Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM

Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)

Humanisasi lingkungan merupakan proses memanusiakan kembali hubungan antara manusia dan lingkungannya dengan menanamkan nilai-nilai kepedulian, tanggung jawab, serta harmoni terhadap alam.

Dalam konteks kebahagiaan berkelanjutan, humanisasi lingkungan menekankan bahwa kesejahteraan manusia tidak hanya diukur dari aspek material, tetapi juga dari kualitas hidup yang selaras dengan alam.

Dengan menciptakan lingkungan yang sehat, lestari, dan mendukung kehidupan bersama, manusia dapat merasakan kebahagiaan yang lebih utuh dan berjangka panjang.

Pendekatan ini mendorong pembangunan yang tidak merusak ekosistem, melibatkan partisipasi aktif masyarakat, serta menumbuhkan kesadaran bahwa keberlanjutan lingkungan adalah fondasi utama bagi kebahagiaan generasi kini dan mendatang.

Komodifikasi Lingkungan

Komodifikasi lingkungan adalah proses mengubah alam atau sumber daya alam menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan demi keuntungan ekonomi, tanpa mempertimbangkan nilai intrinsik atau fungsi ekologisnya.

Lingkungan yang semula dianggap sebagai warisan bersama dan sumber kehidupan diubah menjadi objek eksploitasi pasar.

Ciri-ciri dari komodifikasi lingkungan antara lain: eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran, pengabaian terhadap kelestarian lingkungan, perubahan fungsi lahan demi kepentingan ekonomi, dan maraknya privatisasi ruang publik atau alam.

Fenomena ini sering kali disertai dengan budaya ketamakan dan kerakusan, yaitu sikap manusia atau korporasi yang mengutamakan keuntungan pribadi atau kelompok secara berlebihan tanpa memperhatikan keberlanjutan jangka panjang.

Misalnya, pembabatan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, reklamasi pantai untuk kepentingan pariwisata elit, atau penambangan besar-besaran yang merusak ekosistem dan meminggirkan masyarakat adat.

Dampak dari komodifikasi lingkungan dan budaya kerakusan sangat merugikan, baik bagi alam maupun manusia.

Kerusakan ekosistem, bencana alam yang semakin sering terjadi, punahnya keanekaragaman hayati, serta hilangnya mata pencaharian masyarakat lokal merupakan sebagian dari konsekuensi yang muncul.

Selain itu, hal ini memperdalam ketimpangan sosial dan menciptakan konflik kepemilikan atas sumber daya.

Untuk menanggulangi hal ini, muncul pendekatan ekopedagogi, yaitu pendekatan pendidikan kritis yang mengajarkan kesadaran ekologis dan keadilan lingkungan.

Salah satu tokoh penting dalam gerakan ini adalah Paulo Freire, yang meski dikenal dalam pendidikan pembebasan, gagasannya menginspirasi banyak pendekatan ekopedagogi modern.

Tokoh lainnya seperti Richard Kahn secara khusus mengembangkan konsep ekopedagogi sebagai alat perlawanan terhadap sistem ekonomi yang eksploitatif.

Contoh penerapan ekopedagogi dapat ditemukan dalam pendidikan lingkungan hidup berbasis komunitas yang mengajarkan cara hidup berkelanjutan, pengelolaan sumber daya lokal secara bijak, dan keterlibatan aktif masyarakat dalam menjaga bumi sebagai rumah bersama.

Humanisasi Lingkungan

Humanisasi lingkungan adalah pendekatan yang menempatkan manusia sebagai bagian integral dari alam, bukan sebagai penguasa atau pemiliknya.

Tujuan utama dari humanisasi lingkungan adalah menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan demi mencapai kehidupan yang satu sehat dan bahagia berkelanjutan.

Prinsip-prinsip utama dari pendekatan ini meliputi kesalingterhubungan antara manusia dan alam, empati ekologis, keadilan lingkungan, dan tanggung jawab antargenerasi.

Dalam praktiknya, humanisasi lingkungan menolak eksploitasi alam secara serakah dan menekankan pentingnya peran manusia sebagai penjaga (steward) bumi.

Ciri-ciri utamanya adalah adanya kepedulian terhadap keberlanjutan ekosistem, pengakuan terhadap nilai intrinsik alam, pelibatan komunitas dalam pengambilan keputusan lingkungan, dan penerapan gaya hidup ramah lingkungan yang seimbang dengan kebutuhan sosial dan spiritual manusia.

Tokoh yang banyak membahas gagasan ini adalah David W. Orr, seorang pakar pendidikan lingkungan yang menulis buku “Earth in Mind: On Education, Environment, and the Human Prospect”.

Orr menekankan bahwa krisis lingkungan bukan hanya krisis teknis, melainkan juga krisis moral dan pendidikan.

Ia menyerukan perlunya pendidikan yang membentuk kesadaran ekologis dan rasa tanggung jawab terhadap planet ini.

Gagasan humanisasi lingkungan juga selaras dengan pemikiran Satish Kumar dalam bukunya “Soil, Soul, Society”, yang mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati dan keberlanjutan lahir dari hubungan yang seimbang antara tanah (alam), jiwa (manusia), dan masyarakat.

