Mbay, VoxNTT.com – Gelombang penolakan terhadap proyek energi baru terbarukan berbasis panas bumi (geotermal) di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, terus meluas.
Setelah sebelumnya terjadi penolakan di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, kini giliran masyarakat Kabupaten Nagekeo yang menyuarakan keberatan mereka terhadap proyek tersebut.
Aksi penolakan terbaru dilakukan oleh ratusan warga di sekitar Desa Marapokot, Kecamatan Aesesa, pada Minggu, 25 Mei 2025.
Dalam deklarasi yang berlangsung di dekat mata air panas Marapokot, warga menyatakan sikap tegas menolak proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi yang direncanakan akan dibangun di wilayah mereka.
Masyarakat yang tergabung dalam komunitas Paroki Aeramo, khususnya warga Stasi Marapokot dan Stasi Tonggurambang, menyampaikan kekhawatiran mereka sebagai calon korban langsung jika proyek ini benar-benar dijalankan.
Penolakan tersebut mendapat dukungan kuat dari para tetua adat Suku Dhawe, pemilik ulayat atas tanah yang akan menjadi lokasi pengeboran.
Penolakan ini juga mendapat dukungan dari Gereja Katolik Roma. Pastor Paroki Aeramo, Pater Marselinus Kabur, OFM, hadir bersama sejumlah biarawan dan biarawati dari wilayah Keuskupan Agung Ende.

Dalam pernyataannya, Pater Marselinus menyatakan bahwa sikap penolakan tersebut sejalan dengan arahan Uskup Agung Ende, Mgr. Budi Kleden, SVD.
“Saya, sebagai Pastor, selalu sejalan dengan amanat Bapak Uskup agar kami berjalan bersama umat dan menyatakan penolakan terhadap proyek geotermal,” ujar Pater Marselinus dalam deklarasi tersebut.
Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2020, terdapat tiga lokasi di Kabupaten Nagekeo yang memiliki potensi panas bumi, yaitu di Desa Pajoreja (Kecamatan Mauponggo), Desa Marapokot (Kecamatan Aesesa), dan Desa Renduteno (Kecamatan Aesesa Selatan). Suhu manifestasi panas bumi di ketiga titik tersebut berkisar antara 37 hingga 38 derajat Celsius.
Meskipun geotermal diklaim sebagai sumber energi ramah lingkungan, masyarakat adat Suku Dhawe mengaku trauma atas sejumlah proyek serupa di berbagai wilayah Indonesia yang berujung pada kerusakan ekologis, seperti di Mataloko (Kabupaten Ngada), wilayah Timor, dan Porong (Sidoarjo, Jawa Timur).
Ketua Persekutuan Masyarakat Adat Suku Dhawe, Mbulang Lukas, menegaskan bahwa pihaknya tidak menolak pembangunan secara umum. Namun, ia menyatakan penolakan terhadap proyek geotermal karena berpotensi mengancam keberlangsungan hidup dan lingkungan masyarakat adat.
“Kami tidak sedang menolak pembangunan, tapi menolak alih fungsi lahan pertanian untuk proyek geotermal. Proyek ini berpotensi menghilangkan sekitar 6.880,5 hektare sawah yang menjadi sumber penghidupan masyarakat,” ujar Lukas di hadapan peserta deklarasi.
Sebagai bentuk komitmen, masyarakat Suku Dhawe juga menggelar sumpah adat yang melarang setiap warga Marapokot mendukung proyek geotermal di masa mendatang.
Deklarasi ini menjadi sinyal kuat bahwa proyek-proyek energi terbarukan perlu mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan ekologi secara lebih mendalam agar tidak menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal.
Penulis: Patrianus Meo Djawa
Tinggalkan Balasan