Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)

Dalam Misa Inaugurasi di Lapangan Basilika Santo Petrus, 18 Mei 2025,  yang dihadiri sekitar 10.000 umat peziarah, Paus Leo XIV menyampaikan pesan mendalam tentang perlunya membangun Gereja yang berakar kuat pada cinta kasih Allah sebagai sumber kehidupan dan kesatuan umat.

Ia menegaskan bahwa Gereja harus menjadi komunitas misioner yang terbuka bagi semua, menghadirkan damai dan harapan di tengah dunia yang dilanda perpecahan.

Paus juga menyoroti peran Bunda Gereja sebagai “Sekolah Cintakasih” bagi umat manusia—tempat di mana setiap insan dibentuk untuk hidup dalam harmoni, membangun jembatan pengertian, dan menjadi saksi kasih di tengah zaman yang penuh tantangan, saling mengasihi sntara umat manusia untuk membangun jembatan perdamaian.

Seorang Saudara

Dalam Misa Inaugurasinya, Paus Leo XIV dengan rendah hati menyebut dirinya sebagai seorang saudara, bukan penguasa, yang menyediakan diri untuk menjadi pelayan iman bagi seluruh umat Allah.

Ia menegaskan bahwa pelayanannya dilandasi oleh sukacita Injil dan kepercayaan penuh pada karya Roh Kudus yang membimbing Gereja sepanjang zaman.

Sebagai saudara seiman, Paus Leo XIV ingin berjalan bersama umat, bukan di depan atau di atas mereka, melainkan di tengah mereka, dalam semangat kasih dan solidaritas.

Ia mengajak seluruh Gereja untuk melangkah bersama di jalan kasih Allah, jalan yang membuka hati terhadap sesama, terlebih yang menderita dan terpinggirkan.

Dalam pesannya, Paus Leo XIV menekankan pentingnya membangun Gereja yang bersatu sebagai satu keluarga besar, tanpa dinding pemisah, tanpa perbedaan yang memecah.

Ia percaya bahwa dalam persaudaraan yang sejati, Gereja akan menjadi saksi harapan dan kasih di dunia yang sering dilanda kebencian dan ketidakpedulian.

Dengan semangat ini, Paus Leo XIV menyerukan agar setiap umat beriman ikut ambil bagian dalam membangun dunia yang lebih manusiawi, di mana kasih Allah menjadi dasar relasi antarmanusia.

Berakar pada Kasih Allah

Gereja yang berakar pada cinta kasih Allah memiliki peran yang maha penting karena dari cinta kasih itulah seluruh hidup iman Kristen bertumbuh dan menemukan maknanya yang sejati.

Cinta kasih Allah adalah sumber kesatuan yang menyatukan umat yang berbeda latar belakang menjadi satu tubuh dalam Kristus; tanpa akar ini,

Gereja hanya menjadi lembaga manusiawi yang rapuh dan mudah terpecah. Dengan mengakar pada cinta kasih yang ilahi,
Gereja tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga menjadi tanda kehadiran Allah yang memulihkan, menyembuhkan, dan mempersatukan dunia yang dilanda perpecahan.

Dalam cinta kasih Allah, Gereja belajar mengampuni, melayani tanpa syarat, dan membangun relasi yang tulus, sehingga menjadi saksi nyata damai sejahtera bagi seluruh umat manusia.

Misi Kemanusiaan dan Perdamaian

Paus Leo XIV menegarkan agar Gereja semakin menjadi misioner yang terbuka, keluar dari dirinya untuk merangkul dunia dengan semangat belas kasih, membawa harapan bagi yang tersisih, dan menjadi suara bagi yang tak terdengar.

Dalam dunia yang dilanda perpecahan dan penderitaan, Gereja dipanggil untuk hadir sebagai pembawa damai dan agen kemanusiaan, menjembatani luka-luka sejarah dengan cinta yang memulihkan.

Paus Leo XIV, dalam arah pastoralnya melalui kotbahnya di saat pengukuhannya sebagai Paus, mengungkapkan harapan besar agar Gereja masa kini dan masa depan semakin menjadi komunitas iman yang sungguh-sungguh misioner.

Ia menegaskan bahwa misi Gereja agar  perayaan liturgi atau kehidupan internal umat beriman harus mengalir keluar sebagai kesaksian hidup yang nyata akan kasih Allah.

Gereja dipanggil untuk menjadi perpanjangan tangan Allah yang penuh belas kasih—menjangkau mereka yang terpinggirkan, yang tersesat, yang kehilangan harapan, serta yang belum mengenal Injil.

Dalam dunia yang semakin sekuler dan seringkali acuh terhadap nilai-nilai rohani, Gereja harus hadir dengan wajah yang ramah, penuh pengertian, dan membawa kabar sukacita, bukan penghakiman.

Lebih jauh, Paus Leo XIV mengajak seluruh umat beriman, baik awam maupun klerus, untuk mengambil bagian aktif dalam perutusan misi kemanusiaan dan perdamaian dunia.

Ia menekankan bahwa misi pewartaan bukan tugas segelintir orang terpilih, melainkan panggilan semua orang yang telah dibaptis untuk menjadi saksi cinta kasih Allah dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam semangat ini, Gereja tidak hanya mewartakan Sabda Allah melalui kata-kata, tetapi juga melalui tindakan kasih, keadilan, dan perdamaian yang menjangkau semua makhluk ciptaan, termasuk alam semesta yang kini tengah menjerit karena krisis sosial- ekologis.