Melalui pendekatan ini, diharapkan tercipta kehidupan yang tidak hanya sehat secara fisik, tetapi juga bahagia secara holistik—menghargai alam, sesama, dan masa depan bersama.

Greening Academy

Greening Academy adalah konsep pendidikan yang berfokus pada integrasi nilai-nilai ekologi, keadilan sosial, dan tanggung jawab moral ke dalam sistem pembelajaran.

Istilah ini diperkenalkan dan dikembangkan oleh Richard Kahn, seorang tokoh penting dalam bidang ekopedagogi.

Dalam pandangannya, Greening Academy merupakan upaya untuk mentransformasi institusi pendidikan agar tidak hanya menjadi tempat mentransfer pengetahuan, tetapi juga menjadi ruang pembentukan kesadaran ekologis dan agen perubahan terhadap krisis lingkungan global.

Konsep ini muncul sebagai kritik terhadap sistem pendidikan modern yang dianggap terlalu teknokratis, materialistis, dan terputus dari realitas ekologis yang sedang dihadapi umat manusia.

Dengan mengembangkan Greening Academy, Kahn mengajak institusi pendidikan untuk menjadi pelopor dalam menciptakan masyarakat yang berkelanjutan secara ekologis dan adil secara sosial.

Ciri-ciri utama dari Greening Academy mencakup adanya kurikulum yang mengintegrasikan isu-isu lingkungan dan keadilan sosial secara holistik; keterlibatan aktif peserta didik dalam proyek-proyek nyata yang berfokus pada pemulihan ekosistem dan pemberdayaan komunitas; serta adanya keterbukaan terhadap nilai-nilai etika dan spiritualitas ekologis.

Selain itu, Greening Academy juga ditandai dengan penggunaan metode pembelajaran yang partisipatif, reflektif, dan kontekstual, yang mendorong peserta didik untuk berpikir kritis terhadap sistem yang merusak dan mempraktikkan gaya hidup yang selaras dengan alam.

Sekolah atau universitas yang mengadopsi pendekatan ini akan terlihat dari bagaimana mereka mengelola kampus secara berkelanjutan, menggunakan energi terbarukan, melibatkan komunitas lokal dalam kegiatan belajar, dan menanamkan semangat tanggung jawab ekologis kepada seluruh warga akademik.

Richard Kahn menjelaskan konsep ini lebih mendalam dalam karyanya “Critical Pedagogy, Ecoliteracy, & Planetary Crisis: The Ecopedagogy Movement”, di mana ia menyebut bahwa contoh konkret dari Greening Academy bisa ditemukan dalam gerakan seperti “green schools” atau “eco-schools” yang berkembang di berbagai negara.

Misalnya, sekolah-sekolah yang menerapkan pertanian organik di lingkungan sekolah sebagai bagian dari kurikulum, program daur ulang yang dikelola oleh siswa, hingga keterlibatan langsung dalam advokasi lingkungan lokal.

Menurut Kahn, Greening Academy bukan hanya soal “hijau” dalam arti estetika atau simbolik, tetapi transformasi mendalam dalam cara berpikir, hidup, dan belajar, yang bertujuan untuk membentuk generasi yang mampu menghadapi krisis ekologis global dengan penuh tanggung jawab dan kepedulian.

“One Health” dan “Sustainable Happiness”

Greening Academy dimaksudkan untuk menumbuhkan One Health dan Sustainable Happiness dengan menyatukan pemahaman bahwa kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan saling terhubung secara integral dalam satu sistem kehidupan yang tak terpisahkan.

Dalam konteks Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati, Greening Academy menjadi platform pendidikan yang strategis untuk meningkatkan kesadaran bahwa pelestarian ekosistem bukan hanya tugas ilmuwan atau pemerintah, tetapi merupakan tanggung jawab kolektif seluruh masyarakat, termasuk institusi pendidikan.

Melalui pendekatan ini, peserta didik diajak untuk memahami bahwa menjaga hutan tropis, laut, satwa liar, dan pertanian lokal tidak hanya penting bagi kelestarian spesies, tetapi juga untuk mencegah munculnya penyakit zoonosis, memperkuat ketahanan pangan, dan menciptakan lingkungan yang sehat secara menyeluruh.

Lebih jauh lagi, Greening Academy berperan penting dalam menumbuhkan kebahagiaan berkelanjutan (sustainable happiness), yakni kebahagiaan yang tidak merusak alam dan berpijak pada harmoni dengan lingkungan sekitar.

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai lokal, kearifan tradisional, serta praktik hidup berkelanjutan, Greening Academy dapat menanamkan apresiasi terhadap kekayaan hayati Indonesia sebagai sumber identitas, inspirasi, dan kesejahteraan jangka panjang.

Misalnya, program belajar berbasis alam di kawasan konservasi seperti Taman Nasional, praktik pertanian agroekologis yang melibatkan masyarakat lokal, hingga pengenalan spesies endemik sebagai bagian dari pendidikan karakter ekologis.

Dalam kerangka ini, pendidikan tidak lagi hanya bertujuan mencetak lulusan yang “kompeten” secara teknis, tetapi juga individu yang peduli, sehat secara holistik, dan bahagia dalam menjalani kehidupan yang selaras dengan keberagaman hayati negeri ini.