Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM

Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)

Ruang belajar di sekolah disebut ruang kelas karena secara historis dan struktural, tempat ini dirancang sebagai wadah formal untuk proses belajar-mengajar antara guru dan siswa dalam satu kelompok (class).

Sebutan “kelas” menandakan adanya komunitas belajar yang terorganisasi berdasarkan jenjang, kurikulum, dan tujuan pendidikan tertentu yang berlangsung dalam ruang fisik tersebut.

Konsep Classroom of the Elite, sebagaimana digambarkan oleh Kinugasa Shougo dalam seri novelnya, adalah gambaran sistem pendidikan fiktif yang sangat kompetitif, di mana siswa ditempatkan dalam hirarki sosial dan akademik berdasarkan nilai, kepatuhan, dan manipulasi sistem.

Sekolah ini secara diam-diam menguji kemampuan siswa tidak hanya dalam akademik, tetapi juga dalam strategi sosial, kepemimpinan, dan kelicikan, sehingga menciptakan lingkungan yang menekankan meritokrasi ekstrem.

Dalam dunia ini, siswa seperti tokoh utama Kiyotaka Ayanokoji dipaksa menyembunyikan jati diri dan memainkan permainan kekuasaan demi bertahan dan naik kelas.

Konsep ini menyajikan kritik tajam terhadap sistem pendidikan modern yang kadang lebih menghargai performa daripada nilai kemanusiaan, dan mendorong refleksi tentang bagaimana sekolah seharusnya membentuk manusia utuh, bukan sekadar “elite” yang menang dalam persaingan.

Tantangan terbesar dalam mewujudkan sekolah unggul Katolik bukan sekadar mencapai standar akademik tinggi, melainkan mengubah sekolah dari ruang kelas menjadi ruang maha kudus, suatu tempat di mana kehadiran cinta kasih Allah nyata dalam setiap anak, dan pendidikan menjadi perjumpaan suci, bukan transaksi.

Dalam ruang seperti ini, anak-anak tidak diperlakukan sebagai komoditas yang dinilai berdasarkan kemampuan membayar atau prestasi duniawi, tetapi sebagai Tubuh Kristus yang hidup, yang harus dihormati, dicintai, dan dibimbing dengan belas kasih serta keadilan.

Hal ini menuntut pertobatan institusional: dari logika pasar menuju spiritualitas pelayanan, dari sistem seleksi menuju inklusivitas penuh kasih, dan dari pendidikan sebagai produksi menuju pendidikan sebagai perjumpaan dan perayaan iman, harapan, dan cinta.

Ruang kelas Katolik sejati bukan tempat kompetisi, tetapi altar kehidupan, tempat setiap anak disambut sebagai saudara dalam terang  cinta kasih Injil.

Kompetensi Lulusan

Kita sudah punya delapan standar kompetensi lulusan dalam pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah yakni keimanan dan ketakwaan, kewargaan, penalaran kritis, kreativitas, kolaborasi, kemandirian, kesehatan, dan komunikasi.

Delapan standar kompetensi lulusan ini harus ditumbuhkan bukan sekadar sebagai capaian kurikulum, tetapi sebagai bagian dari deep learning yang berakar pada love as learning dalam suasana sekolah dan ruang kelas yang mahakudus.

Ini berarti bahwa pembelajaran harus menyentuh hati dan jiwa anak, membangkitkan rasa ingin tahu yang otentik, dan mendorong anak untuk bertumbuh sebagai pribadi utuh, bukan hanya “lulus ujian.”

Dalam ruang kelas yang penuh kasih, penghargaan, dan refleksi spiritual, setiap kompetensi tidak hanya diajarkan, tetapi dihidupi.

Iman dipupuk dalam dialog kasih, kewargaan dibangun lewat praktik keadilan, dan penalaran kritis diasah dalam percakapan yang jujur dan terbuka.

Deep learning dalam cinta dan makna inilah yang menjadikan pendidikan sebagai peristiwa suci, di mana setiap anak dihormati sebagai citra Ilahi dan pembelajaran menjadi jalan pertumbuhan yang membebaskan dan memanusiakan.

Pengalaman Spiritual

Menurut Gary D. Chapman, meskipun ia lebih dikenal melalui konsep The Five Love Languages, gagasannya tentang cinta sebagai gaya hidup dapat dihubungkan erat dengan pandangan bahwa love of learning adalah a way of life, sebuah cara hidup yang didasarkan pada rasa ingin tahu, penghargaan terhadap pertumbuhan diri, dan relasi yang bermakna.