Dengan menjadi komunitas iman yang misioner yang terduka dan dialogis, Gereja menjawab panggilan Kristus untuk “pergilah dan wartakanlah Injil ke seluruh dunia”, menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia yang haus akan cinta dan kebenaran.

Hidup Harmoni

Di abad ke-21 yang ditandai dengan kemajuan teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI), Gereja dihadapkan pada tantangan dan peluang baru dalam mewartakan Injil serta membangun peradaban cinta kasih.

Dalam dunia yang semakin terhubung namun rentan terhadap polarisasi, disinformasi, dan isolasi sosial,
Gereja dipanggil untuk menjadi ruang dialog yang hidup—bukan hanya antar umat Kristiani, tetapi juga dengan agama lain, budaya, dan pemikiran modern.

Dialog menjadi sarana penting untuk membangun jembatan pengertian, saling menghormati, dan kerja sama lintas batas demi menciptakan masyarakat yang lebih manusiawi.

Gereja, dalam semangat Injil, tidak boleh tertutup atau eksklusif, tetapi justru harus hadir sebagai suara profetik yang mengajak dunia untuk melihat bahwa cinta kasih, bukan kekuasaan atau algoritma, adalah dasar sejati relasi antarmanusia.

Dalam konteks digitalisasi dan AI yang membentuk cara manusia berinteraksi dan berpikir, Gereja ditantang untuk tidak hanya mengikuti arus, tetapi memberi arah moral dan etis bagi penggunaan teknologi.

Dialog dengan dunia digital tidak berarti kompromi terhadap iman, melainkan kehadiran aktif untuk mewartakan nilai-nilai kasih, keadilan, dan kebenaran dalam ruang virtual yang sering kali dingin dan tak bermuka.

Gereja harus mampu menjadikan platform digital sebagai medan misi baru, di mana Sabda Allah disebarkan melalui kesaksian hidup yang otentik, bukan sekadar slogan kosong.

Dengan membangun dialog yang tulus dan terbuka di era ini, Gereja tidak hanya menjaga relevansinya, tetapi juga membantu membentuk masa depan dunia yang berakar pada cinta kasih ilahi—sebuah peradaban yang menempatkan martabat manusia di atas kemajuan teknologis semata.

“Sekolah Cinta Kasih”

Meskipun istilah “sekolah cinta kasih” tidak disebutkan secara eksplisit dalam khotbah Paus Leo XIV, semangat dan maknanya sangat terasa sebagai inti dari pesan pastoral beliau.

Dalam relevansi aktual, Bunda Gereja dapat dimengerti sebagai tempat di mana umat dibentuk melalui sabda, sakramen, dan teladan hidup untuk menjadi pribadi yang menghidupi cinta kasih Allah secara konkret.

Dari rahim Bunda Gereja inilah lahir misi evangelisasi baru yang menekankan kesaksian hidup yang penuh kasih, keadilan, dan perdamaian di tengah masyarakat yang plural dan kompleks.

Pendidikan iman dan nilai-nilai kemanusiaan yang ditanamkan oleh Gereja membentuk umat untuk membangun harmoni dan dialog lintas batas, menjembatani luka-luka sosial dan perpecahan.

Maka, “sekolah cinta kasih” menjadi gambaran rohani yang hidup, di mana Gereja mengutus anak-anaknya untuk menjadi pelaku peradaban cinta dan persaudaraan sejati bagi seluruh umat manusia.

Lembaga Pendidikan Katolik memegang peranan maha penting dalam konteks Gereja sebagai komunitas Pentekostal yang terus dihidupi dan digerakkan oleh Roh Kudus.

Paus Leo XIV menekankan bahwa pendidikan Katolik tidak sekadar bertujuan mencerdaskan secara akademik intelektual, tetapi terlebih menciptakan pribadi-pribadi yang terbuka terhadap karya Roh Kudus—yakni pribadi yang mampu membaca tanda-tanda zaman dan menjawabnya dengan kebijaksanaan, keberanian, serta kasih.

Dalam semangat Pentakosta, lembaga pendidikan Katolik diharapkan menjadi tempat di mana iman dan akal budi dipersatukan, sehingga setiap siswa dan pendidik dibentuk  untuk sukses membangun dunia secara holistik, humanis dan ekologi, dengan   menjadi saksi Kristus yang berwajah ramah penuh cinta kasih persaudaraan.

Melalui pendidikan yang berakar pada Injil, Roh Kudus berkarya membentuk generasi yang tangguh secara moral, rendah hati, dan penuh semangat misioner.

Paus Leo XIV juga mengajak agar lembaga pendidikan Katolik menjadi jembatan peradaban cinta kasih, yang mempromosikan hidup dalam harmoni di tengah dunia yang terpecah oleh konflik, individualisme, dan krisis kemanusiaan.

Dalam era globalisasi dan teknologi yang cepat berubah, pendidikan Katolik harus menjadi medan pertumbuhan nilai-nilai seperti keadilan, perdamaian, solidaritas, dan dialog lintas budaya serta agama.

Para pendidik dipanggil untuk menjadi saksi iman yang hidup, sedangkan para peserta didik dibina untuk menjadi pembawa damai dan agen perubahan sosial.

Dengan membiarkan diri dipimpin oleh Roh Kudus, lembaga pendidikan Katolik akan terus melahirkan manusia-manusia baru yang membangun jembatan, bukan tembok—yang memilih kasih dan pengampunan daripada kebencian dan kekuasaan—serta yang berkontribusi nyata dalam membangun dunia yang lebih adil dan penuh belas kasih.