Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Menggunakan metafora cahaya untuk menujukkan arah dan harapan dalama dunia pendidikan di sekolah.
Dengan demikian revolusi pendidikan sejati dimulai dari dalam, bukan dari teknologi mesin semata.
Menjadi terdidik bukan sekadar menguasai pengetahuan, tetapi menyadari jalinan hidup yang saling terhubung, di mana akal budi dibimbing oleh hati nurani.
Menjadi terkasih berarti tumbuh dalam kasih sayang yang membebaskan, menumbuhkan empati, dan merawat kehidupan dalam harmoni dengan sesame, alam dan Tuhan.
Menjadi terhormat adalah hidup dengan integritas, kejujuran dan tanggung jawab moral, demi membangun peradaban cinta yang berkelanjutan bagi manusia dan semesta alam.
Sekolah cinta kasih akan kebenaran adalah tempat tumbuhnya insan yang terdidik dalam kebijaksanaan, terkasih dalam kasih sayang yang memanusiakan, dan terhormat dalam laku hidup yang penuh integritas.
Di sana, pendidikan bukan sekadar pencapaian akademis, melainkan perjalanan jiwa menuju harmoni dengan diri, sesama, alam dan Tuhan.
Inilah taman peradaban cinta sebagai tempat benih kebenaran ditanam, dirawat, dan tumbuh menjadi harapan bagi masa depan yang holistik, humanis, ekologis, dan bahagia berkelanjutan.
Terdidik
Kalimat “Beautiful and propulsive… despite the singularity of childhood, the questions her book pose are universal: How much of ourselves should we give to those we love? And how much must we betray them to grow up?” dari buku Educated karya Tara Westover menyimpan makna holistik yang mendalam karena ia merangkum dinamika kompleks antara pertumbuhan pribadi dan ikatan batin dalam lingkup keluarga serta cinta.
Secara holistik, kalimat ini mencerminkan pengalaman manusia sebagai satu kesatuan utuh: tubuh, jiwa, dan pikiran yang tumbuh melalui konflik batin dan ketegangan antara loyalitas dan kebebasan diri.
Ia menunjukkan bahwa untuk menjadi “terdidik” bukan sekadar soal intelektual, tapi juga soal keberanian eksistensial untuk bertanya: siapa aku di luar harapan mereka yang mencintaiku?
Dari sisi humanis, kalimat tersebut menggarisbawahi nilai-nilai martabat dan pilihan individu dalam konteks relasi personal.
Tara menggambarkan bahwa masa kanak-kanak—meski unik bagi tiap individu—bermuara pada pertanyaan universal yang mengguncang fondasi emosi: seberapa banyak kita harus mengorbankan diri demi cinta, dan kapan kita harus mengkhianatinya demi pertumbuhan diri?
Ini bukan pengkhianatan dalam arti negatif, melainkan suatu pelepasan yang menyakitkan namun perlu agar seseorang dapat menemukan jati dirinya.
Dalam narasi Tara, pendidikan bukan semata pencapaian formal, melainkan proses pembebasan manusia dari definisi yang dibentuk oleh orang lain.
Secara ekologis dalam pengertian ekosistem relasional manusia—kalimat ini menyiratkan bahwa kehidupan bukan hanya tentang hubungan manusia dengan lingkungan fisik, tetapi juga lingkungan batin dan sosial yang membentuk identitas.
Pertumbuhan diri adalah sebuah proses ekologis: seseorang harus menata ulang hubungan dengan “tanah asalnya” (keluarga, komunitas, budaya) untuk dapat tumbuh sehat.
Namun seperti dalam alam, setiap pelepasan daun tua memberi ruang bagi tunas baru. Maka, buku Educated dan kalimat ini mengajak kita merenungi bahwa peradaban cinta, pengertian, dan kemanusiaan hanya mungkin terwujud bila kita berani menata ulang hubungan kita dengan orang lain dan dengan diri sendiri dengan penuh empati dan kejujuran.
Kebenaran yang Dipilihnya Sendiri
Jejaring kata-kata kunci dari buku Educated ini membentuk lanskap makna yang kompleks dan mendalam, mencerminkan perjalanan eksistensial Tara Westover dari keterkungkungan menuju kebebasan diri.
Frasa seperti “choose the good,” “the Lord will provide,” “shield and buckler,” dan “perfect in the generations” mewakili dunia spiritual dan moral yang ketat, sebuah kerangka keyakinan absolut yang menjadi fondasi keluarganya.
Dalam konteks ini, pendidikan bukan sekadar sekolah, tapi sebuah benturan antara dogma yang diwariskan dan hasrat untuk mencari kebenaran sendiri.
Educated menjadi kisah tentang bagaimana seseorang belajar memisahkan iman yang murni dari manipulasi kekuasaan yang terselubung dalam doktrin.
Ini adalah tentang memilih kebaikan yang lahir dari kesadaran, bukan dari ketakutan.
Simbol-simbol seperti “cream shoes,” “fish eyes,” “tiny harlots,” dan “my feet no longer to touch earth” menggambarkan tubuh dan identitas perempuan dalam pandangan konservatif, di mana tubuh menjadi beban moral dan sumber penghakiman.
Di sinilah istilah “Apache women” dan “honest dirt” menjadi pemberontakan simbolis terhadap pandangan dunia yang menindas perempuan, sekaligus bentuk perlawanan terhadap pemurnian palsu yang melemahkan martabat manusia.
