: saat kasih tidak menghapus keadilan, dan pengampunan tidak mematikan ingatan.
Di abad ke-21 ini, di mana banyak yang memilih kenyamanan daripada kebenaran, The Look of Silence seperti sabda sunyi dari padang gurun: mengingatkan bahwa sejarah bukan hanya catatan, tetapi cermin jiwa bangsa.
Iman Kristiani dipanggil bukan untuk menutupi luka dengan doa-doa kosong, tetapi untuk menemani mereka yang tertindas, memberi suara pada yang dibungkam, dan memberi harapan tanpa melupakan penderitaan.
Seperti Yesus yang duduk bersama orang berdosa, dan tidak takut menyentuh luka si kusta, iman harus hadir di ruang-ruang paling getir, paling pahit, dan paling sepi—seperti ruang wawancara Adi dalam film itu, yang sunyinya lebih keras dari teriakan.
The Look of Silence mengajarkan bahwa keheningan bisa menjadi senjata kebenaran, bila dituntun oleh kasih dan keberanian.
Iman Kristiani di abad ke-21 haruslah menjadi seperti itu: bukan gempita yang menaklukkan, melainkan kehadiran yang menyembuhkan. Di tengah dunia yang sering memilih untuk tidak melihat, kita dipanggil untuk memandang—dengan mata yang jujur, hati yang lembut, dan iman yang teguh. Sebab hanya dengan menatap luka itulah, kita bisa menenunnya kembali menjadi kisah penebusan.
Berjalan Bersama Yang Tersingkir
Di Minggu Palma yang hening dan kudus, umat Kristiani berdiri memegang sehelai daun palma—tanda sederhana yang menyimpan makna mendalam.
Daun itu bukan sekadar lambang kemenangan, tetapi kenangan akan Raja yang datang bukan dengan pedang, melainkan kelembutan.
Yesus menunggang keledai, bukan kuda perang; Ia disambut sorak yang kelak berubah menjadi caci.
Di tangan-tangan umat, palma itu kini bukan hiasan liturgi semata, melainkan simbol panggilan: untuk mengikuti Sang Kristus tidak hanya dalam pujian, tetapi dalam penderitaan dan pengorbanan.
Palma yang ringan itu, seakan bertanya: apakah kita siap memanggul salib, seperti Dia?
Di dunia yang kini retak oleh ketimpangan, saat manusia diasingkan oleh sistem yang mengabdi pada kuasa dan laba, palma menjadi isyarat spiritual yang sangat aktual.
Iman tidak bisa berhenti di altar dan doa, ia harus menjelma dalam empati dan keberpihakan nyata.
Moralitas eksistensial Kristiani menuntut kita untuk menyentuh luka dunia: anak-anak yang kelaparan di sudut kota, buruh yang diperas tenaganya, suara-suara yang diredam oleh struktur yang membungkam.
Palma yang kita pegang hari ini, seharusnya mengarah ke jalan Yerusalem zaman ini—jalan di mana Yesus hadir dalam wajah mereka yang tertindas dan dilupakan.
Karena itu, setiap umat yang mengangkat daun palma hari ini sejatinya sedang berikrar dalam diam: bahwa iman adalah aksi, bahwa kasih adalah keberanian, dan bahwa ikut Kristus berarti berjalan bersama yang tersingkir.
Palma menjadi nyala kecil yang menuntun langkah untuk tidak hanya melihat, tapi juga merasakan penderitaan orang lain sebagai luka kita sendiri.
Di Minggu Palma ini, kita tidak sekadar mengenang perjalanan Yesus menuju salib, tetapi juga meneguhkan diri untuk menjadi saksi kasih di dunia yang lapar akan keadilan.
Sebab di tangan yang memegang palma itu, seharusnya juga mengalir doa dan tekad untuk menyambut Sang Raja bukan hanya dengan hosana, tapi dengan hidup yang dibaktikan untuk yang lemah dan terluka.
Merawat Harapan
Di tengah gemuruh abad yang dipenuhi retakan nurani dan luka bumi, Minggu Palma datang bukan sekadar perayaan liturgis, melainkan panggilan untuk kembali pada jalan Sang Raja Damai—Yesus yang memilih keledai, bukan kuda perang; jalan debu dan air mata, bukan singgasana emas.
Untuk mengikuti-Nya bukan dengan seruan “Hosana” di bibir semata, tetapi dengan langkah konkret yang menapaki penderitaan sesama dan jeritan bumi yang terluka. Iman, dalam terang Palma, mesti menjelma gerak: langkah-langkah praksis yang membasuh, merangkul, dan membangkitkan yang tersingkir.
Langkah pertama adalah melihat—dengan otak di kepala, hati dan perut. Melihat mereka yang tak terlihat oleh sistem: anak jalanan yang kehilangan masa depan, ibu yang menjajakan keringatnya demi sesuap nasi, petani yang direnggut lahannya oleh mesin-mesin rakus.