Dalam semangat yang sama, pembelajaran bukan sekadar aktivitas akademik, tetapi merupakan wujud cinta yang aktif terhadap kehidupan, terhadap sesama, dan terhadap kebenaran.

Dalam bukunya The 5 Love Languages of Children (yang ia tulis bersama Ross Campbell), Chapman menekankan bahwa ketika anak merasa dicintai secara tulus, mereka memiliki landasan emosional yang kuat untuk tumbuh dan belajar dengan penuh semangat.

Maka, love of learning bukan hanya soal metode atau kurikulum, tetapi merupakan budaya hati yang dibentuk oleh relasi kasih, di mana belajar menjadi ekspresi syukur dan antusiasme atas anugerah hidup itu sendiri.

The Five Love Languages menurut Gary D. Chapman adalah cara-cara berbeda yang digunakan seseorang untuk menunjukkan dan merasakan kasih, yaitu: kata-kata penguatan, waktu berkualitas, pemberian hadiah, pelayanan, dan sentuhan fisik.

Dalam konteks ruang kelas menjadi ruang maha suci, guru bisa menggunakan pemahaman ini untuk menunjukkan kasih sayang kepada murid dengan cara yang sesuai bagi setiap anak.

Misalnya, ada anak yang merasa dicintai ketika guru memberikan pujian tulus, ada yang butuh perhatian penuh dari guru saat belajar bersama, atau ada yang merasa dihargai lewat bantuan kecil.

Dengan mengungkapkan kasih secara penuh dan berbeda-beda, ruang kelas berubah menjadi tempat yang hangat, aman, dan penuh hormat, di mana anak-anak merasa diterima sebagai pribadi berharga sehingga belajar bukan hanya soal pelajaran, tapi juga pengalaman spiritual dan kemanusiaan yang mendalam.

Kapasitas Alami untuk Berpikir Kritis

Konsep children as philosophers menurut Joanna Haynes, sebagaimana dijelaskan dalam bukunya Children as Philosophers: Learning through Enquiry and Dialogue in the Primary Classroom, menekankan bahwa anak-anak memiliki kapasitas alami untuk berpikir kritis, bertanya secara mendalam, dan merenungkan makna dunia di sekitar mereka.

Haynes berargumen bahwa ruang kelas seharusnya menjadi komunitas dialogis, di mana pembelajaran terjadi melalui penyelidikan (enquiry) terbuka dan percakapan yang saling menghormati, bukan sekadar penghafalan fakta.

Dalam pendekatan ini, guru bukan satu-satunya sumber kebenaran, melainkan fasilitator yang membantu anak mengembangkan kemampuan bernalar, menyimak, dan membangun pengertian bersama.

Melalui filsafat sebagai praktik pendidikan, anak-anak diajak tidak hanya untuk berpikir tentang apa yang benar atau salah, tetapi juga untuk menyelami pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan etika secara reflektif.

Ruang Kelas sebagai komunitas dialog menjadikan anak anak  sebagai pemikir muda yang aktif dalam membentuk pemahaman diri dan dunia secara kritis dan penuh makna.

Nalar kritis sangat penting sejak dini karena membantu anak-anak tumbuh sebagai filsuf kecil yaitu pencinta kebenaran dan kebijaksanaan—yang tidak hanya menerima informasi begitu saja, tetapi berani bertanya, merenung, dan mencari makna dari apa yang mereka alami dan pelajari.

Anak yang diajak berpikir kritis sejak kecil akan lebih mampu membuat keputusan bijak, menghargai sudut pandang orang lain, dan membangun dunia yang lebih adil dan damai.

Salah satu pakar dalam bidang ini adalah Matthew Lipman, pelopor gerakan Philosophy for Children (P4C).

Dalam bukunya Thinking in Education, Lipman menjelaskan bagaimana berpikir kritis, kreatif, dan penuh kepedulian dapat ditumbuhkan melalui dialog dan refleksi dalam kelas, menjadikan pendidikan sebagai ruang pertumbuhan intelektual dan moral.

Maka, menanamkan nalar kritis sejak dini bukan hanya soal kecerdasan, tapi juga membentuk hati dan akal yang mencintai kebijaksanaan.

Konsep Philosophy for Children (P4C) yang dikembangkan oleh Matthew Lipman adalah pendekatan pendidikan yang bertujuan menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, reflektif, dan peduli melalui dialog filosofis bersama anak-anak.

