Kupang, Vox NTT — Suasana serius namun penuh harapan menyelimuti Rumah Jabatan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Selasa malam (15/4), ketika Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Provinsi NTT, Mindriyati Laka Lena, bersama Staf Ahli TP PKK, Vera J. Asadoma, menggelar pertemuan penting dengan sejumlah aktivis perempuan dan anak.
Pertemuan yang dimulai pukul 20.00 WITA tersebut membahas secara mendalam perkembangan kasus kekerasan seksual dan dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang menyeret nama mantan Kapolres Ngada sebagai terduga pelaku, dengan korban utama adalah anak-anak di bawah umur.
Pertemuan ini merupakan kelanjutan dari upaya advokasi yang telah dilakukan Mindriyati Laka Lena. Sebelumnya, ia bersama Forum Perempuan Diaspora NTT di Jakarta telah melaporkan kasus ini ke sejumlah lembaga nasional, termasuk Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Di tingkat lokal, kasus ini juga telah mendapat perhatian serius dari berbagai lembaga masyarakat sipil di NTT.
Ironisnya, tindakan kejahatan seksual tersebut diduga terjadi saat pelaku masih aktif menjabat sebagai Kapolres. Tidak hanya satu, beberapa korban anak di bawah umur disebut menjadi korban eksploitasi seksual. Bahkan, salah satu korban yang telah dewasa kini ditetapkan sebagai tersangka karena diduga terlibat dalam penyaluran anak-anak kepada pelaku utama.
Mindriyati dan Vera menyatakan harapan mereka agar gerakan masyarakat sipil di Jakarta dan NTT dapat bersatu dan berkolaborasi secara aktif dalam mengawal penanganan kasus ini agar berjalan secara adil dan transparan.
Hadir dalam pertemuan ini berbagai tokoh dan aktivis dari lembaga-lembaga yang selama ini konsisten memperjuangkan perlindungan terhadap perempuan dan anak, antara lain: RD. Leonardus Mali, Pr (J-RUK Kupang), Ruth Laiskodat (Kadis DP3AP2KB NTT), Ansy Rihi Dara (LBH Apik NTT), Ester Mantaon dan Marince Safe (Rumah Harapan GMIT), Marce Tukan, Anna Djukana, dan Veronika Ata (LPA NTT), Leny Korang dan Libby Sinlale (Rumah Perempuan), Inka Maramis (Aktivis Sumba Tengah), TH M. Florensia (Bapperida NTT), serta Maria Inviolata (Fakultas Hukum Undana)
Dalam diskusi yang berlangsung intens, para aktivis menekankan bahwa langkah hukum yang telah diambil aparat penegak hukum sejauh ini masih jauh dari cukup.
Mereka mengkritik penggunaan hanya dua pasal—yakni Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)—yang dianggap belum mencerminkan kompleksitas kasus ini.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa unsur pidana dalam kasus ini mencakup dugaan pelanggaran terhadap UU TPPO, UU Perlindungan Anak, UU Anti-Pornografi, hingga kemungkinan keterlibatan dalam jaringan narkotika.
Para aktivis mendesak agar pasal-pasal tersebut segera dimasukkan dalam berkas perkara dan agar pelaku diproses secara hukum tanpa adanya perlindungan jabatan atau institusi.
“Ini bukan hanya soal individu, ini soal sistem yang gagal melindungi anak-anak kita,” ujar salah satu aktivis. “Apalagi jika pelakunya adalah aparat penegak hukum. Ini mencederai rasa keadilan masyarakat.”
Mindriyati dan Vera menegaskan kembali komitmen mereka untuk terus mengawal kasus ini hingga tuntas. Mereka juga memastikan bahwa para korban akan mendapatkan pendampingan psikologis dan perlindungan hukum secara maksimal.
Kasus ini menjadi sorotan luas dan dianggap sebagai ujian nyata bagi integritas penegakan hukum dan perlindungan anak di Indonesia, khususnya di NTT. [VoN]