Bajawa, VoxNTT.com – Hendrika Ine Mole, seorang janda dengan tiga orang anak, masih duduk termenung di beranda rumahnya ketika VoxNtt.com menyambangi kediamannya di Bajawa pada Kamis, 22 Mei 2025.
Sorot matanya tampak kosong, menyiratkan kelelahan fisik dan batin akibat persoalan hukum yang tengah menjeratnya—persoalan yang bermula dari niat baik terhadap keluarga sendiri.
Kisah ini bermula 11 tahun silam, tepatnya pada 12 Februari 2014. Dengan itikad membantu, Hendrika menyerahkan sertifikat tanah miliknya kepada sepupunya, Aloysius Ago.
Tanah tersebut, seluas 3.412 meter persegi dan terletak di Kelurahan Lebijaga, Kota Bajawa, telah bersertifikat atas nama Hendrika dengan nomor Sertifikat Hak Milik (SHM) 348.
Ia bermaksud menjadikannya sebagai jaminan untuk biaya pendidikan anak-anaknya, namun berubah pikiran karena desakan Aloysius yang membutuhkan jaminan pinjaman modal usaha.
“Saya percaya saja, karena kami keluarga,” tutur Heni, sapaan akrab Hendrika.
Atas permintaan Aloysius dan istrinya, Kresensiana Bupu, Hendrika bersedia meminjamkan sertifikat tersebut dengan dasar perjanjian pinjam pakai di atas materai.
Namun karena bank mensyaratkan tanah jaminan atas nama peminjam, Hendrika akhirnya dibujuk untuk membuat Akta Jual Beli (AJB) fiktif di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Dari sana, Aloysius berhasil memperoleh pinjaman sebesar Rp600 juta dari Bank BRI Cabang Bajawa.
Masalah muncul ketika Hendrika kembali dari perantauan dan mendapati bahwa Aloysius telah melakukan balik nama atas sertifikat tersebut secara sepihak.
Merasa tertipu, ia melaporkan dugaan penggelapan ke Polres Ngada. Sayangnya, laporan tersebut tidak berjalan efektif.
Baru pada 2024, dibantu tim hukum dari VDS Law Office yang diwakili Florianus Djogo dan Abraham Ala Aka, Hendrika membawa kasus ini hingga ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Di tengah perjuangannya mengembalikan hak atas tanah tersebut, pihak keluarga Aloysius justru menggugat Hendrika secara perdata di Pengadilan Negeri Bajawa.
Tiga kali gugatan diajukan—dua gugatan pertama berakhir tanpa keputusan pokok perkara, sementara gugatan ketiga dikabulkan sebagian oleh hakim dengan dasar keberadaan AJB dan sertifikat tanah yang dianggap sah.
Hendrika menyesalkan keputusan tersebut. Ia mempertanyakan mengapa hakim mengabaikan dokumen perjanjian pinjam pakai yang justru lebih awal dari AJB.
“Surat pinjam pakai itu dibuat sebelum AJB dan memuat klausul pengembalian sertifikat setelah utang lunas. Tapi sampai sekarang tidak pernah ada bukti pelunasan,” tegasnya.
Tim hukum Hendrika juga mengkritik pengakuan saksi-saksi yang memiliki hubungan darah dengan penggugat, seperti Kristianus Lalu dan Agustina Lusi.
Menurut Pasal 145 HIR, kesaksian pihak yang terikat hubungan keluarga tidak dapat diterima dalam perkara perdata semacam ini.
Kini, perkara tersebut telah diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan nomor perkara: 17/PDT/2025/PT KPG. Tim hukum berharap MA dapat melihat niat awal perikatan dan substansi keadilan dalam kasus ini.
“Kalau memang negara ini menjunjung hukum, maka hukum harus menegakkan kejujuran dan niat baik,” kata Abraham.
Florianus Djogo menambahkan, kasus ini menyiratkan ironi. Aloysius semasa hidup dikenal sebagai pebisnis kopi yang sukses bahkan hingga ke pasar ekspor.
“Tapi mengapa masih mengincar tanah milik seorang janda yang membesarkan tiga anak sendirian?” ujarnya.
Kasus Hendrika Mole menjadi cermin betapa rapuhnya kepercayaan dalam hubungan kekeluargaan ketika dicampuri urusan kepentingan pribadi.
Saat niat baik dibalas dengan pengkhianatan, yang tersisa hanyalah perjuangan panjang mencari keadilan.
Kini, Hendrika masih menunggu keputusan Mahkamah Agung dengan harapan tanah warisan itu bisa kembali ke pangkuannya—sebagaimana ia pernah berjanji pada diri sendiri: lahan itu adalah harapan untuk masa depan anak-anaknya.
Penulis: Patrianus Meo Djawa
Tinggalkan Balasan