Juga melihat pohon-pohon yang tumbang dalam diam, sungai-sungai yang merintih karena racun, dan udara yang penuh sesak oleh kerakusan industri. Melihat adalah awal dari empati, dan empati adalah awal dari pertobatan yang sejati, seperti Yesus yang menatap Yerusalem dan menangis bukan karena takut, tetapi karena cinta.
Langkah kedua adalah berdiri bersama—tidak dari jauh sebagai simpatisan, tapi hadir sebagai saudara. Mengunjungi yang sakit, menyapa yang diabaikan, menyuarakan mereka yang dibungkam.
Di sekolah, gereja, atau komunitas, kita dapat memulai gerakan kecil: membuka ruang dialog, mendampingi keluarga miskin, menanam pohon di tanah-tanah mati, dan melibatkan generasi muda dalam karya sosial dan ekologi.
Menjadi perpanjangan tangan Kristus, bukan dalam keagungan, tetapi dalam kesederhanaan yang setia dan penuh kasih.
Langkah ketiga adalah menggugat sistem, dengan kasih yang tegas. Iman bukan hanya soal pribadi, tapi juga soal struktur yang menindas. Kita dipanggil untuk menjadi suara kenabian di tengah kebisuan: menyuarakan keadilan dalam kebijakan, menolak budaya konsumerisme yang membunuh solidaritas, dan mengadvokasi kebijakan ramah lingkungan.
Seperti Yesus yang membalik meja para pedagang di Bait Allah, iman kita mesti punya keberanian untuk menantang yang tidak adil—bukan dengan kekerasan, tapi dengan kebenaran yang tak tergoyahkan.
Langkah terakhir adalah merawat harapan—sebab berjalan bersama yang tersingkir bukanlah jalan instan, melainkan peziarahan pengharapan.
Di sinilah daun palma menjadi simbol harapan yang tumbuh di tengah keringnya dunia. Dalam setiap tindakan kecil yang dilandasi kasih, kita sedang menanam benih Kerajaan Allah: kerajaan damai, keadilan, dan kebahagiaan keberlanjutan.
Maka, setiap Minggu Palma, kita tidak hanya mengangkat daun hijau di tangan, tetapi juga membiarkan iman kita tumbuh menjadi pohon kehidupan—tempat berteduh bagi yang lelah, tempat pulih bagi dunia yang luka.
Dan di sana, Sang Raja Damai akan hadir—bukan dalam mahkota emas, tapi dalam tawa anak kecil yang kembali menemukan masa depannya.
Bukan Pohon Kering
Di dunia yang diliputi sunyi dan luka sejarah, seperti yang tergambar dalam film The Look of Silence, kita dipanggil untuk menjadi pohon hidup—yang akarnya tertanam dalam kebenaran dan cabangnya merentang dalam belas kasih.
Adi, dengan tatapan hening dan suara lembutnya, menembus benteng ketakutan dan pengingkaran. Ia bukan datang untuk membalas, melainkan untuk memahami. Dalam langkahnya yang pelan, kita melihat bayangan Kristus—yang juga pernah berjalan di antara mereka yang menolak-Nya, namun tak berhenti mengasihi.
Pohon hidup bukanlah yang besar dan megah, tapi yang setia berdiri, meski angin masa lalu mengguncang dan tanah keadilan masih kering.
Menjadi pohon hidup berarti menolak menjadi pohon kering—yang kehilangan keberanian untuk melihat, mendengar, dan merasakan.
Pohon kering diam saat dusta dijadikan kebenaran, saat luka dibungkus sunyi, dan saat kekuasaan membungkam kemanusiaan.
Dalam film itu, kita menyaksikan bagaimana diam bisa menjadi kekerasan yang lain, dan lupa bisa menjadi bentuk pengkhianatan pada sesama.
Pohon hidup, sebaliknya, meratap bersama yang hancur, menyerap air dari air mata penderitaan, dan bertumbuh dengan dedikasi untuk menjadi tempat berteduh—bagi siapa pun yang tersingkir dan terluka oleh sejarah yang enggan diakui.
Kita dipanggil, seperti Adi, untuk menjadi pohon yang tidak membalas dengan api, tetapi menghadirkan keteduhan dari keberanian moral dan cinta yang tak bersyarat.
Di zaman di mana kebenaran sering dikaburkan oleh kenyamanan, dan suara korban dipelintir oleh narasi penguasa, kita diminta untuk tetap berdiri—meski sendiri.
Menjadi pohon hidup di tengah hutan yang layu bukanlah perkara mudah, tetapi di situlah iman menjadi nyata: saat kita memilih untuk tidak kering oleh ketakutan, tetapi hidup oleh kasih dan kebenaran.
Dan mungkin, dari satu pohon yang hidup itu, akan tumbuh hutan harapan baru bagi dunia yang haus akan damai dan kejujuran serta keadilan demi kebahagiaan berkelanjutan.