Lipman percaya bahwa anak-anak bukan hanya mampu berpikir secara filosofis, tetapi justru memiliki rasa ingin tahu dan pertanyaan mendalam tentang kehidupan yang layak dihargai dan dibimbing.

Dalam bukunya Thinking in Education, ia menjelaskan bahwa P4C mendorong anak untuk berdiskusi dalam komunitas belajar yang terbuka, di mana mereka belajar mendengarkan, memberikan alasan, dan menghargai perbedaan pendapat.

Pendidikan, menurut Lipman, bukan hanya soal menghafal pengetahuan, tetapi membentuk manusia yang berpikir secara utuh—menggunakan akal dan hati sehingga mereka tumbuh menjadi warga dunia yang bijaksana, adil, dan penuh empati.

Multiple Ways of Learninng

Dalam bukunya Ways of Learning: Learning Theories and Learning Styles in the Classroom, Alan Pritchard menjelaskan bahwa love of learning tumbuh ketika proses belajar disesuaikan dengan cara dan gaya belajar yang beragam serta memberikan ruang bagi pengalaman yang bermakna dan membangkitkan rasa ingin tahu.

Ia menekankan bahwa setiap individu belajar dengan cara berbeda melalui visual, auditori, kinestetik, atau kombinasi dari semuanya dan bahwa pengenalan terhadap multiple ways of learning ini adalah kunci untuk menumbuhkan kecintaan terhadap belajar.

Menurut Pritchard, ketika guru memahami dan merespons kebutuhan belajar anak secara individual dan menciptakan lingkungan belajar yang menantang sekaligus mendukung, maka belajar tidak lagi menjadi kewajiban yang membosankan, melainkan petualangan kognitif yang menggugah hati.

Love of learning tumbuh subur dalam ruang yang menghargai keberagaman intelektual dan memberi otonomi serta makna bagi proses belajar itu sendiri.

Gaming of Classroom

Konsep Gaming of Classroom menurut Young Kyun Baek, sebagaimana dijelaskan dalam karya-karyanya tentang pembelajaran berbasis permainan (game-based learning), merupakan pendekatan kreatif inovatif.

Gaming of classroom menjadikan kelas sebagai ruang dinamis di mana cinta terhadap belajar (love of learning) tumbuh melalui keterlibatan emosional, tantangan intelektual, dan pengalaman yang menyenangkan.

Baek berpendapat bahwa ketika unsur permainan mendorong motivasi intrinsik para murid untuk terus belajar sepanjang hidup.
Karena itu gaming of classroom didesain agar memiliki tujuan yang jelas, umpan balik langsung, kompetisi sehat, dan kebebasan untuk mencoba.

Rancangan ini harus terintegrasi ke dalam  proses pembelajaran mendalam yang mindful learning, meaningful learning dan joyful learning agar para murid menyadari dan memaknai serta bersukacita atas pengetahuan yang diperoleh di sekolah.

Dalam konteks ini, love of learning muncul karena siswa merasa dihargai sebagai pelaku aktif, bukan penerima pasif, dan mereka belajar bukan karena tekanan eksternal, tetapi karena mereka menikmati prosesnya.

Pembelajaran yang dibingkai dalam bentuk permainan membuka ruang bagi nalar kritis, kemandirian,  kreativitas, kolaborasi, komunikasi,  dan rasa ingin tahu yang otentik, inti dari pendidikan yang memanusiakan dan memerdekakan dan siap menjadi warganegara yang baik.

Strategi Praktis

Mengubah ruang kelas menjadi ruang mahakudus sebagai wujud love as learning berarti menjadikan pembelajaran sebagai pengalaman spiritual, emosional, dan intelektual yang memuliakan martabat manusia.

Strategi pertama yang penting adalah menciptakan ruang yang aman dan penuh kasih, di mana setiap anak merasa dilihat, dihargai, dan diterima tanpa syarat.

Dalam buku Teaching with Heart: Poetry that Speaks to the Courage to Teach karya Sam M. Intrator dan Megan Scribner, para pendidik berbagi pengalaman tentang bagaimana cinta terhadap murid menjadi kekuatan penggerak dalam ruang kelas.

Di ruang seperti ini, guru tidak hanya mengajar mata pelajaran, tetapi merawat jiwa, mengubah kelas menjadi altar kehidupan, di mana belajar adalah bentuk pelayanan dan pemuliaan terhadap kehadiran ilahi dalam diri anak.

