Cerpen Fiksi Terinspirasi Kisah Nyata
Oleh: Fortunatus Hamsah Manah
Di setiap tepi dunia, selalu ada sepetak tanah yang tak masuk dalam logika kekuasaan. Bukan karena tak terlihat, melainkan karena terlalu “kecil” untuk dianggap penting.
Di atas tanah seperti itu, manusia tumbuh bersama ombak, bukan diukur dari sertifikat, melainkan dari seberapa banyak jejak kaki mereka menyatu dalam pasir dan seberapa dalam jiwa mereka tertambat pada laut.
Bagi mereka, tanah bukan sekadar tempat tinggal. Tanah adalah tubuh. Laut adalah napas. Rumah bukan bangunan, tapi keberlanjutan hidup yang diwariskan dari leluhur, dijaga oleh adat, dan dijahit dengan ingatan.
Namun dalam dunia yang semakin rakus mengukur nilai dengan uang, warisan semacam itu kerap dianggap liar—dan karenanya, harus disingkirkan.
Pulau dan Anak Laut
Pulau itu tak memiliki nama dalam peta. Namun bagi Ranu, ia adalah segalanya. Tempat pertama ia belajar berenang sebelum bisa berjalan, tempat ia mendengar dongeng-dongeng laut dari neneknya, dan tempat ayahnya mengajarinya membaca arah angin hanya dari suara ombak.
Pulau itu kecil. Hanya ada dua puluh rumah beratap ilalang dan satu balai bambu tempat warga berkumpul. Di sekitarnya, laut membentang biru pekat, menjadi satu-satunya sekolah, pasar, dan ladang kehidupan bagi seluruh penduduknya.
Sejak Ranu bisa mengingat, ia tak pernah melihat jalan raya, gedung, atau suara deru kendaraan.
Tapi ia tahu, kehidupan yang mereka miliki cukup. Mereka tidak kaya, tapi tidak juga meminta-minta.
Mereka tidak punya listrik tetap, tapi mereka memiliki langit penuh bintang yang tak terhalang cahaya buatan.
Dan setiap pagi, mereka menyambut matahari dengan nyanyian, bukan bunyi klakson.
“Laut memberi kita makan,” kata ayahnya.
“Tapi lebih dari itu, laut memberi kita hidup.”
Datangnya Mesin
Segalanya berubah pada bulan keempat tahun itu. Dari langit, helikopter mendarat di dermaga kecil yang dibangun dari batang kelapa.
Beberapa lelaki berbaju rapi turun, menenteng peta dan dokumen. Mereka menatap pulau seperti seorang pembeli menaksir rumah kosong.
Seminggu kemudian, berita itu sampai di telinga warga: pulau mereka akan diubah menjadi kawasan wisata elit.
Sebuah perusahaan bernama Sagara Raya Group telah mendapatkan izin dan “membeli” setengah pulau dari keluarga bangsawan di kota yang mengaku pemilik tanah.
Lalu datanglah Bupati Kirano, lelaki berdasi dengan senyum yang dibuat-buat. Ia berdiri di atas balai bambu dan berkata dengan lantang, “Relokasi ini untuk kebaikan kalian. Pemerintah akan sediakan rumah, listrik, sekolah. Kalian hanya perlu pergi.”
Seketika suara rakyat meledak. “Kami tidak hanya butuh rumah! Kami butuh laut!”
Tetua kampung, Lale, berdiri di depan. Tubuhnya kurus, tapi suaranya dalam.
“Kami tak pernah menjual tanah ini. Leluhur kami dikuburkan di sini. Anak-anak kami lahir di sini. Kalian tidak bisa membeli ingatan.”
Tapi penguasa tak mendengar bahasa hati. Yang mereka dengar hanya angka dan keuntungan.
Api dalam Dada
Unjuk rasa meletus. Ranu ikut berdiri di barisan depan, menggenggam tangan ayahnya dan membawa spanduk dari kain goni bertuliskan: “Kami bukan penghalang kemajuan, kami penjaga kehidupan.”
Berita tentang pulau kecil yang menolak digusur mulai mengalir ke kota. Mahasiswa, aktivis lingkungan, dan pegiat adat berdatangan. Pulau itu yang dulunya sepi kini menjadi simbol perlawanan. Tapi ancaman juga menguat.
Truk-truk besar datang. Ekskavator menunggu komando. Sementara itu, warga tetap menyalakan api unggun setiap malam, berjaga, berdoa, dan menulis surat-surat yang tak pernah dibalas.
Ranu menatap laut, bertanya dalam hati, “Apa artinya pembangunan jika harus menghancurkan rumah orang lain?”
Suara yang Tak Akan Hilang
Lale jatuh sakit. Ia tak kuat melihat tanahnya dijadikan negosiasi. Sebelum meninggal, ia memanggil Ranu dan meletakkan kerang kecil ke tangannya.
“Ini dari laut. Kalau kamu tak bisa tinggal di sini lagi, biarkan kerang ini mengingatkanmu siapa kamu.”
Pada hari pemakaman Lale, seluruh penduduk berdiri di tepi pantai, memandangi laut dengan mata basah. Tapi di balik kesedihan, ada bara yang menyala.
Mereka memutuskan tak akan pergi. Kalau harus dipaksa, mereka akan tetap tinggal, duduk di depan ekskavator, tubuh mereka jadi pagar hidup.
Karena pulau ini bukan milik investor, bukan milik pejabat. Pulau ini milik mereka yang bersedia mencintainya lebih dari sekadar nilai jual.
Di dunia yang semakin disesaki suara mesin dan dokumen hukum, masih ada manusia yang mempertaruhkan tubuhnya demi mempertahankan sepetak tanah yang dianggap tak penting.
Bukan karena mereka tak paham perkembangan, tapi karena mereka tahu arti kehormatan.
Pulau itu mungkin suatu hari lenyap dari peta. Mungkin juga kalah oleh kuasa dan uang.
Tapi kisah tentang anak laut, seorang tetua adat, dan penduduk yang menolak tercerabut dari tanahnya, akan terus hidup—mengalir di antara ombak dan diceritakan kembali oleh angin kepada mereka yang mau mendengar.
Dan selama masih ada manusia seperti Ranu, dunia tak akan sepenuhnya kehilangan makna tentang “rumah”.
Tinggalkan Balasan