Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Kardinal Robert Francis Prevost memilih Leo XIV dengan harapan ia meneruskan jiwa dan semangat Leo XIII yang dahulu, melalui Rerum Novarum, menyalakan cahaya keadilan sosial di tengah kegelapan eksploitasi Revolusi Industri pertama.
Paus Leo XIV simbol singa yang mengaum di era Revolusi Industri 4.0, merupakan pemimpin holisti visioner dan transformatif yang berani dan progresif dalam menghadapi tantangan zaman digital dan otamatisasi AI yang konon mampu menggeser harkat martabat manusia sebagai gambar dan citra Allah yang sedang berzaiarah penuh pengharapan menuju langit dan bumi baru.
Dalam era yang ditandai oleh otomatisasi, kecerdasan buatan, dan konektivitas global, Leo XIV diharapkan tampil sebagai tokoh yang tidak hanya mampu menavigasi perubahan teknologi, tetapi juga menginspirasi transformasi sosial dan ekonomi, budaya demi peradaban cinta damai sejahtera (CDS).
Paus Leo XIV di hadapan para jurnalis mancanegara pada 12 Mei 2025 mengharapkan para jurnalis tetap setia menyuarakan suara kebenaran yang berpijak pada kebenaran cinta kasih, agar setiap berita dan narasi yang disampaikan melalui kata dan gambar mampu menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus pembawa cinta damai sejahtera.
Di tengah derasnya arus informasi pada era Revolusi Industri 4.0, beliau menekankan pentingnya peran jurnalis dalam membangun kebaikan bersama dan menciptakan damai sejahtera bagi seluruh umat manusia.
Kondisi Kerja Manusiawi
Leo XIII, Paus yang menjabat dari tahun 1878 hingga 1903, dikenal sebagai pelopor ajaran sosial Gereja Katolik modern melalui ensiklik terkenalnya Rerum Novarum (1891) yang membahasakan kondisi kelas pekerja dan hubungan antara pemerintah, bisnis, pemodal, buruh dan Gereja.
Dalam dokumen tersebut, ia menanggapi dampak Revolusi Industri terhadap kaum buruh dan menegaskan hak-hak pekerja atas upah yang adil, kondisi kerja yang manusiawi, serta hak untuk berserikat.
Rerum Novarum juga menolak kapitalisme yang eksploitatif maupun sosialisme yang menghapus hak milik pribadi, dan menegaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan bersama.
Melalui ajaran ini, Leo XIII menanamkan dasar moral dan spiritual bagi perjuangan keadilan sosial, yang kemudian menjadi inspirasi bagi banyak dokumen ajaran sosial Gereja selanjutnya serta gerakan-gerakan buruh yang berlandaskan iman.
Mewarisi semangat pembaruan ini, Leo XIV tampil di era Revolusi Industri 4.0 sebagai pemimpin yang melanjutkan visi keadilan sosial dalam konteks dunia yang semakin terdigitalisasi.
Di tengah transformasi teknologi seperti otomatisasi, kecerdasan buatan, dan ekonomi platform, Leo XIV menegaskan pentingnya martabat manusia di atas efisiensi mesin.
Ia memperjuangkan agar transformasi digital tidak menciptakan ketimpangan baru, melainkan menjadi sarana untuk memberdayakan semua lapisan masyarakat.
Dalam semangat Rerum Novarum, Leo XIV menyerukan sistem kerja yang inklusif dan berkelanjutan, serta menekankan nilai solidaritas, subsidiaritas, dan tanggung jawab etis dalam pengembangan teknologi.
Kepemimpinannya menjadi suara kenabian bagi dunia modern: bahwa kemajuan sejati hanya bermakna jika membawa damai sejahtera, keadilan sosial, dan kesejahteraan bersama.
Dengan demikian, Leo XIV “singa yang mengaum” menjadi ikon pemimpin yang tidak diam menghadapi ketidakadilan sosial ekologis, tetapi bersuara lantang demi dunia yang lebih adil, damai, dan bahagia berkelanjutan.
Partisipadi Adil
Di era kecerdasan buatan (AI), kondisi kerja yang manusiawi menjadi semakin penting demi menjaga martabat manusia dan menciptakan tatanan sosial yang adil dan damai.
Otomatisasi dan teknologi canggih memang meningkatkan efisiensi, tetapi juga menimbulkan risiko besar seperti pengangguran struktural, tekanan psikis karena ketidakpastian, serta ketimpangan antara mereka yang memiliki akses terhadap teknologi dan yang tertinggal.
Dalam konteks ini, memperjuangkan hak-hak pekerja tidak hanya soal upah layak dan keamanan kerja, tetapi juga soal partisipasi yang adil dalam ekonomi digital.
Kondisi kerja yang manusiawi harus mencakup perlindungan sosial yang adaptif, keseimbangan hidup-kerja, serta lingkungan kerja yang menghargai kreativitas dan kontribusi unik manusia — hal-hal yang tidak bisa digantikan oleh mesin.