Strategi kedua adalah membangun relasi dialogis dan bermakna, di mana guru dan murid saling belajar dalam semangat kesetaraan dan keterbukaan.

Pendekatan ini selaras dengan konsep pedagogi cinta dari Paulo Freire, sebagaimana dijelaskan dalam bukunya Pedagogy of the Heart.

Freire menekankan bahwa pendidikan yang sejati adalah perjumpaan manusiawi yang penuh empati dan kesadaran kritis, bukan sekadar transmisi informasi.

Di ruang mahakudus semacam ini, pertanyaan anak adalah doa, keingintahuan mereka adalah bentuk kontemplasi, dan dialog menjadi sarana perjumpaan dengan kebenaran yang membebaskan.

Strategi ketiga adalah menghadirkan keindahan dan kesadaran sakral dalam lingkungan belajar, baik melalui simbol-simbol visual, tata ruang yang estetis, maupun praktik-praktik reflektif seperti momen hening, doa, atau seni.

Dalam The Third Teacher (karya OWP/P Architects, VS Furniture, dan Bruce Mau Design), ditekankan bahwa ruang fisik memiliki kekuatan pedagogis dan spiritual;
Ketika ruang diatur dengan perhatian terhadap keindahan, cahaya, dan ketenangan, maka ruang kelas dapat menjadi tempat suci yang menumbuhkan kesadaran diri, hubungan dengan sesama, dan pengalaman belajar yang transformatif.

Strategi keempat, komunikasi penuh senyum yang lembut dan ramah serta tulus. Ruang kelas menjadi ruang mahakudus ketika ia dihidupi sebagai tempat komunikasi yang penuh kehidupan, dipenuhi senyuman yang tulus dan suara lembut yang memancarkan cinta kasih, sebuah suasana yang meneguhkan martabat setiap anak sebagai pribadi yang dikasihi dan dihargai.

Dalam suasana seperti ini, proses belajar tidak lagi bersifat mekanis, melainkan menjadi perjumpaan yang menyembuhkan, membebaskan, dan menumbuhkan.

Tokoh seperti Parker J. Palmer dalam bukunya The Courage to Teach menekankan bahwa “pengajaran sejati lahir dari diri sejati,” yakni dari hati yang hadir sepenuhnya dalam relasi dengan murid.

Komunikasi yang penuh kasih, tanpa kekerasan verbal maupun emosional, menjadi jalan menuju pembelajaran yang transformative, di mana kelas berubah menjadi ruang spiritual yang menyambut pertumbuhan bukan hanya intelektual, tetapi juga emosional dan moral.

Senyum dan kelembutan dalam suara bukan sekadar ekspresi etika, tetapi adalah tindakan pedagogis yang membuka pintu jiwa anak untuk mencintai proses belajar sebagai pengalaman manusiawi yang sakral.

Strategi kelima dalam menjadikan ruang kelas sebagai ruang mahakudus adalah mengubah pola pikir bahwa anak bukanlah komoditas atau angka dalam sistem pendidikan, melainkan seorang filsuf muda—pencari makna kehidupan yang layak didengar dan dihargai.

Pandangan ini diperkuat oleh Joanna Haynes dalam bukunya Children as Philosophers: Learning through Enquiry and Dialogue in the Primary Classroom, di mana ia menegaskan bahwa anak-anak memiliki kapasitas untuk bertanya secara eksistensial, berdialog secara reflektif, dan membangun pemahaman dunia melalui proses berpikir kritis yang alami.

Mengubah pola pikir ini berarti menggantikan pendekatan yang mengobjektifikasi anak sebagai “hasil” pendidikan dengan pendekatan yang menghormati mereka sebagai subjek yang otonom  mandiri dan spiritual.

Ketika guru melihat anak sebagai filsuf, ruang kelas menjadi tempat perenungan bersama, bukan sekadar pelatihan keterampilan, dan pendidikan pun berubah menjadi perjalanan bersama menuju pemahaman yang lebih dalam tentang hidup, nilai, dan kemanusiaan.

Dengan strategi praktis  ini, keamanan emosional, relasi dialogis, dan lingkungan yang indah, kelas bukan hanya tempat belajar, tetapi menjadi ruang mahakudus di mana cinta terhadap pembelajaran dan kemanusiaan bertumbuh secara mendalam.