Identitas perempuan dalam narasi ini tak lagi ditentukan oleh aturan lama yang membungkam (“silence in the churches”) tetapi oleh insting dan pengalaman hidup yang membebaskan.
Pendidikan, dalam pengertian Tara, menjadi proses pemulihan tubuh, martabat, dan agensi perempuan.
Frasa seperti “disloyal man,” “disobedient heaven,” dan “shield of feathers” membawa pembaca ke ranah konflik batin paling dalam antara ketaatan dan keberanian, antara warisan dan transformasi.
Kata-kata ini mengisyaratkan bahwa menjadi educated berarti berani mengkhianati versi lama dari diri kita, dari keluarga, bahkan dari keyakinan yang tak lagi membebaskan.
Seperti seorang midwife yang membantu kelahiran baru, Tara melahirkan ulang dirinya sendiri melalui luka, kehilangan, dan pencarian makna.
Maka, Educated bukan hanya kisah seorang gadis yang keluar dari gunung untuk masuk universitas, tapi tentang seorang manusia yang menggali dirinya dari reruntuhan loyalitas buta, hingga mampu berdiri dengan kebenaran yang dipilih sendiri, penuh keberanian, sekaligus cinta.
Proses Pembebasan Jiwa yang Mendalam
Frasa-frasa tersebut, ketika dirangkai secara utuh, membentuk konektivitas naratif yang menggambarkan transformasi identitas dan spiritualitas dalam Educated.
“In the beginning”, “recitals of the fathers”, dan “to keep it holy” menandai awal dari kehidupan Tara yang tertanam dalam tradisi patriarkal dan religius yang kuat, sebuah dunia di mana kebenaran diturunkan, bukan ditemukan.
Dalam lingkungan itu, simbol-simbol seperti “blood and feathers” dan “skullcap” bukan hanya benda, melainkan representasi dari kesucian, pengorbanan, dan batasan tubuh serta pikiran.
Di tengah ritus-ritus itu, terdapat ketegangan antara “what we whispered and what we screamed”—sebuah metafora untuk suara hati yang ditekan dan kebenaran yang ingin menyeruak.
Ini adalah lanskap eksistensial dan spiritual di mana pendidikan sejati lahir bukan dari buku, tetapi dari pergolakan batin yang dalam.
Transformasi Tara mulai terlihat dalam pernyataan tegas seperti “I am from Idaho” dan “a knight errant”, menandakan pencarian identitas yang mandiri dan keberanian untuk menempuh jalan di luar jalur keluarga.
Frasa “the work of sulphur” dan “waiting for the moving water” mencerminkan proses penyucian jiwa yang tidak instan, melainkan melewati ujian api dan keraguan, di mana ia harus melepaskan diri dari keyakinan lama untuk menerima kebenaran yang lebih luas.
Dalam pengakuan “If I were a woman” dan simbol “Pygmalion”, kita melihat refleksi terhadap tubuh dan gender sebagai medan perjuangan untuk menjadi manusia utuh—bukan hasil dari ciptaan orang lain, melainkan hasil penemuan diri sendiri.
Puncaknya adalah “graduation”, bukan sekadar seremoni akademik, melainkan lambang kelahiran baru: sebuah pendidikan yang menyatukan luka masa lalu, pengetahuan, dan keberanian untuk mengakui kebenaran yang diperjuangkan sendiri.
Di sinilah Educated menjadi kisah yang utuh—tentang pendidikan sebagai proses pembebasan jiwa yang mendalam dan radikal.
Dari Luka Menjadi Kemuliaan Jiwa
Terdidik, tercinta, dan terhormat, tiga jejak suci yang ditapaki Tara Westover dalam Educated, dirajut dari luka menjadi kemuliaan jiwa.
Di awal langkah, ia berada di bawah hand of the Almighty, tangan yang diyakini memberi makna mutlak, namun juga menggenggam erat batas berpikir dan bergerak.
Dalam dunia yang sering berubah dari tragedy then farce, Tara tumbuh sebagai a brawling woman in a wide house, mengguncang tembok-tembok narasi keluarga dan kepercayaan lama yang menahannya.
Namun justru dalam kegaduhan dan keterasingan itulah, lahir daya hidup: the sorcery of physics membuka matanya pada dunia di luar kitab-kitab lama dan the substance of things, segala yang tak terlihat namun nyata menjadi peta untuk memahami bahwa pendidikan sejati bukan tentang membuang masa lalu, melainkan menyaringnya hingga jernih.
Ia menatap west of the sun, tempat segala kemungkinan membentang, dan dengan four long arms, simbol keberanian, cinta, trauma, dan harapan, ia berputar dalam whirling kehidupan yang penuh teka-teki.
Dalam tiap langkah, Tara gambling for redemption, mempertaruhkan keterasingannya dalam keheningan demi hak untuk memilih kebenaran yang ia yakini.
Di hadapannya: family bukan hanya darah, tetapi juga mereka yang hadir lewat pemahaman, kesadaran dan kasih.
Ia melihat dirinya watching the buffalo, makhluk yang sakral dan liar, sebagaimana jiwanya sendiri yang dulu tunduk, kini bebas menatap cakrawala harapan masa depan.
Maka educated bukanlah kata akhir, tetapi doa panjang yang dijahit dengan keberanian. Untuk tetap mencinta meski disangkal, untuk tetap terhormat meski dicaci, dan untuk tetap terdidik, tercinta dan terhormat meski harus berdiri seorang diri dalam keheningan total semesta.
Tinggalkan Balasan