Untuk mencapai keadilan sosial yang berkelanjutan dan kebahagiaan bersama, pendidikan berkualitas unggul bagi semua menjadi fondasi utama.
Pendidikan tidak boleh lagi hanya mempersiapkan individu untuk pasar kerja konvensional, tetapi harus membentuk manusia yang adaptif, kritis, kolaboratif, dan memiliki kepekaan etis di tengah perkembangan teknologi yang cepat.
Pendidikan yang transformatif harus mengintegrasikan literasi digital, pemahaman etika AI, serta keterampilan kewargaan global.
Dengan menyediakan akses pendidikan berkualitas bagi semua kalangan, tanpa diskriminasi, masyarakat dapat membekali generasi masa depan untuk tidak hanya bersaing, tetapi juga menciptakan dunia kerja yang lebih adil, damai, dan bermakna.
Inilah investasi strategis demi terciptanya peradaban yang berbahagia secara berkelanjutan.
Ajaran Sosial Gereja
Di tengah derasnya arus Revolusi Industri 4.0 dan dominasi kecerdasan buatan (AI), dunia sangat mengharapkan sosok seperti Leo XIV untuk menerbitkan sebuah ensiklik yang menegaskan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang tak tergantikan.
Ensiklik ini diharapkan menjadi suara moral dan spiritual yang mengarahkan dunia agar tidak terjebak dalam pemujaan teknologi yang mengabaikan martabat manusia.
Leo XIV dapat menegaskan bahwa mesin, seberapa pun canggihnya, tidak bisa menggantikan hati nurani, empati, dan relasi antarmanusia yang menjadi inti dari keadilan sosial.
Dalam pandangan ini, manusia bukan sekadar “sumber daya”, melainkan pribadi yang utuh dengan hak, martabat, dan panggilan hidup yang luhur.
Ensiklik Leo XIV diharapkan juga menyoroti kondisi kerja manusiawi sebagai elemen utama dalam merespons perubahan zaman.
Dengan hadirnya AI, pola kerja berubah drastis — mulai dari pemangkasan tenaga kerja hingga munculnya pekerjaan-pekerjaan baru yang menuntut keterampilan tinggi.
Oleh karena itu, Leo XIV perlu menyerukan perlunya sistem ekonomi yang inklusif dan tangguh, yang menjamin transisi kerja yang adil (just transition) bagi semua, terutama bagi mereka yang paling rentan.
Ia dapat menegaskan bahwa pekerjaan bukan hanya soal penghasilan, tetapi sarana partisipasi dalam penciptaan dunia yang lebih baik, tempat manusia dapat tumbuh, berkembang, dan merasakan makna hidup.
Melalui ajaran sosia Gereja (ASG), Paus Leo XIV dapat menjadi penggerak global menuju tata dunia yang mengedepankan nilai-nilai solidaritas, keadilan, dan kasih — yang lebih penting dari sekadar efisiensi algoritma.
Jurnalis Sejati
Paus Leo XIV menyapa para Jurnalis yang berkumpul di aula Paulus VI Vatika, Roma, sebagai pembawa bahagia, damai, dan sejahtera karena mengedepankan tatabahasa kata dan gambar yang memancarkan kebenaran dan cinta kasih, bukan ujaran yang memecah belah atau memprovokasi konflik.
Dalam era kecerdasan buatan yang sarat informasi dan potensi disinformasi, ia mengajak umat manusia—terutama para jurnalis abad ke-21—untuk menjadi arsitek jembatan peradaban cinta, bukan tembok kebencian.
Melalui komunikasi yang berlandaskan kasih, kejujuran, dan tanggung jawab moral, Paus Leo XIV mengingatkan pentingnya etika kebenaran yang tak terpisahkan dari cinta kasih dalam menyampaikan pesan, agar media tidak hanya menjadi saluran berita, melainkan juga alat pembentuk harmoni sosial di tengah tantangan zaman digital.
Peran jurnalis sejati adalah menjadi suara hati nurani umat manusia, menyuarakan kebenaran yang tak bisa dipisahkan dari cinta kasih, karena hanya dengan fondasi kasih itulah kebenaran mampu membangun, bukan menghancurkan.
Dalam dunia yang masih diliputi perang, konflik, dan ketidakadilan, jurnalis memikul tanggung jawab moral untuk menyalakan cahaya harapan melalui keberanian menyampaikan fakta, bukan propaganda.
Ketika kebenaran dijadikan ancaman oleh kekuasaan yang menindas, banyak jurnalis justru dikorbankan dan dipenjara karena keberaniannya bersuara kebenaran.
Sudah saatnya dunia bersatu menuntut pembebasan mereka, karena memenjarakan kebenaran sama saja dengan memenjarakan kemanusiaan itu sendiri.
Tinggalkan Balasan